Bu Eet hanya menangis. Yang terdengar hanya suara isak tangis dan ia terpaksa harus menutup telpon. "Saya lagi kerja, nanti saya telpon lagi," kata bu Eet dengan suara terisak.
Saya tertegun beberapa saat. Suasana kesedihan yang dialami bu Eet masih terasa. Saya tahu persis bagaimana perasaannya. Dua hari lalu saya kabarkan anaknya masih hidup lalu dua hari kemudian anaknya telah meninggal.
Saya kembali tersadar karena hand phone saya kembali berdering. Rupanya bu Eet kembali menghubungi. Ketika saya angkat, terdengar isak tangis. "Dia itu anak saya, meskipun dia nakal dan bandel, dia tetap anak saya. Saya mencari-cari dia selama 6 tahun setiap pulang ke Indonesia, saya akan beri uang Rp 2 juta jika ada yang menemukan. Tapi itu enggak berhasil," kata Eet dengan suara terisak-isak.
Saya tidak bisa berkata apapun dan membiarkan dia terus berbicara meluapkan kesedihannya. Sehingga ia bertanya bagaimana cara memulangkannya. Saat itu, saya hanya menyerahkan nomor telpon dari Pontianak yang bisa dia hubungi.
"Apa dia bisa dikuburkan di Subang. Saya masih di Jeddah dan baru 7 bulan lagi pulang ke Indonesia. Kalau dia sudah dikuburkan disana, tidak apa-apa, meski saya tidak melihat dia yang terakhir kali, saya ikhlas. Saya ucapkan terima kasih buat semua orang yang memberi kabar anak saya," ujarnya.
Saya masih dalam posisi yang tidak tahu harus berbuat apa-apa. Saya hanya meminta dia untuk sabar dan tawakal. Saya minta dia untuk berdoa semoga anaknya mendapat terbaik di sisi Tuhan penguasa alam dan isinya.
"Makasih dek. Kalau anak saya sudah dikuburkan di Pontianak, saya akan hubungi anak saya yang di Subang untuk menggelar tahlilan. Saya harap adek datang di tahlilan tersebut. Meski saya hanya dapat kabar kematian Rosita, terima kasih sudah mengabarkan anak saya," kata Rosita, masih dengan terbata-bata dan terisak. Telpon pun ditutup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H