Tulisan bulan lalu yang lupa belum menetap di Kompasiana.
Tepatnya di Rancaekek Kabupaten Bandung, terdapat ratusan hektar sawah. Dulu, di wilayah ini, hasil panen sangat bagus. Namun, setelah berdiri banyak pabrik, ratusan hektar sawah di Rancaekek tepatnya di desa Linggar, Sukamulya, Bojong loa dan Jelegong, lahan sawahnya terlantar bahkan mati dan tidak tergarap lagi. Karena tidak tergarap, lahan sawahnya kini ditumbuhi rumput liar setinggi 2 meter.
Lahan sawah ini sendiri diairi dari sungai Cikijing dan Cimande. Umumnya, pabrik di sekitar wilayah ini membuang limbah melalui sungai ini. Saat musim kemarau seperti sekarang, kondisi sungai berwarna hitam pekat dan bau. Meski demikian, karena tidak ada sumber pengairan, petani terpaksa menggunakan air dari sungai ini untuk mengairi sawahnya.
Khusus yang dialami para petani di desa Sukamulya, Rancaekek kabupaten Bandung, tanggal 17 Agustus yang diperingati sebagai hari kemerdakaan Republik Indonesia tidak mengandung arti apa-apa.
"Kata orang-orang pinter, petani mah tenang aja nyawah, nanti soal limbah kami yang urus ke perusahaan." kata pak Ene, petani asal kp Jelegong Desa Sukamulya Kecamatan Rancaekek saat menirukan kalimat para pihak yang mengaku membela petani. Selanjutnya pak Ene juga bilang bahwa setelah mereka menjanjikan perubahan pada petani, tetap saja tidak ada perubahan.
Para petani di wilayah ini mengaku, sebelum limbah mencemari lingkungan, sawah di kampung Rancakeong terbilang sawah dengan kualitas nomor satu. Tapi setelah limbah mencemari sawah, jangankan nomor satu, yang ada lahan sawah mereka ditumbuhi rumput liar. Umumnya petani di wilayah itu menelantarkan sawahnya bukan berarti tidak ingin menggarap, cuma kalau digarap sekalipun itu hanya buang-buang uang dan hasilnya sudah pasti gagal. Amir Wahyudin petani lain, mengaku telah mengeluarkan modal sebesar Rp 400 ribu untuk lahan seluas 150 tumbak, tapi ia harus menelan pil pahit. Dari lahan 150 tumbak, hampir setengahnya gagal panen. "Ah sekarang cuma memilih padi yang bisa dipanen saja, lumayan bisa buat makan beberapa hari, selebihnya diikhlaskan saja, lagian bukan hanya saya yang gagal panen," kata Amir.
Sementara itu, Maman Hidayat yang juga petani mengaku sudah 7 tahun menelantarkan sawahnya karena alasan yang sama. Kini, ia hanya menjadi buruh ternak dengan menternakkan kambing. "Di lahan sawah yang tidak tergarap ini banyak rumput liar yang tinggi-tinggi, jadi saya mengambilnya untuk makanan kambing," kata Maman.
Dia terpaksa menternakkan kambing milik orang lain karena sawahnya tidak bisa digarap lagi. "Pilihannya mungkin sekarang ini dulu, kalaupun jadi buruh bangunan, dapat rezekinya tidak tentu,"
Sementara itu, bagi mereka, pilihan terbaik agar lahan mereka bermanfaat yakni dengan menjualnya pada investor. "Dulu pernah sawah di Rancakeong ini ditawar oleh pengembang, tapi mereka menawar dengan harga murah, ya tidak kami jual," kata Ene. Selain itu, harapan mereka dan petani di wilayah itu hanya meminta saluran limbah agar diperhatikan. "Bagaimanapun perusahaan pasti punya limbah, tapi tolong dijaga salurannya. Tapi, kalaupun tetap begitu, saya tidak tahu lagu harus apa selain ikutin pemerintah," keluh Maman.
Pak Ene juga mengeluhkan hal yang sama. Dia mengatakan bahwa pemerintah harus jujur dan adil. "Kami ini demo bukan mau merusak atau minta kerugian, kami hanya ingin air buat sawah harus kembali jadi bersih, kalau gitu, pertanian bisa sukses. Kalau lagi emosi, andai saja saya masih muda, saya ingin datangin Menteri Pertanian. Sekarang saya bingung, lahan sawah mati, ngurus bebek kadang ada yang mati keracunan limbah," kata pak Ene.
"Merdeka itu mungkin berlaku buat pemerintah atau para perusahan, tapi bagi para petani tidak ada artinya, lihat saja puluhan hektar cuma bisa ditumbuhi rumput liar. Merdeka itu kalau petani sejahtera dan didukung pemerintah," kata pak Maman.