Mohon tunggu...
Lamser Aritonang
Lamser Aritonang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Suka membaca, menulis dan melatih keterampilan. Berminat pada bidan pengembangan diri dan wirausaha. Mengamati perkembangan dunia penerbitan, training dan bisnis online serta hiruk pikuk jalannya politik dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Akankah Presiden dan Pejabat Publik Akan Ramai-ramai Kampanye?

26 Januari 2024   16:45 Diperbarui: 26 Januari 2024   16:49 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari sekian banyak tahapan Pemilu, tahap kampanye adalah tahap yang paling ditunggu-tunggu. Semua orang yang mencalonkan diri akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendapatkan suara. Segala upaya yang mungkin dapat diambil untuk meraih simpati pemilih.

Seperti diketahui Pemilu tahun 2024 ini dilaksanakan secara serentak. Itulah sebabnya sering disebut sebagai Pemilu serentak. Artinya, sekaligus dan bersamaan rakyat memilih presiden/wakil presiden, anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), anggota DPR RI, anggota DPRD 1 & anggota DPRD 2. Sehinga seorang pemilih yang masuk ke ruang pemilihan akan mendapat 5 surat suara.

Siapakah yang paling berkepentingan dengan kemenangan calon presiden/wakil presiden? Sudah pasti, partai politik yang mencalonkan yang pada Pemilu tahun 2024 ini berjumlah 24 partai. Sebenarnya hanya 18 partai yang berlaga di Tingkat nasional, sedangkan 6 lagi adalah partai politik local Acel yaitu Partai Nanggroe Aceh (nomor urut 18), Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at Dan Taqwa (19), Partai Darul Aceh (20), Partai Aceh (21), Partai Adil Sejahtera Aceh (22), Partai Soliditas Independen Rakyat Aceh (23).

Selain itu, pastinya calon yang bersangkutan juga berkepentingan agar dirinya terpilih. Makanya dia akan mengajak sebanyak mungkin orang untuk mendukung dan memilihnya. Mereka adalah keluarga terdekat serta berbagai komunitas dan perkumpulan/organisasi di mana dia menjadi anggota/pengurus di sana. Pihak yang dipakai untuk mengelola semua itu adalah yang disebut Timses (Tim Sukses). Timses menjadi perpanjangan tangan untuk mengatur jadwal kampanye, melakukan pendekatan kepada pihak-pihak yang dianggap potensial sebagai lumbung suara. Timses juga kemungkinan menjadi pencari sekaligus pendistribusi semua logistik untuk keperluan pemenangan Pemilu.

Posisi paling strategis untuk melakukan kampanye ini adalah para anggota partai yang juga menduduki jabatan public. Mereka adalah anggota DPR/DPRD, pengurus BUMN/BUMD, pemuka agama dan pejabat pemerintah (Kepala Desa, Camat, Bupati/Walikotamadya, Gubernur, Menteri serta Presiden & Wakil Presiden.

Ketika Presiden Jokowi menyampaikan bahwa presiden boleh kampanye, boleh memihak, sontak pernyataan itu menuai pro kontra. Pro, karena hal itu dimungkinkan oleh undang-undang Pemilu. Pro juga, karena para pejabat publik merasa mendapatkan tambahan keyakinan untuk ikut ambil bagian secara aktif dalam kampanye mendukung calon pilihannya. Mereka seolah terlepas dari ikatan untuk bersikap netral, yang sebenarnya mengganggu cita-citanya. Kalau presiden ikut kampanye, kemungkinan besar calon yang didukungnya akan tambah bersemangat dan makin yakin merebut kemenangan. Kalau bisa satu putaran. 

Yang kontra juga tidak mau kalah argumentasi. Mereka mengkhawatirkan bila presiden ikut kampanye, ikut memihak secara nyata, berarti mempertanyakan sikap kenegarawanan Sang Presiden. Memang presiden adalah jabatan politik yang diiisi oleh orang dengan latar belakang anggota partai politik, tapi jangan dilupakan presiden adalah jabatan negara yang harus mengayomi semua partai dan golongan.

Kalau presiden berkampanye dan memihak dengan terang-benderang, pejabat di bawahnya dan jajaran birokrasi akan merasa gamang. Apakah mau menjalankan tugas sebagai aparatur negara yang tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik terutama dalam kampanye? Ataukah dia menunjukkan kepatuhan kepada presiden sebagai atasannya tetapi mengingkari janji ASN untuk bersikap Netral? Bagi calon presiden yang kira-kira tidak mendapat dukungan politik dari presiden, tentunya sikap ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan.

Pilihan Jokowi untuk mengeluarkan statement tentang boleh tidaknya presiden kampanye sepertinya kurang bijak. Masa kampanye akan berakhir pada tanggal 10 Februari 2024, hanya kurang dari 2 minggu. Seyogyanya masa kampanye dipergunakan untuk memperdalam visi & misi, serta mengajak sebanyak mungkin calon pemilih untuk hadir dan menggunakan hak suaranya pada pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024.

Akankah Presiden dan Pejabat Publik lainnya akan ramai-ramai ikut kampanye?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun