Apakah menggunakan media sosial mempengaruhi psikologi? Sebagian ahli psikolog mengatakan jelas mempengaruhi karena adanya pola perilaku yang berubah.
Diperkirakan ada sekitar 4 miliar orang di seluruh dunia menggunakan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, Tiktok atau sejenisnya.
Dilansir dari helpguide.org (11/10) Penelitian menunjukkan bahwa orang yang membatasi penggunaan jejaring sosial cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di medsos ini.
Hal ini menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi penyebab berbagai emosi negatif pada pengguna, yang dapat membuat gejala depresi atau justru semakin memperburuk kondisi si pengguna.
Studi juga menemukan bahwa orang yang menggunakan media sosial di malam hari lebih cenderung merasa lebih tertekan dan tidak bahagia, serta mengalami masalah tidur yang buruk.
Seperti studi yang dilakukan pada tahun 2018 yang dilakukan oleh University of Pennsylvania, jika penelitian mereka menemukan bahwa semakin sedikit waktu yang dihabiskan orang di media sosial, semakin kecil kemungkinan mereka mengalami gejala depresi.
Sedangkan studi tahun 2015 menemukan bahwa pengguna media sosial lebih memiliki kecemburuan berlebihan saat berada di situs jejaring sosial, seperti iri melihat orang bersenang-senang saat berwisata, belanja, makan, pamer kekayaan dan pamer keromantisan atau sejenisnya.
Inilah yang dapat membuat si pengguna media sosial cenderung mengalami gejala depresi akibat kecemburuan yang berlebihan, dan biasanya sikapnya akan berubah seiring waktu bila hasratnya tidak tercapai.
Beberapa studi dan penelitian tentang media sosial dan kesehatan mental menunjukkan korelasi antara jejaring sosial dan depresi, penelitian menemukan bahwa media sosial paling mungkin menyebabkan seseorang depresi.
Apa itu depresi?
Depresi adalah gangguan suasana hati yang disebabkan oleh perasaan sedih dan kehilangan minat pada aktivitas yang dilakukannya. Depresi terbagi dua yaitu depresi ringan atau depresi berat.
Depresi ringan pada umumnya akan membuat suasana hati berubah dan malas melakukan sesuatu. Sedangkan depresi berat membuat penderitanya introvert dan sulit berkonsentrasi, sulit tidur, atau kehilangan nafsu makan yang dapat menganggu kesehatan tubuh dan mental.
Depresi berat juga dapat menganggu mental sehingga sulit untuk berpikir jernih, orang yang depresi berat ditandai dengan sikapnya yang pendiam dan tidak mau bersosial.
Orang yang mengidap depresi berat lebih memilih menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri, karena merasa tidak berharga lagi di dunia untuk hidup. Jadi, pengidap depresi berat harus segera di bawak ke psikiater agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Akan tetapi, penelitian berbeda dari “No more FOMO: Limiting Social Media Reduces Loneliness and Depression” yang telah diterbitkan dalam Journal of Clinical and Social Psychology pada tahun 2018, di kutip dari researchgate.net (11/10).
Studi No More FOMO menemukan bahwa orang yang lebih banyak menggunakan media sosial, justru semakin sedikit kemungkinan mengalami depresi.
Alasannya adalah, karena kesepian yang mereka rasakan dapat hilang setelah berkomunikasi dengan orang lain melalui sosial media. Atau ia justru lebih mudah mengekpresikan dirinya di dunia maya.
Penelitian ini menunjukkan jika ada hubungan positif media terhadap kesejahteraan emosional, menurut para ilmuwan, penelitian ini menandai pertama kalinya orang yang merasa kesepian bisa terhibur akibat media sosial.
Untuk mengujinya kembali tentang dampak media sosial terhadap manusia, para peneliti membuat penelitian dengan membagi 143 mahasiswa University of Pennsylvania menjadi dua kelompok.
Satu kelompok menggunakan media sosial tanpa batasan sedangkan kelompok lainnya hanya dapat mengakses jejaring sosial selama 30 menit selama tiga minggu.
Setiap peserta atau relawan menggunakan smartphone untuk mengakses media sosial, dan para peneliti melacak data ponsel mereka untuk memastikan kepatuhannya benar-benar menggunakan media sosial tersebut.
Kelompok dengan akses media sosial terbatas melaporkan tingkat depresi dan kesepian yang lebih rendah daripada pada awal penelitian.
Dan kedua kelompok melaporkan penurunan kecemasan dan ketakutan akan kehilangan (sindrom FOMO). Ini adalah bahwa ketika berpartisipasi dalam penelitian ini, kelompok dengan akses tidak terbatas ke jejaring sosial lebih sadar akan waktu yang mereka habiskan di dunia maya.
Hasil penelitian memang tidak bisa dipastika, karena tidak jelas mengapa peserta yang menghabiskan hanya 30 menit sehari di media sosial cenderung tidak mengalami depresi.
Namun, para peneliti mengatakan orang-orang ini menggunakan media sosial secara singkat karena tidak melihat hal-hal seperti liburan temannya, atau temannya memarkan prestasi dan kekayaannya.
Ada juga yang bermain medsos dengan durasi teratur justru mengalami depresia karena cemburu melihat postingan temannya yang berhasil, kaya dan sedang jalan-jalan. Menurut penelitian FOMO hal-hal seperti itu dapat membuat mereka semakin merasa depresi atas kecemburuan mereka melihat temannya memamerkan kekayaannya.
Sedangkan yang menggunakan media sosial sepanjang waktu justru lebih sedikit mengalami depresi, karena mereka dapat menenangkan pikiran lewat media sosial dengan cara bertukar informasi dengan temannya di media sosial.
Meskipun demikian, mereka yang menggunakan media sosial berkepanjangan juga dapat mengalami gangguan mental seperti malas bermasyarakat dan lebih banyak diam dan menyendiri.
Kesimpulannya, dari penelitian diatas masih sulit disimpulkan dampak besar media sosial bagi psikologis. Namun, bisa dipastikan jika media sosial memiliki pengaruh terhadap psikologis meskipun tidak selalu besar tergantung orangnya juga dalam menyikapi suatu hal di dalamnya.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H