Mohon tunggu...
Langit Biru Kerinci
Langit Biru Kerinci Mohon Tunggu... -

saya adalah perempuan biasa yang ingin selalu belajar sambil membagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nama Beliau Kasmirah

21 Mei 2012   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama beliau Kasmirah, anak tunggal lurah jaman belanda. Beliau hidup sejak jaman penjajahan belanda hingga orde baru. Karena anak tunggal dari seorang lurah, cantik dan semampai pula, banyak pria ingin meminangnya. Jabatan lurah beserta sawah jatah lurah yang luas (jawa: bêngkok), yang lazim diwariskan secara turun temurun pada masa itu, merupakan bonus yang sangat menggiurkan jika bisa memenangkan hati seorang Kasmirah. Hingga suatu saat ada pria bernama Yusuf yang memenangkan hatinya. Ayahanda Kasmirah, yang khawatir akan masa depan putri tunggalnya kala itu, kemudian memberi syarat pada Yusuf: “ lek kowe mengko nggawe dolanan anakku, titenono kowe ra menangi gedene putumu.” (Jika suatu saat nanti kamu mempermainkan anakku, lihat saja kamu tidak akan melihat besarnya cucumu kelak)

Waktu demi waktu berlalu. Berat godaan menjadi pamong kala itu. Hingga akhirnya Yusuf pun tidak tahan terhadap ujian dunia. Yusuf pun kawin lagi dengan gadis muda. Kasmirah pun meradang. Beliau tidak mau dimadu, Beliau minta cerai. Dengan keuntungan yang sudah berada di tangannya, Yusuf pun menceraikan Kasmirah. Kasmirah akhirnya menjadi janda muda dengan satu anak yang hanya mewarisi rumah peninggalan orang tuanya, secuil kebun dan petak kecil sawah. Jauh lebih sempit daripada apa yang diambil Yusuf dari beliau. Hingga akhirnya Kasmirah pun berjanji: “Lek aku ora iso ngalahne sugihe Kaji Yusuf, ojo celuk aku Kasmirah” (Jika aku tidak bisa mengalahkan kekayaan Haji Yusuf, jangan panggil aku Kasmirah). Kasmirah tidak pernah menikah lagi setelah itu.

Kasmirah pun bekerja keras pagi, siang, malam dan hidup irit sekali. Tiap hari beliau bangun jam 2 pagi. Baju bagus hanya satu dan hanya dipakai untuk mengunjungi saudara di kota dan lebaran saja. Setelah dipakai, baju dicuci lalu disimpan dalam lemari. Selebihnya hanya baju dengan tambalan sana sini yang dipakai. Bertani di sawah dan juga berkebun, itulah mata pencahariannya. Bila ada pasar malam di kota, maka hasil kebun seperti apel, sawo, rambutan dijual di pasar malam di kota yang jaraknya 10 km dengan berjalan kaki. Makan daging, ayam, maupun telur hanya ketika ada hajatan. Walaupun beliau hidup irit untuk dirinya, tetapi beliau cukup royal jika menyangkut ummat. Beliau sering mengadakan selamatan atau syukuran dan tiap hari selama ramadhan selalu menyumbang takjil di masjid. Hingga akhirnya, beliau berhasil memperluas sawah hingga beberapa kali lipat dari modalnya dulu. Sistem manajemen keuangannya sederhana. Uang dari hasil bekerja disimpan di “rinjing” (keranjang besar dari bambu, biasa untuk membawa barang dagangan ke pasar, dan bisa diikatkan ke punggung) hingga memenuhi banyak rinjing. Tak perlu menggunakan tas channel atau LV, rinjing itu bisa menyimpan uang jutaan, tanpa dicurigai perampok. Beliau juga terkenal di kalangan pedagang di pasar sebagai pemodal. Tetapi tidak meminta bunga dari uang yang dipinjamkannya. Para pedagang diberi kebebasan kapan bisa mengembalikan uang yang dipinjam tersebut, bahkan beberapa tidak mengembalikannya. Kasmirah tak ambil pusing. Karena Beliau percaya rezeki sudah ada yang Maha Adil yang mengatur. Uang hasil kerja kerasnya terkadang dibelikan emas. Jika uang dan perhiasan, sudah mencukupi, setiap ada berita orang yang ingin menjual sawah, beliaulah orang yang akan pertama kali mendaftarkan diri sebagai pembeli. Jika diperoleh harga yang cocok, maka makin bertambahlah investasi beliau. Beliau hanya tamatan sekolah rakyat.

Jaman dulu seringkali terjadi pemotongan nilai mata uang tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi seorang Kasmirah. Bila uang yang disimpannya dalam rinjing tidak laku lagi, maka saatnya dibuang ke jamban dan saatnya bekerja lebih keras lagi. Di tahun 60-an ketika politik di Indonesia masih carut marut, Kasmirah pun terkena imbasnya. Beliau difitnah sebagai musuh pemerintah karena menimbun hasil panenannya. Beliau akhirnya mendekam selama beberapa bulan di penjara.

Berpeluh-peluh keringat yang Kasmirah teteskan, akhirnya bisa mewujudkan janjinya. Dia berhasil mengalahkan kedigdayaan Yusuf. Ekonomi Yusuf akhirnya morat marit dibagi-bagi kepada keempat istrinya. Dan, Yusuf pun meninggal sebelum melihat cucu-cucunya tumbuh besar. Karena kerja keras Kasmirah juga, kini 17 cicit kandung beliau bisa hidup enak dan masing-masing masih bisa mendapatkan warisan sawah beserta kebun yang cukup luas. Tapi yang paling penting adalah warisan etos kerja dan semangat superwoman beliau. Beliau berhasil membuktikan sebagai wanita yang memiliki harga diri dan tidak tunduk pada kesewenang-wenangan lelaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun