SEMENJAK kecil, dari lantai dua rumah saya, terlihat jajaran pegunungan yang memanjang. Banyak orang menyebut, gunung yang bisa terlihat dengan jelas dari bagian belakang rumah saya itu bernama Gunung Malabar. Gunung Malabar sendiri, seperti yang banyak ditulis orang, merupakan komplek gunung api yang di sekitarnya terdapat beberapa puncak gunung. Puncak Mega, puncak Gunung Puntang, puncak Gunung Wayang, puncak Gunung Haruman. Pegunungan Malabar ini membentang dari Kabupaten Garut hingga Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan Pangalengan. Usai lebaran kemarin, sebelum trip selanjutnya ke Bromo Rabu besok, saya menyempatkan diri ke Puncak Mega bersama tiga teman semasa SMA. Perjalanan dengan jalan kaki selama enam jam yang menguras tenaga itu, baru saya lakukan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup saya. Sedangkan sejumlah teman-teman SMA saya, sudah lebih dulu mendakinya saat kami masih duduk di bangku SMA. Sehingga, saya merasa kampungan sekali mengunjungi puncak Mega ini. Puncak Mega dengan ketinggian 2222 sampai 2223 mdpl ini, tepat berada di pegunungan Malabar. Jalur pendakian sendiri, dimulai dari obyek wisata Gunung Puntang Kabupaten Bandung. Saat itu, tepat pukul 11.00, kami mulai mendaki. Puncak pertama yang kami lewati adalah Puncak Gunung Puntang.
Sedikit cerita tentang Gunung Puntang ini, sejarah mencatat bahwa disinilah pernah dibangun stasiun pemancar radio milik Pemerintah Belanda di era perang kemerdakaan. Kakek saya, adalah satu diantara sekian banyak pegawai yang pernah bekerja di stasiun pemancar radio ini. Saat saya berkunjung ke kediaman kakek saya di hari Lebaran, dia pernah bercerita bahwa dia pernah bekerja disana, hingga sekarang akhirnya dia menjadi pensiunan PT Telkom. Dia masih ingat, sebagai buruh di stasiun radio yang dimiliki oleh Pemerintah Belanda tersebut, dia bertugas untuk memastikan stasiun pemancar itu tetap berjalan dengan baik. Sehingga, komunikasi Belanda di Indonesia dengan kerajaan Belanda di Eropa, tetap berjalan dengan baik. Dia masih ingat bagaimana beratnya menarik kabel dari gedung yang berada di Gunung Puntang, menuju Puncak Gunung Puntang dengan dibantu mesin pengerek kabel bermerk Chevrolet buatan tahun 1900-an. Ia dan sejumlah pegawai lainnya, dibayar 25 sen perhari di stasiun pemancar radio Belanda tersebut. Kakek saya juga sempat ditawari untuk melanjutkan pendidikan yang berkaitan dengan radio komunikasi ke Belanda. Namun, sayangnya Pemerintah Jepang keburu menghancurkan stasiun pemancar radio di Gunung Puntang ini. Ketika pendakian kami telah sampai di Puncak Gunung Puntang, puing-puing bangunan bekas radio pemancar milik Pemerintah Belanda masih bisa terlihat. Setelah melewati Puncak Gunung Puntang ini, perjalanan cukup ringan karena perjalanan dari titik pendakian pertama hingga puncak Gunung Puntang penuh dengan perjuangan karena ketinggian mencapai lebih dari 50 derajat. Jalanan datar dan menurun setelah melewati Puncak Gunung Puntang, semacam jeda istirahat untuk kembali mendaki puncak selanjutnya, yakni Puncak Mega. Lama pendakian dari Puncak Gunung Puntang hingga Puncak Mega ini, sekitar 2 jam. Saya sendiri sempat bertemu dengan pendaki lainnya di perjalanan. Saya sempat menanyakan apakah Puncak Mega ini puncaknya Gunung Malabar ataukah Puncak Mega ini puncaknya Gunung Puntang, saya belum menemukan jawaban yang pasti. Hanya saja, yang pasti, Puncak Mega ini bukan lah puncak dari Gunung Puntang.
Akhirnya, setelah enam jam perjalanan, kami tiba di Puncak Mega. 100 meter sebelum Puncak Mega, kami melewati jalan setapak dengan kiri dan kanan berupa jurang yang sudah dipenuhi kabut tebal. Tumbuhan dan semak, menyamarkan jalan setapak. Salah menginjak, kami bisa saja terperosok ke dalam jurang.
Kami memilih mendirikan tenda tepat di Puncak Mega. Selama perjalanan dari titik pendakian pertama hingga ke Puncak Mega, kami tidak menemukan sumber mata air. Sehingga, kami sengaja membawa 8 liter air untuk kebutuhan minum maupun memasak. Saya sempat khawatir ketika mendirikan tenda di Puncak Mega. Puncak Mega yang hanya menyisakan dataran tanah selebar 2x4 meter dengan di kiri dan kanan lembah dan jurang, membuat saya was-was terjadi longsor. Terlebih lagi, vegetasi di Puncak Mega ini sangat minim sehingga bisa membuat tanah yang kami pijak dan kami dirikan tenda, menjadi gembur kemudian longsor. Di puncak, tertulis Puncak Mega, Gunung Puntang 2223 Mdpl. Tapi, saya masih ragu bahwa Puncak Mega ini puncak dari Gunung Puntang. Pasalnya, ketika dilihat secara landscape, Puncak Mega ini terpisah dari puncak Gunung Puntang itu sendiri.
Ke khawatiran saya tambah menjadi-jadi manakala saat Maghrib hingga usai Isya, hujan turun dengan lebat. Bayangan tanah tempat kami mendirikan tenda mengalami longsor, terngiang-ngiang dalam pikiran saya. Namun beruntung, selepas Isya hingga keesokan paginya, kami masih selamat. Salah satu sumber air yang bisa ditemui, yakni di dasar jurang atau di bawah Puncak Mega. Disana, terdapat aliran sungai. Hanya saja, akses untuk menuju sungai tersebut sama sekali tidak ada. Satu-satunya cara untuk mencapai sungai tersebut dari Puncak Mega, yakni dengan menggunakan tali. Sepanjang malam, kami dirundung rasa takjub dengan bentangan langit yang ditaburi bintang. Sesekali, pemandangan meteor menghampiri pandangan kami. Namun, sepanjang malam itu juga, suhu udara mencapai 10-12 derajat celcius, membuat mata sulit terpejam. Meskipun saat itu, saya sendiri menggunakan dua lapis jaket, syal dan sleeping bag.
Pukul 05.00 pagi mata kami dimanjakan dengan semburat sinar matahari yang berkelindan dengan awan. Warna kemerahan mendominasi langit saat itu. Sedangkan hamparan awan bagaikan lautan di Samudera. Puncak Gunung Manglayang di sebelah timur (agak ke utara) menyembul diantara hamparan awan. Sementara di sebelah utara, hamparan awan menenggelamkan badan Gunung Tangkuban Perahu. Sehingga, yang terlihat hanya puncaknya saja.
Sementara itu, di sebelah timur agak ke selatan, awan tipis juga menenggelamkan Gunung Tilu. Namun sesekali, puncak Gunung Tilu menyembul melewati hamparan awan tips. Sedangkan di sebelah selatan, hanya terdapat lereng pegunungan Malabar dan tempat tenda kamu yang dipisahkan oleh lembah curam.
Hingga pada akhirnya kami turun dari Puncak Mega, saya masih bertanya-tanya dimanakah Puncak Malabar. Teman saya mengatakan bahwa Puncak Mega adalah puncak dari Gunung Malabar. Namun, pendaki lainnya yang sempat saya temui di perjalanan serta tulisan lain yang pernah saya baca, Puncak Mega bukan lah puncak dari Gunung Malabar. Pasalnya, selain dari Puncak Mega, masih terdapat puncak lain yang lebih tinggi dari Puncak Mega. Namun meski begitu, yang pasti, mendaki gunung dengan jalan kaki ini, pertama kali saya lakukan. hehehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya