Setiap orang mungkin pernah melalui fase terberat dalam kehidupannya. Keinginan untuk menyerah pasti ada, terlebih bila tak menemukan pundak untuk bersandar, bahkan sekadar telinga untuk mendengar. Rasanya, hidup seperti dikepung tembok yang menjulang. Hampir tiada celah untuk bernapas dan tak ada ruang untuk berpikir. Sepanjang mata memandang, hanya ada jalan buntu yang sedang menghadang.
Situasi ketika seisi dunia berpaling memang sulit dihadapi. Satu kesalahan yang dianggap tak termaafkan oleh semua orang bisa menjadi palu hakim paling menakutkan di muka bumi. Tak ada argumentasi apalagi tawar-menawar dalam hal ini. Begitu palu diketuk beramai-ramai, seseorang akan menjadi pesakitan. Jika dibiarkan berlarut-larut dan tak ada jalan keluar, hal ini bisa saja membuat seseorang kehilangan harapan dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Kondisi semacam ini kerap menjadi alasan untuk mencari Tuhan. Sudah lumrah, Tuhan dicari pada waktu tertentu saja. Khususnya, jika dunia sudah tidak lagi berkompromi dan memojokkan seseorang hingga hancur berkeping-keping. Satu hal penting menjadi pertanyaan, saat seisi dunia berpaling, Tuhan ada di mana?
Sesungguhnya, keberadaan Tuhan memang tidak terlihat. Jika membutuhkan pundak untuk merebahkan kepala, Tuhan tak bisa memberikannya. Ia juga tidak bisa menunjukkan raut simpati saat mendengarkan curhat atau merangkul seseorang yang sedang meneteskan air mata. Tidak, Tuhan tak bisa melakukan itu semua. Ini adalah fakta yang harus diterima hingga hari ini dengan lapang dada.
Jadi, apa gunanya mencari Tuhan jika Ia tidak bisa melakukan apa-apa? Ini pertanyaan yang sukar dijawab dan berpotensi menimbulkan pemikiran baru: mungkin lebih baik pasrah menikmati kehancuran daripada repot mencari-Nya dan memohon pertolongan. Jika tidak sependapat dengan pemikiran ini, barulah pertanyaan sebelumnya mungkin untuk direnungkan.
Merujuk penelitian Universitas Stanford, yaitu teori Godel yang menyatakan bila Tuhan adalah zat paling agung dan ada di setiap pemikiran manusia. Karena itulah kita secara otomatis memercayai adanya Tuhan bila kita yakin di luar sana ada zat lebih hebat dari apa pun. Melalui teori ini, mungkin bisa dipahami mengapa seseorang masih saja mencari Tuhan ketika menghadapi situasi sulit dalam hidupnya.
Intinya, seseorang masih mencari Tuhan meskipun Ia tidak bisa menunjukkan raut simpati atau memberikan pundaknya karena berharap bisa memperoleh rasa lega. Adakalanya, secuil rasa lega pun bisa menjadi pertolongan yang dibutuhkan. Sama halnya dengan seseorang yang memasukkan surat ke dalam botol, lalu melarungnya di lautan meskipun tidak ada jaminan surat itu akan sampai ke orang yang dituju. Namun, rasa lega bisa menjadi pertolongan ketika berhasil mengobati sedikit rasa rindu akibat jarak yang memisahkan.
Harus diakui, rasa lega memang dapat memberikan celah untuk bernapas dan bertahan melanjutkan kehidupan. Lantas, apakah rasa lega bisa menjadi solusi atas sebuah permasalahan? Rasanya, terlalu naif jika dijawab "ya" karena setiap permasalahan tetap harus dihadapi dengan segala konsekuensinya. Seseorang bisa saja tidak peduli dengan hujatan seisi dunia dan berseru: "Hajar sajalah, peduli apa kata dunia!" Meskipun demikian, menghindari permasalahan yang timbul akibat suatu tindakan memang tidak akan memberikan solusi apa-apa.
Ketika menyusuri pasar yang hiruk pikuk pada pagi hari, kita mungkin akan melihat senyum pedagang sayuran yang dagangannya laris manis. Saat itu pula kita menyadari, Tuhan tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu ada dalam senyuman dan kebaikan yang kita terima dari orang lain tanpa kita sadari. Pun dalam kesusahan dan air mata yang menempa hidup agar seseorang lebih tabah dalam mengarungi samudra kehidupan.
Jadi, saat seisi dunia berpaling, sebenarnya Tuhan ada di mana? Sejatinya, Tuhan tidak pernah pergi ke mana-mana. Ia sedang mengamati ciptaan-Nya yang berjuang membuat pilihan dan keputusan. Sebagai pemberi kehidupan, Ia memang memiliki hak untuk menerima pertanggungjawaban atas pemberian itu, terlepas pilihan atau keputusan itu akan memuaskan kehendaknya-Nya atau tidak.
Tuhan memang unik, Ia berbeda dengan seisi dunia yang bisa berpaling dengan mudahnya. Ia sangat setia. Meskipun jarang dicari, Ia tak pernah protes ketika harus berada di antrean terakhir, alias hanya menjadi tempat untuk berkeluh kesah. Itu pun jarang menerima ucapan terima kasih. Jika direnungkan lagi, keunikan ini memiliki sedikit kemiripan dengan posisi hukum dalam masyarakat kita.
Hukum sering kali hanya dicari ketika dibutuhkan saja. Selebihnya, hukum dianggap sebagai setumpuk aturan yang tak perlu dibaca apalagi dipelajari. Ketika menghadapi permasalahan, barulah hukum dicari dan mulai dipertanyakan. Padahal, tak ada salahnya mempelajari hukum sejak dini karena datangnya permasalahan memang tidak dapat diprediksi. Bila tidak hari ini, mungkin besok atau lusa. Karena itu perlu sedia payung agar tak basah kuyup saat hujan turun dengan lebatnya.
Sumber: