Sinar matahari belum memaksa masuk ruangan kamar saya melalui jendela yang tertutup tirai yang juga menghadap ke arah matahari terbit. Hari itu saya memang tidak bisa melihat moment itu di kamar saya karena sedari pagi, saya sudah nongkrong di pinggir jalan Cileunyi menunggu 4 orang kawan saya untuk segera meninggalkan Bandung dan menuju Ciamis, tepatnya pantai Batu Karas. Karena dari tempat itulah petualangan kami menyusuri semua pantai selatan Jawa Barat di akhir Maret lalu akan dimulai.
Perjalanan kami hingga Batu Karas menggunakan sepeda motor, saya perkirakan akan ditempuh selama 6 jam lebih dari Bandung. Jalur Bandung-Garut sudah terasa membosankan karena sudah sering kami lewati. Lalu perjalanan Garut hingga Tasikmalaya, cukup melelahkan. Laju bus antar kota yang berlari kencang hingga sinar matahari yang menyengat, membakar jalanan dan tubuh kami. Traveling menyusuri pantai selatan Jawa Barat memang bukan lagi hal yang spesial, beberapa orang kawan saya sudah jauh-jauh hari sudah melakukan. Traveling sederhana ini juga saya anggap penting mengingat, sudah dari jauh-jauh hari saya menginginkannya karena banyak hal, banyak tempat-tempat indah dan akan ada banyak cerita-cerita haru dan menyenangkan di sepanjang pantai selatan Jabar. Dan satu hal lagi yang penting, karena hidup itu soal jalan-jalan. :-D
Setibanya di Ciamis, kami mengambil arah Pangandaran.
Pertigaan jalan menuju Batu Karas dan Cimerak sudah terlihat ketika kami melewati objek wisata Green Canyon. Kami melewatkan begitu saja objek wisata itu karena kami sudah berencana akan ke tempat itu setelah kami menginap di Batu Karas. Di pertigaan jalan, kami ambil jalur kiri karena jalur ini akan mengarahkan kami ke Batu Karas. Sementara jalur kanan, jalur yang akan kami lewati menyusuri pantai selatan Jawa Barat. Dari Pertigaan ini, tidak butuh waktu banyak menuju bibir pantai. Deretan rumah penduduk, hamparan sawah, rawa-rawa dan kebun kelapa. Infrastruktur jalan sendiri tidak begitu parah. Gerbang pintu masuk Batu Karas yang bersebelahan dengan Sungai Cijulang telah kami lewati. Jejeran penginapan mulai dari bangunan sederhana dan mewah berjejer disana.
Dua jam menjelang magrib, mata kami sudah melihat ombak yang tenang di pantai ini.Semilir angin menerpa wajah kami setelah sebelumnya berjam-jam diterpa debu dan asap kendaraan. Rupanya, penginapan sudah terisi penuh. Beruntung, orang yang kami temui di bibir pantai, yang menyewakan papan selancar dan menjual kelapa segar, rumahnya bisa disewakan untuk kami. Karena telah mendapat penginapan, berpuas-puas dihajar ombaklah kami.
Pantai batu karas ini pantai yang sering dikunjungi oleh turis
Satu jam sebelum magrib, banana boat menarik perhatian kami. Dengan biaya Rp 50 ribu, kami menantang sang sopir perahu boat untuk menambah kecepatan dalam menarik banana boat yang kami tumpangi. Ketika menikung cukup tajam, kami coba bertahan agar tidak terjatuh. Sesekali usaha kami berhasil dan adrenaline kami kembali memuncak dan lagi, kami menantang sang penarik banana boat untuk menambah kecepatan dan menikung lebih tajam dari sebelumnya. Kali ini, kecepatan bertambah. Gelagat sang sopir untuk menikung tajam mulai terlihat dan, “byuuuuuuurrrr,”… kami pun terjatuh ke air. Sang sopir berkata, “mau lagi,”. Dan kami jawab, “kuraaang keraaaaas broo”. Kami pun tertawa dengan diiringi pantulan sinar matahari ketika hendak terbenam. Sekali lagi kami minta pada sang sopir, “kuraaaang keraaas, tambah kecepatanmu”.
Sayup-sayup adzan magrib mengalun ringkih dari surau di perkampungan sekitar Batu Karas, berkelindan dengan suara deburan ombak. Kami masih berada di bibir pantai, sedikit beristirahat sebelum akhirnya kami menuju penginapan. Setelah membersihkan badan, kami pun mencari makan malam dengan berjalan kaki menuju rumah makan sekitar bibir pantai.
Tiga café yang cukup moderen sudah te
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H