Mohon tunggu...
Lamira Cinandra
Lamira Cinandra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa seniman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradoks Dekokrasi : Ketika Pilihan Rakyat Tak Lagi Berarti

14 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   15:53 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi sering disebut juga sebagai sistem pemerintahan terbaik karena menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa realitasnya tidak selalu seindah teori. Dalam banyak kasus, suara rakyat justru kehilangan maknanya di tengah berbagai pergeseran yang muncul.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa hal tersebut terjadi dalam banyak faktor. Mulai dari pengaruh uang, propaganda media, hingga monopoli kekuasaan politik. Sistem demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi semua lapisan masyarakat dari masyarakat kecil hingga yang paling berkuasa, nyatanya hanya menjadi alat yang dikuasai segelintir pihak.

Ketika hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, dan keputusan kebijakan lebih memihak kepentingan tertentu, wajar jika muncul pertanyaan: apakah demokrasi masih berfungsi seperti yang kita harapkan?

Ketidaksesuaian dalam demokrasi sering kali bersumber pada ketimpangan antara idealisme dan praktiknya di lapangan. Salah satu contohnya adalah fenomena politik uang yang berhasil mengambil alih prinsip kebebasan memilih. Ketika uang menjadi faktor penentu, suara rakyat lebih mencerminkan kepentingan sesaat daripada keputusan yang berlandaskan kesadaran. Selain itu, pengaruh propaganda media turut memperkeruh situasi. Media yang seharusnya menjadi penjaga transparansi sering kali justru menjadi alat manipulasi opini publik, terutama ketika dimiliki oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu.

Meskipun demokrasi menjanjikan kesetaraan, banyak kelompok tertentu seperti masyarakat adat atau kelompok minoritas, yang suaranya tidak benar-benar diakomodasi dalam pengambilan keputusan. Mereka kerap menjadi korban janji manis saat kampanye, hanya untuk diabaikan begitu pemilu usai. Akibatnya, tak jarang hal itu menjadi bahan perbincangan di masyarakat sehingga mempengaruhi masyarakat lain dalam mengambil keputusan pula. Rasa kecewa terhadap sistem demokrasi juga telah meningkat. Dapat kita jumpai dari rendahnya partisipasi dalam pemilu pada tahun ini.

Pada pemilu yang diselenggarakan pada bulan November 2024 silam, KPU sebut partisipasi masyarakat dalam Pilkada hanya mencapai 68%. Tingkat persentase ini memang lebih rendah jika dibandingkan dengan partisipasi pemilu pada Februari 2024 yang mencapai 81,78%. Partisipasi masyarakat yang lebih rendah dalam Pilkada dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu alasan utama adalah persepsi masyarakat terhadap relevansi Pilkada. Banyak yang merasa bahwa hasil Pilkada terutama di tingkat lokal, tidak memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka dibandingkan pemilu nasional yang melibatkan pemilihan presiden atau anggota legislatif. Selain itu, rendahnya kepercayaan terhadap calon kepala daerah, terutama jika ada citra buruk atau kinerja pejabat sebelumnya, membuat masyarakat enggan memberikan suara.

Minimnya sosialisasi juga menjadi penyebab rendahnya partisipasi. Informasi mengenai pentingnya Pilkada sering kali tidak tersampaikan secara efektif, sehingga masyarakat kurang memahami nilai dari keterlibatan mereka dalam proses tersebut. Di sisi lain, faktor logistik dan akses, terutama di wilayah terpencil juga sangat memengaruhi. Beberapa daerah mungkin mengalami kesulitan dalam distribusi surat suara atau memiliki kondisi geografis yang menyulitkan masyarakat mencapai TPS.

Meski menghadapi banyak tantangan, demokrasi masih memiliki potensi besar untuk menjadi sistem yang adil apabila dikelola dengan baik. Harapan utama terletak pada penguatan partisipasi masyarakat dan perbaikan sistem demokrasi itu sendiri. Pendidikan politik harus menjadi prioritas baik melalui lembaga formal maupun komunitas dan media sosial. Dengan literasi politik yang lebih baik, masyarakat dapat lebih kritis terhadap informasi yang diterima dan lebih bijak dalam menggunakan hak pilihnya.

Pemilu yang bebas dan adil dapat diwujudkan dengan pengawasan yang ketat oleh lembaga independen dan partisipasi aktif masyarakat. Kebijakan keterbukaan informasi juga harus diperkuat agar rakyat dapat mengakses data dengan cepat untuk memantau situasi hasil politik.

Harapan akan demokrasi yang lebih baik terletak pada komitmen bersama untuk melawan praktik-praktik yang berpeluang merusak sistem demokrasi ini. Dengan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga-lembaga independen, demokrasi dapat kembali kepada esensinya sebagai sistem yang benar-benar mewakili suara rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun