Percakapan singkat di sebuah chat situs sosial bersama seorang ahli geologi kenamaan di Bandung yang berlanjut ke penelusuran di Google membuat saya memutuskan harus pergi ke tempat ini. Meski saya tahu, cuaca belakangan ini selalu hujan, namun saya tetap berangkat menuju tempat ini. Tepatnya di Desa Ciwaru Kecamatan Ciemas Kabupaten Sukabumi.
Pekan lalu, saya datang ke tempat itu ditemani warga lokal. Namanya, A Omay dan Iyoy. Rumah kedua teman baru saya ini berada di sekitar kawasan Ujung Genteng, sehingga, beberapa malam, saya menginap di rumahnya di Desa Cikangkung Kecamatan Ciracap, 10 kilometer sebelum kawasan pantai Ujung Genteng. Tidak lupa, hari pertama, sore harinya, saya sempat berenang dan menyelam tanpa peralatan menyelam di pantai Cibuaya.
[caption id="attachment_210588" align="aligncenter" width="434" caption="Kawasan Hutan Di Dasar Lembah Ciletuh"]
Jarak dari sekitar kawasan Ujung Genteng menuju Ciwaru ini sendiri, membutuhkan waktu kurang dari 1 jam menggunakan sepeda motor dengan jarak tempuh sekitar 25 kilometer. Saya sendiri memacu kendaraan dengan kecepatan 60-70 km/jam karena jalanan yang sepi serta relaitf mulus. Sehingga, saya bisa sampai disini dengan waktu 40 menit.
[caption id="attachment_210591" align="aligncenter" width="452" caption="Bukit-bukit Kecil di Lembah Ciletih"]
Iyoy maupun A Amoy sendiri menyebut Ciletuh yang saya maksudkan ini dengan Palangpang yang berada di dasar lembah Ciletuh. Sepanjang perjalanan, hujan tidak berhenti. Untuk menuju lokasi tersebut, Iyoy mengarahkan saya menuju bukit Penenjoan di Desa Taman Jaya Kecamatan Ciemas. Akhirnya, kami tiba di bukit Panjenjoan. Bukit ini, sudah memiliki bangunan-bangunan permanen yang khusus dibuat bagi pengunjung. Karena bukit ini sebenarnya tepi jurang dari lembah Ciletuh, jadi sudah dibangun pagar pembatas.
Setelah berada di tepi jurang lembah Ciletuh itu, benar-benar mempesona dan entah perasaan apa lagi yang harus saya tuliskan. Benar-benar mengejutkan. Saya pun berkeyakinan, tidak semata-mata Tuhan menciptakan berbagai keindahan di muka bumi ini agar membuat manusianya semakin beriman.
Dan saat itu, ketika saya melihat lembah Ciletuh di bukit Panenjoan, deretan bukit berjejer membentuk mangkuk ukuran setengah atau membentuk amfiteater dengan ukuran raksasa.
Lembah ini, selain membentuk amfiteater, juga menghadap ke Samudera Hindia. Tepatnya, di ujung lembah ini, terdapat pantai Palangpang yang membentuk teluk. Teluk ini dinamakan Teluk Ciletuh. Di bawah tempat saya berdiri di bukit Panenjoan itu, deretan pohon menjulang tinggi membentuk hutan di dasar lembah. Yang terlihat, hanya ujung dari pohon itu sendiri. Karena saat itu hujan baru reda, kabut tipis menyelimuti hutan di lembah tersebut. Sesekali, suara monyet terdengar begitu nyaring dan menggema di hutan di dasar lembah tersebut.
Perlahan tapi pasti, awan hitam di dasar lembah tersebut tersingkap. Matahari pun mulai menunjukkan sinarnya. Dari bukit Panenjoan, tampak jelas dengan mata telanjang,menghampar Samudera Hindia dan membentuk Teluk Ciletuh dengan pesisir pantai Palangpang. Di pantai itu, dari bukit panenjoan, terlihat pulau-pulai kecil.
Di bukit Panenjoan tersebut, ketika kabut mulai hilang di Lembah Ciletuh, mulai terlihat dua air terjun bernama Curug Cimarinjung dan Curug Cikanteh yang berada di tepi-tepi bukit di sebarang bukit Panenjoan.
[caption id="attachment_210596" align="aligncenter" width="366" caption="Kawasan Hutan di Dasar Ciletuh"]
Ketika melihat deretan rumah di lembah Ciletuh ini, saya langsung berpikir, bagaimana mereka bisa bertahan dan menciptakan peradaban sendiri di pinggiran pantai dan tepatnya berada di dasar lembah curam yang dikelilingi deretan bukit terjal.
Saya benar-benar penasaran dengan berbagai aktifitas warga Desa Ciwaru tersebut. Bayangkan saja, mereka hidup di tepi pantai di dasar lembah, jarak menuju pusat peradaban Sukabumi membutuhkan waktu 3 jam, dan jarak menuju pusat ibu kota Jawa Barat mencapi 10 jam. Tapi mereka bisa hidup bertahan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang saat itu. Suara adzan Dzuhur sayup-sayup terdengar dari kampung terdekat.Di tepi bukit itu, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiran saya. Kemudian, saya langsung mengajak Iyoy untuk turun ke lembah tersebut. Namun, sialnya, hujan pun turun lagi. Awalnya memang saya sempat ingin turun ke dasar lembah dengan kondisi hujan. Tapi, Iyoy keberatan karena aksesnya sulit dilewati jika saat hujan seperti ini.
Setibanya di Bandung, saya kembali menghubungi pakar geologi tersebut. Saya pun mengumpulkan berbagai informasi yang disajikan oleh mbah Google mengenai tempat ini.
Tempat ini memang sangat menarik karena ahli geologi dan beberapa ketarangan yang saya himpun, mengatakan bahwa lembah ini, pada awalnya, merupakan sebuah laut terdalam dan tempat pertemuan dua lempengan. Lempeng Samudera Hindia dan lempeng benua.Kemudian, karena terjadi proses geologis, lempeng benua ini menumbuk lempeng Samudera Hindia hingga lempeng Samudera Hindia ini menghujam ke dalam dan akhirnya membentuk sebuah lembah bernama Lembah Ciletuh.
Selain itu, dengan gambaran sederhana, keterangan lain mengatakan bahwa hasil tumbukan lempeng tersebut membentuk morfologi menyerupai lembah curam yang dinamakan sebagai palung laut. Di dalam palung ini, terakumulasi berbagai jenis batuan yang terdiri atas batuan sedimen laut dalam batuan metamorfik (batuan ubahan) dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran berbagai jenis batuan di dalam palung ini dinamakan sebagai batuan bancuh (batuan campur aduk) atau dkenal sebagai batuan melange.
Selain dari keterangan yang saya himpun, dengan gambaran yang sederhana, seorang ahli geologi yang saya hubungi sepulang dari sana mengatakan bahwa Lembah Ciletuh ini tidak lain dulunya merupakan palung atau laut terdalam dan saat ini menjadi sebuah daratan berupa lembah.
Ketarangan lain juga menyebutkan bahwa pertemuan dua lempengan tersebut membuat tempat ini, menjadi tempat terdapatnya batu-batu tertua di Jawa Barat. Bahkan, sempat diberitakan bahwa batu yang menjadi fondasi bangunan di Unpad, batunya berasal dari lembah Ciletuh atau kawasan Desa Ciwaru ini.
Nah, begitulah, dari berbagai informasi yang saya dapat, saya tertarik untuk kembali kesana untuk menjawab rasa penarasan saya tentang habitat hutan di lembah Ciletuh, kawasan pantai Palangpang dan pulau-pulau kecilnnya, taman batu tertua, kehidupan sosial dan kearifan lokal warga Desa Ciwaru serta hal lain tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H