Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menjelang Ayah Pensiun

12 April 2012   11:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu ini, Bapak saya yang hendak memasuki usia pensiun dari sebuah perusahaan BUMN seringkali mengajak adik bungsu saya ke lahan kosong miliknya yang kini ditanami pohon sengon dan jabon di sebuah kaki gunung di Kabupaten Bandung. Seringkali ia bercerita pada adik saya ini, bahwa pohon-pohon yang ditanaminya ini kelak setelah ia pensiun siap dipanen kemudian dijual. Bapak saya cerita pada adik saya yang masih berusia 4 tahun ini bahwa pohon-pohon ini kemudian akan dijual dan uangnya lebih dari cukup untuk membiayai sekolah adik saya dan sebagian lagi untuk membangun rumah yang bisa difungsikan sebagai madrasah di daerah itu.


Karena seringnya ayah mengajak adik saya ke kebun sengon dan jabon itu, adik saya ini seringkali bilang pada kami, anggota keluarga, bahwa biaya sekolahnya tidak akan bersumber dari penghasilan ayah sebagai karyawan BUMN, tapi dari hasil penjualan pohon. Dia pun tahu, batang pohon mana saja yang akan digunakan untuk biaya sekolahnya dan mana batang pohon yang akan digunakan untuk membuat madrasah.


Ayah saya tahu betul jika saat pensiun nanti, penghasilannya akan berkurang sementara masih ada tanggungan anak bungsunya untuk tetap sekolah. Sementara anaknya yang lain, seperti halnya saya dan kedua adik saya, sudah tidak lagi menjadi tanggungannya karena sudah bekerja. Oleh karena itulah ayah membeli lahan kosong yang cukup luas dan menanaminya dengan pohon produktif.


Mengingat hal itu, saya jadi teringat dengan banyaknya warga di kawasan Bandung Utara (KBU) yang banyak menjual lahannya pada pengembang untuk dijadikan perumahan. Akibatnya, jika pernah bekunjung ke daerah KBU, banyak lahan gundul. Di samping itu, banyak juga warga yang akhirnya menjadi buruh di lahan yang semula miliknya. Padahal, jika mengingat kebutuhan kayu nasional yang mencapai jutaan meter kubik, para pemilik lahan ini bisa memanfaatkan lahannya untuk ditanami pohon produktif seperti halnya yang dilakukan oleh ayah. Singkatnya, menurut saya, daripada menjual lahan untuk dijadikan perumahan, lebih baik ditanami pohon produktif.


Sebagai gambaran, saat ini, untuk perusahaan kayu lapis skala menengah, kebutuhan kayu khususnya jenis sengon dan jabon mencapai minimal 2 ribu meter kubik per bulan. Sedangkan untuk perusahaan kayu besar, minimal kebutuhan kayu mencapai 10 ribu meter kubik per bulan. Jadi, jika pemilik lahan lebih menjual lahan ke investor, sangat disayangkan. Makanya, meski saya belum sempat menanam pohon produktif karena belum memiliki lahan, saya anjurkan para pemilik lahan yang umumnya petani, jangan jual lahan.Tanami saja pohon-pohon produksi seperti halnya sengon atau jabin. Hal itu karena kebutuhan kayu nasional saat ini umumnya mengunakan jenis kayu itu.


Untuk perusahaan kayu skala menengah yang kebutuhan minimalnya mencapai 2 ribu meter kubik perbulan, keuntungan yang bisa didapat dengan mensuplai kayu itu mencapai Rp 2 milyar. Perhitungannya, saat ini harga kayu Jabon per meter kubik mencapai Rp 1 juta. Adapun untuk menghasilkan 2000 meter kubik, dibutuhkan lahan seluas 5-7 hektare. Jika Rp 1 juta dikalikan 2000 meter kubik, keuntungan kotornya mencapai Rp 2 milyar. Nah, jika yang mensuplai itu petani pemilik lahan yang memiliki lahan 5 hektare, petani atau pemilik lahan yang selama ini selalu terpinggirkan akan terangkat harkat derajatnya. Dan tentunya, raja-raja kayu bukan saja di Kalimantan, tapi juga di tanah Sunda.


Industri kayu nasional saat ini, secara umum masih menggunakan kayu sengon untuk memproduksi kertas hingga kayu lapis atau bahkan kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah. Di samping itu, untuk jenis kayu Borneo dari Kalimantan, dengan adanya Moratorium Oslo, yang salah satu poin pentingnya menghentikan deforestrasi hutan di Indonesia, salah satunya di Kalimantan, akan berdampak pada berkurangnya pengiriman kayu dari Kalimantan ke pulau Jawa.


Dengan adanya itu, sebenarnya potensi sangat besar bagi para pemilik lahan di tanah sunda untuk menjadi raja-raja atau bos kayu dengan menanam pohon Jabon atau sengon. Pasalnya, saat ini, permintaan kayu khususnya Jabon oleh industri sedang meningkat. Bahkan saat ini telah menggeser kayu Sengon. Tidak hanya itu, jenis kayu Jabon Merah kualitasnya sebanding dengan kayu Jati dan kayu Borneo.


Khusus untuk Kayu Jabon ini, selain bisa tumbuh besar selama 5 tahun, juga sangat menguntungkan bagi para pemilik lahan. Hal itu karena setelah masa panen, pohon-pohon Jabon yang telah ditebang ini, meknyisakan tunas-tunas yang akan tumbuh kembali. Dengan begitu, pemilik lahan tidak perlu menanam kembali karena tunas-tunas ini akan tumbuh kembali.


Dengan konsep seperti itu, saya yakin, dengan segala kelebihan pohon produktif ini, akan melahirkan bos-bos kayu di

tanah sunda. Bos-bos kayu ini bukan pengusaha, melainkan para petani atau para pemilik lahan yang nantinya akan mensuplai jutaan meter kubik kayu ke industri kayu nasional. Selain itu, dari segi lingkungan, selain sangat menguntungkan dari segi materi, pohon produktsi seperti halnya jabon ini dapat menjadi konservasi bagi tanah dan hutan karena sifatnya yang memiliki akar serabut dan banyak sekali menyerap air. Jadi, tentunya, selain lahirnya raja-raja kayu, sejuknya udara karena pohon semakin menyehatkan kita dan bumi yang kita pijak. Selamat menanam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun