Mohon tunggu...
Muhammad Zainudin
Muhammad Zainudin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS KUA Kecamatan Mranggen Kab. Demak Prov. Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penghulu Bicara Pungli di KUA

30 Desember 2012   18:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:47 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_232391" align="aligncenter" width="475" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Akhir-akhir ini banyak berita yang terkesan menyudutkan KUA dan Penghulunya. Hal ini dipicu oleh pernyataan Irjen Kemenag RI, M. Jasin, yang katanya pungli di KUA menembus angka 1,2 triliun / tahun. Tidak dapat dipungkiri bahwa "pungli" itu memang benar terjadi, tetapi apakah sebombastis itu jumlahnya? 1 juta sampai 3 juta per peristiwa, bahkan katanya sampai 8 juta. Bahkan, (katanya lagi) di Klaten Penghulu bertato (na'udzbillah kalau itu benar-benar Penghulu KUA) memalak tuan rumah dengan nominal Rp. 200.000,-. Pemberitaan-pemberitan tersebut mungkin benar, tapi juga mungkin salah. Mungkin saja itu benar karena kita tidak pernah tahu kondisi riil terkait setiap peristiwa pernikahan di seluruh wilayah Indonesia. Namun bisa saja hal itu salah karena sumbernya yang tidak valid dan tidak terpercaya. Atau bisa saja (maaf) itu akal-akalan "oknum" media yang ingin mengumbar sensasi dan menaikkan rating atau oplahnya. Dengan asumsi pernikahan dalam setahun 2,5 juta peristiwa, jika terjadi 1000 peristiwa pernikahan saja sebagaimana yang "dituduhkan", maka rusak pula yang lain -yang sebenarnya jauh lebih besar prosentasenya. Ibarat pepatah: karena nila setitik rusak susu sebelanga. Mari kita belajar lebih cermat, lebih bijaksana dan lebih komprehensif melihat persoalan pungli di KUA. Baik dari segi regulasi maupun sosio-budayanya. Sehinga tidak langsung menjustifikasi KUA Korup atau Penghulu korup. Menurut PMA No.11 Tahun 2007, pernikahan dilangsungkan di Balai Nikah (KUA), namun kenyataannya sebagian besar masyarakat ingin akad nikahnya di rumah, masjid, gedung, hotel atau tempat-tempat lainnya di luar kantor. Hal ini tentu membawa sebuah konsekuensi, yakni munculnya biaya transportasi. Ironisnya, KUA dan Penghulu tidak memiliki anggaran untuk itu. Bahkan, jangankan mobil dinas, motor dinaspun juga tidak ada. Persoalan semakin bertambah jika hal itu terjadi di daerah terpencil, seperti di luar jawa (di Jawa sekalipun masih banyak daerah-daerah yang jauh dan sulit dijangkau). Menurut regulasinya, jam kerja KUA (Penghulu) adalah lima hari kerja, tapi permohonan akad nikah diluar hari dan jam kerja sangat tinggi. Tidak hanya siang hari, malam hari juga sering terjadi. Akibatnya, banyak waktu yang seharusnya untuk keluarga digunakan untuk memenuhi hajat masyarakat. Kalau di swasta ada istilah uang lembur, di KUA tidak dikenal istilah itu. Menurut aturan, tugas Penghulu adalah memeriksa (keabsahan berkas calon pengantin dan wali), mengawasi, dan mencatat peristiwa nikah, tetapi praktek di lapangan Penghulu banyak diminta merangkap sebagai MC, Khotbah Nikah, menerima taukil wali (dimintai tolong menikahkan), memberi nasehat nikah, sampai do'a juga dipimpin oleh Penghulu. Bukan bermaksud mencari alasan untuk pembenaran tindakan, juga tidak ingin (maaf) maling teriak maling, namun kurang lebih demikian kondisi riil di lapangan. Mungkin ada "oknum penghulu" yang senang mengambil keuntungan atas nama tugas, atau mungkin juga berkeliaran "Penghulu-penghulu gadungan" (bukan PNS pada KUA), tetapi para Penghulu yang memiliki integritas dan berjiwa melayani juga ribuan jumlahnya. Seperti anggota group "Sohib KUA Jateng", "FK-OSI", maupun "Forum Komunikasi Kepala KUA dan Penghulu se-Indonesia" di facebook. Di atas itu semua, saya secara pribadi sepakat bahwa di luar Rp. 30.000,- adalah pungli. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang terbaik dan tidak terbebani oleh tingginya biaya nikah. Sebaliknya, KUA sebagai pelayan masyarakat juga harus secara terus menerus meningkatkan mutu pelayanannya. Persoalannya, siapkah negara membuat regulasi yang mampu memuaskan semua pihak (masyarakat dan Penghulu) sekaligus menjawab problematika masyarakat dan problematika KUA, dalam hal ini Penghulu? semua kembali kepada goodwill pemerintah, integritas Penghulu dan juga kesadaran masyarakat. Wallahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun