Mohon tunggu...
Lamser R. H. Aritonang
Lamser R. H. Aritonang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Melayani, Melatih dan Memberdayakan supaya Hidup Berkelimpahan dan Berbagi

Belajar, bekerja dan berbagi untuk mengubah pikiran, perasaan, sikap, tulisan dan tindakan dalam upaya menjadi trainerpreneur, writerpreneur dan propertypreneur sejati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

5. Bagaimana Gereja HKI Merayakan Pesta Demokrasi?

15 Januari 2016   16:20 Diperbarui: 15 Januari 2016   16:34 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah dinyatakan sah sebagai pemilih, peserta mendapat semacam voucher untuk ditukarkan dengan Surat Suara di dalam gereja. Surat Suara ada 4 yang terdiri dari warna biru untuk calon Guru Jemaat, warna merah untuk calon Majelis Jemaat unsur Parhalado, warna hijau untuk calon Majelis Jemaat non Parhalado serta  warna kuning kuning untuk calon BPKJ.

Surat suara diisi di dalam gereja yang bisa menampung 15 orang sekaligus. Pengisian Surat suara yang benar adalah dengan mencontreng/memberi tanda √ pada tempat yang disediakan. Selanjutnya surat suara dilipat kembali dan memasukkannya ke dalam kotak suara yang di tempatkan di atas meja di depan altar. Peserta yang sudah memilih memasukkan sebuah jari ke dalam wadah bertinta. Pokoknya, prosesnya sama seperti Pilkada dan Pilpres.

Sebagai catatan, anggota jemaat pemilik sempat tertahan beberapa menit setelah mendapat voucher untuk mendapatkan kesempatan memasuki gedung gereja. Hal ini sangat wajar karena arus manusia dari 9 meja per sektor, lalu menyempit untuk melalui satu pintu. Walaupun dikatakan bisa masuk 15 orang sekaligus, tetap saja yang masuk harus bergiliran. Namanya manusia, selalu ingin yang duluan. Kalau lebih sabar akan lain ceritanya.

Setelah semua peserta sudah menggunakan hak pilihnya, tibalah saat yang paling mendebarkan yakni penghitungan suara. Gedung gereja kembali penuh, bahkan sebagian berdiri di belakang. Pimpinan Sidang memutuskan untuk memulai penghitungan suara dari kotak berwarna kuning yaitu calon anggota BPKJ. Hasilnya Salomya br Sihombing,AAIJ, Feblo Silaban, SE dan Linduben Lumban Gaol, SE meraih urutan pertama hingga ketiga.

Karena pertimbangan waktu, Majelis Ketua Persidangan mengusulkan supaya dilakukan penghitungan suara secara paralel. Sidang Jemaat menyetujui usul tersebut, sehingga penghitungan suara calon Majelis unsur Parhalado dan calon Majelis unsur non Parhalado dilaksanakan secara paralel di lantai 2. Panitia, Pimpinan Sidang dan peserta terbagi dalam 3 tempat.

Penghitungan suara calon Guru Jemaat berlangsung tentram dan damai. Hati boleh waswas atau gembira, tapi Majelis Ketua Persidangan mengajak supaya proses penghitungan suara tidak perlu berteriak atau berteriak, kecuali kalau sudah selesai. Hasil akhirnya terpilih St. Ir. J. Togatorop sebagai peraih suara terbanyak berjumlah 268 suara.

Sedangkan 7 orang peraih suara terbanyak Majelis unsur Parhalado berturut-turut adalah St. M. Nababan, St. P. Simamora, St. M. Silalahi, St. D. br Pakpahan, St. Ir. Elfrans Silalahi, St. Lamser Aritonang, M. Si, St. Ben Tobing.

Ada kejadian sangat unik pada saat  diumumkan perolehan suara urutan kelima. Ada calon yang neraih angka yang sama. P. SianturI, SH dan L. Tobing mengantongi 170 suara. Sesuai PRT, diadakan pemilihan ulang. Akan tetapi, Majelis Ketua Persidangan menganjurkan agar mereka untuk berbicara dengan tenang dari hati ke hati. Mereka dipersilakan ke ruang konsistori. Kurang dari waktu 5 menit yang disediakan, keduanya sepakat untuk menempuh langkah manjomput na sinurat (sistem undi). Prinsip ini mengacu pada pemilihan Ephorus HKI yang dilakukan pada Sinode yang lalu. Sontak, ini membuat hati para peserta yang masih bertahan bertanya-tanya. Siapakah yang akan terpilih?

Pimpinan Sidang memerintahkan panitia pelaksana untuk mempersiapkan 6 kertas tergulung, dengan membubuhkan tulisan hanya pada satu kertas. Yang mengisi satu lagi posisi Majelis adalah yang mendapat kertas bertuliskan,”Saya terpilih jadi Majelis.”  

Sebelum mengambil kertas undian, Majelis Ketua Persidangan meminta kesediaan Pdt. Janto Sihombing, M. Th sebagai  Pendeta Resort Jakarta II sekaligus Praeses Daerah VII Pulau Jawa untuk berdoa agar pimpinan Tuhan turun dan terpilih orang yang tepat. Demikian juga jemaat berdoa masing-masing dalam hati. Lalu, Majelis Ketua Persidangan mempersilakan kedua calon untuk suit tangan untuk menentukan siapa yang pertama kali mengambil kertas. Namun, L. Tobing angkat bicara dan dengan besar hati mempersilakan P. Sianturi, SH untuk mendapat giliran pertama. Suasana hening, diam dan mencekam. Perlahan dia mengambil sebuah gulungan kertas, lalu membukanya. Sepertinya ada yang kurang jelas, terlihat dia membalikkan kertas dan membaca,”Saya terpilih jadi Majelis.” Tiba-tiba, terdengar suara yang melegakan, menyampaikan pujian kepada Tuhan. Beberapa jemaat maju ke depan menyalami P. Sianturi, SH dan juga L. Tobing. Lalu, Majelis Ketua Persidangan memutuskan bahwa yang menjadi Majelis unsur non Parhalado berturut-turut adalah Ir. W. Silalahi, GJ Harianja, Ir. RT Sihombing, Efendi Lot Simanjuntak, SH, MH, dan P. Sianturi, SH.

Itulah rangkaian proses demokrasi dijalankan Gereja HKI Jemaat Cawang Cililitan. Demokrasi yang berkualitas bisa memakan banyak biaya, waktu yang lama, energi yang terkuras serta pikiran dan emosi yang terbagi-bagi. Bayangkan, ibadah Minggu dimulai pukul 08.00 WIB, dan doa penutup yang dipimpin oleh Pdt. Janto Sihombing, M. Th berakhir kira-kira pukul 19.00 WIB. Tapi kalau semuanya dijalankan dengan aturan yang jelas, sistem yang transparan terlebih calon, pimpinan sidang, jemaat pemilih serta panitia yang bertanggung jawab - dapat dipastikan hasilnya akan lebih memuaskan. Calon yang terpilih merangkul yang belum terpilih, calon yang tidak terpilih mendukung calon terpilih sebagai satu kesatuan jemaat dengan Yesus Kristus sebagai kepala gereja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun