Mohon tunggu...
Lamhot Sitompul
Lamhot Sitompul Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Teologi di STT-HKBP

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lumen Part I

29 Mei 2019   14:39 Diperbarui: 29 Mei 2019   14:40 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara burung yang saling bersautan seolah memberitahu bahwa mereka sedang berbincang-bincang tentang nikmatnya suasana hutan ini. Hutan yang menjadi rumah dan sekaligus menjadi tempat bermain bagi mereka serta tempat yang juga menjadi saksi hidup timbulnya cinta diantara mereka.

 Huhh,,, sejenak aku berpikir, andai saja hal tersebut terjadi didalam kehidupan manusia betapa bahagianya kehidupan ini. Aku berjalan selangkah demi selangkah sampai akhirnya aku melihat seorang kakek tua sedang duduk disebuah bangku yang berada di pojokan dekat sarang burung kakak tua. Entah apa yang menuntunku sehingga aku berada tepat didepan kakek tersebut. Belum sempat aku menyapa tiba-tiba sang kakek menyuruhku untuk duduk disampingnya.

 Aku duduk sambil mengamati sebuah pohon besar yang sedari tadi diamati si kakek tua itu.
"ada apa dengan pohon tua itu?", kataku. Si kakek hanya tersenyum sembari mengambil sebuah ranting kecil dan mendekatkannya kesalahsatu matanya dan menutup mata lainnya.
"pohon itu mengajarkanku tentang iman, pengharapan dan kasih."
Dengan mengernyitkan kening, aku kembali menghadapkan pandanganku ke arah pohon besar itu.

"air, tanah, api dan udara punya cara tersendiri untuk mengancurkan dunia ini, demikianlah yang dihadapi pohon itu. Ketika tanah berusaha memendamnya agar tidak terlihat (ujung pohon=pucuknya) selalu berusaha untuk tetap muncul dan melihat matahari, ketika air menjauh dari sang akar, akar selalu berusaha untuk mendapat air sampai ia mendapatkannya agar pohon itu bisa bertahan hidup.

Ketika pohon itu tumbuh dan menjadi besar, angin topan yang dasyat berusaha untuk menumbangkan pohon itu, namun usaha sang angin tak cukup mampu untuk merobohkan pertahanan sang pohon. Namun, kesetiaan yang mereka bangun selama ini seolah hanya berujung pada sebuah Harapan, harapan agar mereka tetap hidup meskipun Api telah melahap mereka sampai habis. 

Hal ini menyadarkanku bahwa hidup yang selama ini aku jalani penuh dengan proses yang sama dengan pohon itu. Ketika aku berada di dalam kandungan ibuku, aku meronta-ronta dan berusaha untuk keluar melihat apa dan bagaimana kehidupan di dunia ini. Ketika aku masih anak-anak, aku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga aku tahu apa itu dan apa ini. ketika aku tumbuh dewasa aku belajar membentuk diriku menjadi orang yang bisa menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Namun, ketika maut datang dan menjemputku, aku hanya bisa berserah kepada Tuhan agar nantinya aku bisa hidup kembali, hidup untuk selama-lamanya di pangkuan Allah Bapa."

Setelah berbicara begitu panjang, sambil tersenyum kakek itu menoleh kearah ku. Aku menarik napas panjang dan melepaskan sambil menganggukkan kepalaku beberapa kali. Sambil tersenyum dan tanpa mengatakan sepatah katapun aku meninggalkan kakek itu dan berjalan pulang. Hari yang sungguh menyenangkan, menikmati rindangnya hutan, kicauan burung-burung dan bertemu dengan seorang kakek tua yang memberiku pelajaran berharga meskipun aku tidak mengenal dirinya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun