Masih ingat penyebaran video berita bohong tentang pembakaran tempat ibadah dan penyerangan yang dilakukan kelompok masyarakat tertentu di Papua? Konten tersebut disebarkan melalui akun facebook atas nama Legiun Tandabe.Â
Dalam unggahannya, tersangka berinisial AD (52 tahun), memprovokasi masyarakat untuk berjihad karena pada kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, ada tempat ibadah yang dibakar massa. Tersangka ditangkap pada tanggal 6 Oktober 2019.
Atas perbuatannya, pelaku lalu dijerat dengan Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 14 Ayat (2) dan/atau Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sederet kasus hoaks menunjukkan bahwa penyebar hoaks dapat dengan mudah menjalankan aksinya melalui situs daring, media sosial, dan aplikasi pesan cepat (chats app). Pada umumnya, pelaku menyebarkan berita yang mereka sukai. Adakalanya, berita bohong ini menjadi viral dan sulit dihentikan penyebarannya. Sudah banyak korban, akibat ketidaktahuan dan ketidaktelitian dalam menyebarkan informasi.
Menyebarkan hoaks dapat mengakibatkan kecanduan. Perasaan ingin dianggap lebih tahu atau terdepan dalam membagikan informasi menjadi salah satu penyebabnya. Apresiasi yang kita dapatkan dari orang lain yang membaca informasi tersebut, justru dapat mengakibatkan kecanduan.Â
Hal ini menjadi berbahaya, ketika orang-orang yang membaca berita bohong kemudian menyebarluaskannya tanpa memeriksa terlebih dulu kebenarannya. Alhasil, hoaks pun beredar semakin luas seperti efek bola salju.
Lantas, bagaimana cara membentengi diri agar tidak menjadi pelaku penyebaran hoaks?
Meningkatkan Minat Baca
Kemampuan membaca merupakan salah satu kompetensi dasar literasi. Harus diingat, bahwa budaya baca yang rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kita mudah percaya dan menyebarkan berita hoaks.Â
Perlu diketahui, bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional pada tahun 2017 menunjukkan bahwa orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit saja.
Senada dengan hasil penelitian di atas, berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017, ditemukan fakta bahwa hampir 90% layanan yang diakses oleh pengguna internet di Indonesia adalah untuk layanan perbincangan (chatting), 87,13% untuk media sosial, sedangkan untuk pencarian (search engine) hanya sebesar 74,84%. Dapat kita bayangkan, dengan kondisi demikian maka akan banyak waktu yang dialokasikan untuk membaca dan menyebarkan berita hoaks.
Meluangkan waktu untuk membaca buku adalah solusi yang tepat untuk membentengi diri dari wabah hoaks. Selain dapat mengurangi waktu untuk membaca dan menyebarkan berita hoaks, membaca buku dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Kegiatan membaca juga dapat meningkatkan kualitas memori, fokus, dan konsentrasi.Â