Sejujurnya hasil 4-0 adalah hasil diluar ekspektasi saya, yang paling membuat saya kecewa adalah cara bermain Indonesia yang sangat-sangat buruk terlebih banyaknya operan bola yang salah yang justru menguntungkan lawan.
Operan bola Indonesia bisa dikatakan amburadul seperti bingung mau mengirim kemana, karena setiap operan selalu mudah di curi para pemain Thailand.
Baik Witan, Kambuaya dan terutama lini belakang Indonesia bermain seperti kehilangan profesionalisme dan terkesan panikan.
Padahal Indonesia sudah melewati tiga negara terkuat Asia Tenggara yang diantaranya, Singapura, Malaysia dan Vietnam tetapi saat berhadapan dengan Thailand mental dan skil para pemain Indonesia seperti hilang begitu saja.
Faktor penyebab kekalahan Indonesia adalah buruknya operan bola dan penjagaan lawan, persentase operan Indonesia asli anjlok meksipun di statstik mengatakan 72% aslinya adalah 27%.
Untuk membenahi kecanggungan ini mungkin sangat mustahil bagi pelatih Shin Tae yong, karena hanya menyisakan dua hari lagi ditambah skor telak 0-4 yang mungkin sulit untuk di kejar timnas Indonesia.
Bila berbicara optimis boleh-boleh saja, tapi jika kualitas bermain mirip tarkam tentunya sangat mustahil Indonesia dapat mengungguli tim Gajah Perang di leg kedua.
Disatu sisi Shin Tae yong terlalu berani mengambil resiko dengan mencadangkan Egy dan Ezra yang memiliki kemampuan dan ketenangan, mengingat absennya sang pangeran lapangan Pratama Arhan di final leg pertama akibat akumulasi kartu kuning sama dengan bek andalan Thailand bernomor punggung 3 "Bunmathan." Padahal Arhan adalah pemecah kebuntuan bagi Indonesia dan juga sebagai manuver dadakan yang kerap mengejutkan lawan.
Formasi 4-2-3-1 sebenarnya bukan tipikal Indonesia untuk menghadapi tim raksasa Asia Tenggara seperti Thailand, saya sendiri juga kebingungan dengan formasi Shin Tae yong ini yang hanya memasang empat bek utama.
Seperti yang diketahui Indonesia lebih solid dan produktif menggunakan formasi 5-4-1, yaitu dengan mengandalkan gelandang bek kiri yaitu Arhan dan gelandang sayap kiri Irfan Jaya dan sayap kanan Witan Sulaeman.
Jujur, lini belakang Indonesia juga amburadul sejak Arhan tidak ada, alasannya adalah karena yang mampu mengimbangi permainan Supachok Sarachat dan Chanathip Songkrasin adalah Arhan yang memiliki kecepatan dan abilitas yang tinggi.
Ditambah lagi peran gelandang bek diambil alih oleh Asnawi yang membuat rongga empuk bagi pemain Thailand, dan ini terbukti dimana Sarachat dan Phala berhasil menerobos sisi kanan Indonesia setelah Asnawi melakukan manuver.
Gol-gol para pemain Thailand pun selalu tercipta saat serangan balik, dan yang paling miris adalah dua hingga tiga pemain kita tidak bisa menghentikan aksi dari Sarachat yang memiliki dribble ala Ronaldinho.
Ini merupakan kesalahan fatal bagi Shin Tae yong yang terlalu berani mengambil keputusan dengan memainkan pemain yang belum banyak tampil di setiap laga Indonesia di piala AFF.
Shin Tae yong memang memiliki gaya bermain rotasi pemain, akan tetapi perlu digarisbawahi jika lawan Indonesia di Final ini bukanlah Laos tetapi negara terkuat di Asia Tenggara.
Semestinya Shin Tae yong harus belajar dari laga melawan Singapura, Indonesia saja masih kesalahan melawan delapan pemain Singapura yang notabenenya masih jauh di level Thailand.
Namun, Shin Tae yong terlalu percaya diri setelah melihat Thailand bermain bertahan saat berhadapan dengan Vietnam.
Meskipun kita bisa meredam Vietnam 0-0 buka. Berarti level kita sama dengan Thailand yang juga menahan Vietnam dengan skor 0-0 saat babak semifinal leg kedua mereka.
Untuk saat ini kita sebagai penggemar Indonesia hanya bisa berharap ada keajaiban bagi Indonesia dan tetap memberikan motivasi dan dukungan bagi timnas Indonesia.
Mungkin kesempatan kita ada di piala AFF tahun 2022 mendatang, semoga timnas kita tidak selalu menjadi spesialis juara kedua di AFF musim ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H