Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Segera Sahkan RUU BPJS!

19 Juli 2011   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sampai sejauh mana kita, dari mulai Indonesia merdeka hingga sekarang, telah memiliki standar jaminan perlindungan yang menjawab setiap kebutuhan dasar kita sebagai warga negara. Saat negara lain memulai konsep jaminan sosial dari awal kelahirannya, justru Indonesia, baru memulainya saat Indonesia berusia 59 tahun, tepatnya pada Oktober 2004, saat pemerintah mengesahkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Jika dihitung hingga sekarang, usianya baru tujuh tahun, usia yang matang untuk berdiri bagi seorang bayi. Lain lagi dengan SJSN, meski telah berumur tujuh tahun, ia tak juga bisa berdiri atau berjalan, karena kakinya belum tumbuh. Hingga pada tahun 2009, kaki sistem jaminan sosial yang bernama Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai direncanakan tumbuh dengan dibahasnya RUU BPJS, amanat langsung dari UU SJSN.

Saat pembahasan RUU BPJS berlangsung, tidak ada angin tidak ada hujan, sekelompok orang mulai dari ormas Islam hingga serikat pekerja mulai berusaha menggagalkan kaki dari bayi bernama SJSN. Mereka menolak RUU BPJS dan UU SJSN karena mereka menganggap bahwa keduanya produk asing yang sangat liberal, tidak hanya itu, mereka juga menganggap bahwa konsep SJSN memeras rakyat kecil. Selain itu, saat DPR dan pemerintah yang diwakili oleh delapan menteri hendak melakukan pembahasan akhir mengenai BPJS, tiba-tiba secara mendadak mereka membatalkan pembahasan dengan DPR dengan alasan adanya jadwal sidang kabinet, ironis.

Singkat kata, dengan mengesahkan RUU BPJS sesuai amanat UU SJSN yaitu penyelenggara SJSN bersifat nirlaba dan wali amanah, yang artinya, merubah empat perusahaan BUMN seperti PT. Askes, Asabri, Taspen dan Jamsostek menjadi sebuah lembaga wali amanah dan nirlaba, kebutuhan dasar warga negara akan terpenuhi, sesuatu hal yang belum kita dapatkan selama 66 tahun Indonesia merdeka.

Pertanyaanya, bagaimana hal itu bisa berjalan. UU SJSN menghendaki mekanisme asuransi sosial untuk program jaminan kesehatan, hal yang dianggap haram oleh Wantimpres, Siti Fadhilah Supari. Dia menganggap asuransi sosial memeras uang rakyat. Jika kita benar-benar mencermati sistem pengiuran dalam UU SJSN, disana sudah sangat jelas dikatakan, bagi orang tidak mampu atau fakir miskin, iuran dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar warga negara. Sebaliknya, masyarakat mampu membayar iuran jaminan sosialnya secara pribadi. Kurang lebih, seperti itulah konsep sistem jaminan sosial nasional yang menjawab setiap kebutuhan dasar warga negara agar mereka bisa hidup layak.

Selain itu, SJSN menghendaki status penyelenggara bersifat nirlaba. Dalam konteks ini, dengan sangat rigid UU SJSN mengatur dan menghendaki soal itu. Pemerintah dalam hal ini justru menolak mekanismenya karena, dengan merubah empat BUMN menjadi nirlaba, itu menghilangkan pendapatan negara dari deviden yang diberikan. Jika mengikuti logika profit, memang demikian. Tapi ada hal penting yang perlu disadari, mengesahkan RUU BPJS menjadi undang-undang ialah pintu gerbang menuju kesejahteraan, menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjawab penantian rakyat Indonesia yang puluhan tahun menanti pemerintah melindungi, memberikan dan menjamin kebutuhan dasar setiap warga negara.

Berbagai hambatan untuk merealisasikan mimpi suci itu kini sedang diuji dan dihalangi dengan setengah mati oleh mereka yang hanya percaya bahwa kebutuhan dasar sudah cukup terpenuhi oleh program Jamkesmas yang juga setengah mati membebani APBN.

Pilihan logisnya, pertama. apakah pemerintah lebih rela menanggung 12.9 persen warga miskin melalui jamkesmas dan mengenyampingkan masyarakat lain yang sewaktu-waktu bisa miskin, sekedar mengingatkan, kebutuhan dasar warga negara untuk kesehatan adalah hak dasar tiap warga negara, tidak hanya warga miskin. Kedua, apa pemerintah rela memilih membayar iuran warga tidak mampu dan fakir miskin sementara masyarakat mampu membayar sendiri iuran jaminan kesehatannya, hingga setiap orang terlindungi kebutuhan dasarnya.

Pembahasan RUU BPJS tinggal menghitung hari, tanggal 22 Juli adalah batas waktu yang ditetapkan untuk pembahasan. Jika pada tanggal tersebut belum juga disahkan, maka pembahasan akan dilanjutkan oleh anggota DPR periode selanjutnya. Jika itu terjadi, rakyat akan kembali menanti setelah puluhan menanti. Tega kah jika harus seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun