Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menuju Sumur Chevron yang Tersembunyi

3 November 2011   09:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:06 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menempuhperjalanan selama 1 jam lebih dari Ciparay dengan kondisi jalan yang menanjak serta rusak berat, tibalah saya di  Kertasari, salah satu Kecamatan di Kabupaten Bandung yang lokasinya diapit oleh gunung Wayang Windu di sebelah barat dan gunung Papandayan di sebelah timur yang saat ini sedang dalam status aktif. Tidak hanya itu, kecamatan ini pun dikelilingi 3 proyek panas bumi untuk menggenjot energi listrik 10000 Megawatt yang digalakkan oleh Jusuf Kalla saat menjabat sebagai Wapres RI. Tiga proyek itu antara lain PLTP Wayang Windu yang dikelola oleh PT Star Energy di sebelah barat,  PLTP Gas Bumi yang dikelola oleh PT Chevron Geothermal Energy di sebelah timur dan PLTP Kamojang yang dikelola oleh Pertamina di sebelah utara. Meski demikian, kondisi perekonomian dan infrastruktur Kertasari sangat memprihatinkan. Malam sebelum keberangkatan, kawan saya Dadan Ramdan dari Walhi Jabar mengirim SMS undangan meninjau lokasi sumur perluasan PT Chevron Geothermal Energy di Desa Cikembang Kertasari yang belakang ini sedang marak karena membabad hutan di kawasan hutan lindung. Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan. Dengan segera, malam itu juga saya berangkat dari Antapani, tempat tinggal saya selama hampir setahun ini menuju Banjaran, tempat tinggal orang tua. Lokasinya sendiri berjarak 7 kilometer dan berada di balik bukit Pangsireman. Untuk menempuhnya, kami berangkat dari rumah Kang Ade Setiawan di kampung Plered Desa Cikembang. Ada dua cara untuk menempuh lokasi itu, menggunakan jalan yang bisa dilalui kendaraan yakni melalui Desa Cihawuk dan menyusuri hutan di bukit Pangsireman. Karena melalui jalan Cihawuk akan dihadang petugas dari Chevron, akhirnya rombongan  memilih jalan menyusuri bukit Pangsireman karena tidak akan dihadang petugas dari Chevron dengan jalan kaki. Perjalanan itu pun dimulai. Melewati hamparan tanah perkebunan rakyat yang ditanami kopi, wortel, tomat, kentang dan palawija lain. Kang Ade mengatakan bahwa asalnya lahan perkebunan itu kawasan hutan. Karena ada program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dari Perhutani, maka hutan itu dibuka untuk perkebunan warga. Memang secara UU tidak boleh dilakukan pembukaan lahan hutan di kawasan hutan lindung apalagi Kertasari merupakan kawasan hulu Citarum. Namun, kang Ade mengatakan hal itu terpaksa dilakukan karena pilihan bagi warga Kertasari tidak memiliki lahan banyak  sementara pemerintah sendiri tidak memberdayakan warga Kertasari. Setelah melewati hamparan lahan perkebunan, mulailah rombongan memasuki bukit Pangsireman. Tak disangka, tanjakan pertama bukit itu sangat terjal dengan jarak 1 kilometer membuat rombongan kewalahan. Akhir dari tanjakan itu pun akhirnya usai. Belum lama rombongan berjalan, rombongan  beristirahat di bawah pohon Nangka yang rindang. Tampak kota Kecamatan Kertasari berada di bawah gunung Wayang Windu. Sejauh mata memandang, bukit yang dulunya penuh dengan pohon kini telah gundul karena umumnya digunakan lahan perkebunan. "Ini belum seberapa, nanti kita akan melewati tanjakan lebih parah, dan kita akan berjalan di jalan setapak yang ada jurangnya. Kita pun nanti akan melewati hutan lebat," kata kang Ade. Akhirnya perjalanan pun dilanjutkan. 30 orang rombongan berjalan beriringan. Tibalah saya di  hutan lebat yang dipenuhi pohon Mahoni. Namun, banyak ditemukan batang pohon besar yang telah ditebang serta  pohon besar yang runtuh akibat usia pohon dan lapuk hingga menghalangi jalan setapak Ternyata memang benar kata kang Ade, tanjakan menuju lokasi sumur sangat terjal. Tidak jarang, semak-semak berduri melukai tangan rombongan. Karena terjal, banyak anggota rombongan yang terpisah karena saat berjalan mereka memilih beristirahat, termasuk saya yang akhirnya ditemani pak Toto. Setiap jalan 5 menit saya meminta pak Toto untuk berhenti karena nafas tersenggal serta lutut kewalahan menahan tubuh menghadapi jalan yang terjal. Namun demikian, tidak bagi warga setempat yang terbiasa bolak-balik bukit ini untuk memperbaiki saluran air. Mereka sedikitpun tidak kewalahan bahkan mereka bisa melewati tanjakan terjal sambil  menghisap banyak rokok kretek. Setelah berjalan 2 jam, lokasi