Saat ini Indonesia tidak hanya menjadi negara asal atau tujuan perdagangan manusia (human trafficking), tetapi juga telah menjadi transit. Meskipun demikian, deretan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) belum terlalu menyita perhatian publik layaknya kasus-kasus terorisme atau korupsi. Padahal, kasus-kasus TPPO yang korbannya didominasi kaum perempuan dan anak, membutuhkan perhatian serius karena menyangkut keberlangsungan bahkan masa depan sebuah keluarga.
Salah satu kasus yang cukup mencuat adalah kasus penjualan bayi di kota Medan pada bulan Maret yang lalu. Keberadaan sindikat penjualan bayi yang berhasil diungkap oleh Tim Polda Sumut ini seharusnya menggugah kesadaran semua pihak karena tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap hukum, kejahatan ini juga merupakan pelanggaran terhadap HAM, khususnya hak wanita dan hak anak.
Berdasarkan catatan International Organization for Migration (IOM) di Indonesia, selama tahun 2020, jumlah kasus TPPO yang diterima IOM meningkat menjadi 1154 kasus. Menurut Eny Rofiatul Ngazizah (Project Assistant Counter Trafficking & Labour Migration, IOM di Indonesia) mayoritas korban eksploitasi yang diterima IOM sepanjang tahun 2020 adalah eksploitasi seksual (Tribunnews.com, 7 April 2021).
Hadirnya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang merupakan langkah penting dalam upaya penanggulangan perdagangan orang di Tanah Air. Selain mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, UU ini juga memberikan perhatian besar terhadap penderitaan korban dalam bentuk hak restitusi dan hak korban.
Dalam UU Â ini, yang dimaksud dengan TPPO adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UU ini. Â Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas: kehilangan kekayaan atau penghasilan; penderitaan; biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau; kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Pasal 58 UU TPPO menyebutkan bahwa untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan penanganan TPPO pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Gugus Tugas Pusat merupakan lembaga koordinatif dan dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja Gugus Tugas Pusat dan daerah selanjutnya diatur dalam Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.Â
Peran Gugus Tugas Pusat sangat penting dalam koordinasi pencegahan dan penanganan TPPO. Lembaga koordinatif yang langsung berada di bawah presiden ini dapat melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja sama nasional maupun internasional. Selain itu, lembaga ini dapat memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban dan penegakan hukum. Dengan kata lain, lembaga ini harus berperan aktif melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam hal percepatan pencegahan dan penanganan TPPO di Tanah Air.
Perpres ini kemudian diubah melalui Perpres No. 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. Terdapat beberapa perubahan struktur organisasi dari Perpres sebelumnya. Perubahan paling siginifikan terdapat dalam susunan ketua di mana Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemananan menjadi ketua II dalam Perpres ini. Hal ini jelas menunjukkan keinginan pemerintah untuk menempatkan permasalahan TTPO menjadi prioritas di bawah koordinasi kementerian terkait.
Hal baru yang diatur dalam Perpres yang ditetapkan pada tanggal 1 April 2021 ini adalah penambahan 9 (sembilan) fungsi lembaga yang tidak disebutkan dalam Perpres sebelumnya. Salah satunya adalah pengembangan sistem pendataan dan pencatatan penanganan kasus TPPO secara terintegrasi dan termutakhir. Fungsi ini sangat penting karena pemantauan, evaluasi, dan laporan pelaksanaan haruslah berbasis data terbaru dan akurat demi melahirkan rekomendasi berupa langkah-langkah penanganan yang efektif di lapangan.
Sebagai lembaga yang bertugas mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan TPPO di tingkat nasional, Gugus Tugas Pusat harus menyusun dan mengimplementasikan kebijakan, program, serta kegiatan dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO. Anggaran pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga ini dibebankan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai ketua harian dalam Gugus Tugas Pusat.
TPPO bukan hanya merupakan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga membutuhkan peran serta masyarakat. Upaya ini memerlukan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan kerjasama banyak pihak. Sudah sepatutnya Gugus Tugas Pusat sebagai lembaga koordinatif dengan dukungan Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota mengoptimalkan tugas dan fungsinya agar kasus-kasus TPPO dapat dicegah dan ditangani secara optimal di Tanah Air.
***
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H