Dalam bukunya yang berjudul ’al-Tibr al-Masbuk fî Nashîhah al-Mulûk’ Al Ghazli menyebutkan bahwa bangsa Majusi yang menyembah api di Persia pernah menguasai dunia, empat ribu tahun lamanya. “Mengapa bisa begitu lama bertahan?”lalu beliaupun menjelaskan bahwa itu disebabkan karena mereka dipimpin oleh tangan-tangan yang adil dan orang-orang yang bekerja untuk kesejahteraan bangsanya, rakyatnya. Agama menurut mereka tidak membenarkan kezaliman dan penyimpangan”.
Al Hujjah al-Islâmitu tampak sekali bermaksud ingin menegaskan kembali mutiara agama yang dilupakan, bahwa “keadilan adalah kunci sukses sebuah kepemimpinan dan kezhaliman menjadi sumber kehancurannya”. Siapapun penguasa atau pemimpinnya, tidak peduli apa agamanya, apa suku bangsanya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya dan siapapun keturunannya, asalkan dia cakap dan mampu bertindak adil dan membenci kezaliman, menyejahterakaan rakyatnya dan bukan menyengsarakannya, maka negara dan rakyatnya akan berjaya dan makmur. Sebaliknya, siapapun penguasanya, agama apapun dia, dari suku manapun dia, dan jenis kelamin apapun, jika memimpin dengan cara-cara despotis, membiarkan kezaliman dan mengeksploitasi masyarakatnya, maka dia akan menciptakan kebangkrutan, kehancuran negara dan kesengsaraan rakyat.
Itulah sebabnya Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata :”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipunma’a al-kufridan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipunma’a al-muslimin”. Atas dasar pernyataan Imam Ali RA Itulah Syaikhul Islam Ibnu taimiyyah berkata “Allah akan menegakkan negara yang (pemimpinnnya ) adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim, meskipun (negara) Muslim”. Maka jelaslah bahwa esensi sebuah kepemimpinan adalah terletak pada ada atau tidaknya keadilan pada sang pemimpin tanpa memandang apapun agama, suku,bahasa dan warna kulitnya.
Itulah sebabnya tidak mengherankan bila Kiai Said Aqil Siraj pernah mengatakan bolehnya pemimpin non muslim selama dia bisa membawa keadilan dan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Tentu saja pernyataan Kiai Said tersebut bukanlah murni pendapatnya, melainkan merujuk pada perkataannya Imam Ali, al Ghazali dan Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu sungguh mengherankan apabila ada yang berpandangan bahwa pernyataan Kiai said itu merupakan pernyataan liberal dan ngawaur, sampai –sampai menuntut agar Kiai said mundur dari jabatannya dari ketum PBNU sebagaimana yang dilakukan siraja dangdut yang lagi galau gara –gara prilakunya yang akhir –akhir ini semaikin mendapatkan resistensi dari masyarakat luas. Harusnya sang raja dngdut tersebut bercermin, siapa dirinya apa kapasitasnya hingga berani menuntut mundur terhadap seorng ulama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H