sumur pun belum juga sampai. "Ini baru setengah perjalanan. Mungkin 2 jam lagi kita sampai," kata  pak Toto, warga Kampung Plered yang sering bolak-balik bukit ini untuk perbaiki pipa air. Mendengar hal itu, rombongan kembali beristirahat dan menyantap makan siang yang telah disiapkan oleh istri kang Ade. Untuk melepas dahaga, sejumlah anggota rombongan mengisi botol air yang kosong dari pipa yang belah dan mengeluarkan air. Di tengah kondisi tubuh berpeluh keringat, kesegaran air asli pegunungan itu pun seolah melepas kelelahan. Perjalanan kembali dilanjutkan. Beruntung kali ini jalan tidak terjal melainkan menurun karena lokasi istirahat sebelumnya merupakan puncak dari bukit Pangsireman. Meski menurun, namun di kiri jalan terdapat lereng curam yang terhalang semak kering. Seringkali anggota rombongan terperosok saat menginjak semak tersebut karena dikira jalan tanah. Dan tidak jarang pula anggota rombongan menginjak pipa air yang mengalir ke Desa Cikembang dan Cihawuk yang sumber airnya berasal dari tidak jauh dari lokasi sumur. "Setelah ada penebangan hutan di lokasi sumur, pipa-pipa ini rusak karena tertimbun pohon yang jatuh dan air ke kampung kami berkurang," kata pak Toto. Tidak terasa akhirnya kami mendekati lokasi sumur. Rombongan harus melewati tanjakan terakhir sepanjang 500 meter dengan tanah merah yang becek. Tanah merah inilah bekas pembabadan hutan, di tanah ini pula saya melihat puluhan pohon yang roboh dan batang pohon yang telah ditebang. Setelah melewati sedikit tanjakan itu, tibalah saya di lokasi sumur. Di lokasi itu, terdapat lapang luas yang telah diaspal sejadinya. Luasnya sendiri kurang lebih 3 hektar. Di tengah lapang, terdapat pipa besi yang tertanam ke perut bumi. Di salah satu plang, tertulis lokasi ini bernama WF 1 dengan logi Pertamina di sebelah kiri dan logo Chevron di sebelah kanan. "Subhanallah, kenapa ini ditebang separah ini, coba lihat di sekeliling lapang ini, sudah mah banyak pohon tumbang, tanahnya pun rawan longsor," kata Dadan. Di dekat lokasi yang rawan longsor, terdapat besi yang ditancapkan ke dalam tanah dengan dipasangi garis membentuk segi empat dengan tulisan "jangan mendekat". "Mungkin ini titik yang akan dilakukan pengeboran lagi. Tapi masa disini, ini kan dekat banget dengan jurang," kata salah satu anggota rombongan. Adapun di sebelah utara lapang itu, terdapat jalan yang cukup untuk satu mobil. "Nah, jalan itulah akses Chevron menuju lokasi ini. Jalan itu bisa menuju Cihawuk, Kamojang juga Garut. Jadi bukan lokasi ini saja yang dibabad, buat akses jalan juga mereka membabad hutan," kata pak  Toto. Adapun di lokasi ini, saya tidak melihat satupun pekerja Chevron. Pipa yang tertanam juga tidak mengeluarkan asap dan tidak menimbulkan suara berisik. "Biasanya hari-hari biasa suka ada petugas dari Chevron. Tapi kenapa hari ini tidak ada. Mungkin mereka tahu aksi ini, jadi mereka mengamankan diri," ujar pak Toto. Setelah melihat langsung lokasi itu, tanpa beristirahat, rombongan pun kembali pulang. Perjalanan berangkat dan pulang sama lelahnya. Jika berangkat nafas  sering tersenggal karena menahan beban tubuh melewati tanjakan terjal, maka saat pulang, pergelangan kaki yang disiksa menahan tubuh karena dorongan yang kuat. Tidak jarang, anggota rombongan kakinya terkilir. "Terima kasih buat teman-teman yang telah ikut bersama kami. Meski banyak yang terkilir, tapi kalian bisa menunjukkan pada masyarakat Indonesia kalau Chevron benar-benar merusak Kertasari, rohnya Kabupaten Bandung," kata kang  Ade  sambil terisak. Sesampainya di kampung Plered menjelang Magrib, anggota Polisi dari Polsek Kertasari menghubungi Ade. Menanyakan apakah aksinya tidak jadi, karena seharian sejumlah anggota Polisi menunggu di gerbang pintu masuk. Rupanya, itu upaya rombongan untuk mengalihkan perhatian, rombongan terpaksa memberitahu Polisi bahwa rombongan akan menggunakan jalan Cihawuk padahal rombongan menggunakan jalan menyusuri hutan Pangsireman. Alhasil upaya itu pun berhasil. "Jika tidak seperti itu, kita tidak akan berhasil menuju lokasi sumur," kata kang Ade. Setelah kepulangan dari sana,rasa nyeri dan linu saya rasakan di pergelangan kaki kiri, otot betis, otot paha dan pinggang. Alih-alih mengadu dan sedikit bermanja-mana, saya ceritakan pada sang pacar. Jawaban dari sang pacar pun mengenaskan, "puas, rasain tuh,".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun