Semalam, 22.30, aku baru pulang dari lab. Cuci tangan lalu siap-siap makan. Belum ganti baju karena aku lapar sekali, ini adalah makan pagi-siang-malamku yang jadi satu. Efisiensi. Kulihat menu yang disajikan temanku. Oh.. tak ada sambal. Aku adalah fans berat sambal. Hidupku tak lengkap tanpa sambal. Nasi tanpa lauk tak mengapa asal ada sambal. Akhirnya aku membuat sambal dahulu. Melihat menunya, aku harus membuat sambal bawang. Cabe, garam, gula pasir, dan bawang lalu diuleg.
Sambal pun jadi, saatnya makan. Berhubung aku lapar sekali, separuh porsi makanku masuk langsung ke perut tanpa perlu lama-lama disensor oleh indera pengecap. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa rasa sambal bawangku hanya dominan pedas. Tidak sedap seperti buatan ibuku.
Oh Ibuku, sambal buatannya memang nomor satu. Sebenarnya apa yang beliau buat selalu jadi nomer satu untukku. Aku kangen…. Delapan bulan berlalu tanpa kami bertemu. Sambal bawang tiba-tiba membuka kerinduanku terhadapmu (lagi). Sambal bawang buatan ibuku selalu enak, tidak terasa pedas meskipun menggunakan banyak cabe. Terkadang beliau menambahkan minyak jelantah (minyak yang sudah pernah dipakai untuk menggoreng sesuatu) ke dalam sambal bawang buatannya. Yang ini rasanya lebih nikmat.
Oh ibuku… aku ingat aroma bawang di tangannya setiap kali kumencium tangannya. Dulu aku sempat berbicara dalam hati seusai mencium tangannya. Ibuku kenapa tidak mencuci tangan dengan bersih, sih. Sudah cantik-cantik kok tangannya masih bau bawang.
Kini setelah aku hidup jauh terpisah darimu dan mulai sering memasak, aku tau, bau bawang yang sudah telanjur melekat tidak mudah hilang, meskipun sudah dicuci dengan sabun yang wangi berulang kali. Biasanya seharian baru hilang. Syukurlah aku memasak tak sendiri. Aku dan teman-temanku berbagi giliran memasak sehingga tiap orang paling sering akan memasak dua kali dalam seminggu.
Bagaimana dengan Ibuku.. beliau tidak berbagi waktu memasak. Setiap hari beliau harus memasak. Sehari setidaknya dua kali memasak. Dan bawang adalah komponen utama dalam setiap masakan. Jadi, sepertinya tidak ada kesempatan tangan ibuku jadi wangi tanpa bau bawang. Aku akhirnya menyadarinya dan menyesal telah sempat protes atasnya. Tangan yang bau bawang itulah yang bisa membuatku jadi sebesar ini. Aku sendiri tidak suka dan risih jika tanganku bau bawang. Bagaimana dengan ibuku… Setahuku beliau tidak pernah mengeluh ataupun menyalahkan kami tentang bau bawang di tangannya. Dan beliau masih tetap memasak dengan bawang sampai saat ini.
Oh Ibuku… aku makin kangen padamu. Satu memori lain melintas di benakku. Aku masih sangat ingat hari itu. Aku masih belum genap lima tahun, ketika ayah harus pergi melanjutkan studinya di negeri yang jauh sendiri. Kami pergi mengantar keberangkatan beliau di bandara soekarno hatta. Ibuku rela ayahku melanjutkan studinya. Tapi.. bagaimanapun juga detik-detik menjelang keberangkatan tentunya tetap sangat mengharukan. Ketika ayah sudah masuk ruang tunggu penumpang dan berpisah dengan aku ibu dan adikku yang baru 2 tahun, Ibu mulai gelisah. Beliau mengajakku mencari tempat di mana bisa melihat pesawat ayahku take off, dengan harapan masih sempat melihat wajah ayahku lebih lama-kini aku tahu tidak mungkin bisa melihat wajah orang yang berada dalam pesawat dari luar. Kami berkeliling di bandara soekarno hatta, dan aku tahu saat itu ibu menangis. Lalu yang aku ingat setelah itu, kami masuk ke salah satu ruangan petugas. Bapak itu kemudian menasehati ibuku, bahwa sebaiknya diikhlaskan saja supaya perjalanan ayahku juga mudah. Ibuku akhirnya menyerah, tidak berkeliling lagi. Lagipula saat itu sepertinya pesawat yang membawa ayahku sudah take off. Yang aku ingat dari jendela di ruangan Bapak itu, aku sempat melihat pesawat yang beranjak terbang sembari mendengar isakan tangis ibuku. Aku lalu berjanji. Janji seorang anak berusia 5 tahun kala itu adalah bahwa suatu saat aku akan membawa ibuku ke luar negeri.
Lalu… waktu demi waktu berlalu tanpa ayahku. Ibuku menahan rindu dan aku tetap dengan kenakalanku tanpa menyadari kesukaran ibuku membesarkan dua anak yang masih kecil seorang diri tanpa suami. Ya hanya ibuku, tanpa pembantu, nenek hanya kadangkala berkunjung. Ibu waktu itu ingin sekali ke luar negeri seperti ayahku. Teman-teman ayahku lainnya yang sekolah di tempat yang sama, satu-persatu membawa istri mereka berkunjung. Akhirnya dengan menyisihkan sebagian uang beasiswanya tiap bulan, ayah berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mengurus keberangkatan ibuku ke tempatnya menuntut ilmu. Tapi hanya cukup untuk ibuku, tanpa aku dan adikku. Ibuku pun tak mau. Beliau tidak mungkin bersenang-senang sendiri tanpa anak-anaknya. Ibuku juga sangat-sangat tidak ingin untuk menitipkan anak-anaknya supaya diurus sang nenek seperti yang dilakukan oleh teman-teman ayahku. Bagi beliau anak-anaknya harus selalu bersamanya, beliau tidak rela harus menyerahkan anaknya ke orang lain walaupun itu ibunya sendiri. Aku tahu ibuku sangat menyayangi aku dan adikku. Hingga akhirnya masa studi ayahku berakhir dan ibuku pun tak ada kesempatan untuk melihat negeri tempat ayahku menimba ilmu, padahal aku tahu beliau sangat ingin ke sana.
Tapi aku tak akan lupa janji masa kecilku
Waktu demi waktu berlalu. Tapi janjiku belum terwujud juga. Kini justru aku yang akhirnya sendirian pergi ke luar negeri, meninggalkan ibu di rumah. Hingga hampir habis masa studiku, uang beasiswaku masih belum mampu membawa ibuku, setidaknya, ke negeri yang sama dengan yang pernah kukunjungi. Kapan aku bisa mewujudkannya. Janjiku itu. Tapi aku akan selalu berdoa semoga Tuhan membantuku mewujudkan janjiku pada ibu sebelum salah satu dari kami pergi dari dunia ini.
Ibu aku sungguh kangen Ibu.. Tuhan lindungilah Ibu, ayah dan adikku selalu. Sayangilah mereka melebihi kasih sayang mereka terhadapku.