Sebagai anak yang ditinggalkan orang tua karena bercerai di usia balita, tentu tak mudah besar tanpa belaian kasih sayang. Terbayangkan balita itu hobinya apa kalau bukan nangis?
Adalah wanita tua renta itu yang senantiasa memeluk dan menggendongku kemana-mana hanya demi bisa menghentikan tangisku. Tak banyak berkata,hanya memeluk saja.
Beliau memang telah lama janda. Oleh Kakek dibekali tunjangan pensiunan . Kakekku dulu seorang tentara.Mestinya uang pensiunan itu digunakan untuk menyejahterakan hidupnya.
Mestinya dia tinggal ongkang-ongkang kaki. Tinggal belanja dan jalan-jalan kemana saja dia mau. Atau semestinya setiap bulan uang tunjangan yang didapatkan dibagi untuk cucu-cucu semua bukan cuma aku dan kedua kakakku.
Namun pilihannya mengasuh aku dan kedua kakakku membuatnya harus mengesampingkan itu. 3 cucunya yang dipeluknya itu masih butuh biaya besar tentunya.
SK pensiunannya tak pernah ada di rumah melainkan menginap  di bank sebagai agunan untuk meminjam uang.
Peminjaman uang biasanya terjadi tahun ajaran baru. Kebutuhan uang pendaftaran masuk sekolah dan kebutuhan perlengkapan sekolah tentu jadi alasannya.
Ayahku,yang merupakan anaknya sulit untuk dimintai uang. Bisa dihitung jari berapa kali wesel yang dikirim. Keberadaannya juga tak jelas di mana. Istri barunya konon katanya tak rela jika dia harus berbagi rejeki dengan kami. Sehingga semakin sulit untuknya menemui kami.Â
Ibuku juga sepertinya masih memilih menyembuhkan luka hati sehingga tak bisa sering mengunjungi. Mengunjungi kami sama saja mungkin dengan mengorek luka baginya karena mengingatkan pada Ayah kami yang bajingan di matanya.
Anak-anak Nenek yang lain tentu banyak yang protes akan keberadaan kami. Selain kami dianggap akan merepotkan,mereka juga tak suka uang pensiunan ayah mereka digerogoti oleh aku dan kedua kakakku. Mereka nyinyir karena merasa Ayah kamilah yanh seharusnya masih bertanggung jawab atas hidup kami.
Tapi Nenek tak pernah lelah membela kami . Selalu dia berkata lantang jika ketiga anaknya yang lain protes.