Akhirnya saya punya alasan kenapa saya akhirnya berani menulis tentang konflik di Suriah. Karena pada awalnya sudah dapat dipastikan sebagian besar dari kita akan mengaitkan dengan masalah agama, topik yang sebenarnya sudah gulung tikar di Kompasiana. Tapi kali ini ada rubrik yang sangat cocok, yaitu politik.
Sudah terlalu kenyang saya melihat berbagai macam video dokumenter tentang konflik Suriah. Mulai dari yang soft hingga yang full "graphic" (dijamin Anda akan tahan tidak makan seharian setelah melihatnya). Masing-masing dokumenter mengambil sisi yang berbeda-beda, diambil. Baik dari sisi masyarakat lokal yang dikorbankan, maupun masyarakat yang mengungsi ke negara-negara Eropa. Baik dari sisi negara Barat, maupun dari sisi "orang dalam" yang menjalani konflik tersebut.
Kali ini, "korbannya" adalah Suriah dan negara-negara Timur Tengah sekitarnya. Kita memang tidak banyak tahu dari manakah sebenarnya konflik ini bermula. Ada yang bilang bahwa cikal bakal konflik ini sebenarnya diawali dari konflik Palestina dan Israel, dimana campur tangan Amerika Serikat akhirnya dibalas dengan tragedi 9/11 yang kemudian memunculkan nama Al Qaeda. Masih kuat di ingatan kita, ketika konflik ini merembet ke Asia Tenggara dengan campur tangan warga Malaysia dan kelompok separatis Filipina, hingga akhirnya membuahkan serangkaian peristiwa bom bunuh diri di Indonesia yang dimulai dari Bom Bali. Bagi saya yang berada di sisi netral, apa yang kita lihat hanya sebatas balas-membalas lemparan batu. Konflik Suriah ini seperti ajang pertarungan bebas dimana di dalamnya ada lebih dari 5 orang yang saling bertarung satu sama lain. Dan masing-masing saling berdebat, siapa yang harus dilawan terlebih dahulu.
Awal Konflik
Konflik Suriah diawali dengan demonstrasi damai di tahun 2011 menentang presiden Bashar Al-Assad. Saking ruwetnya kondisi ketika itu, pasukan pemerintah menembakkan peluru ke arah demonstran dan menimbulkan korban jiwa. Beberapa organisasi massa yang di Suriah mulai merapatkan barisan. Bahkan sebagian anggota tentara Suriah yang juga tidak setuju dengan Al-Assad, ikut bergabung dengan organisasi tersebut mengangkat senjata melawan Al-Assad. Perang sipil tak terhindarkan antara pemberontak (yang kemudian disebut Free Syrian Army - FSA) dan pemerintah Suriah.
Sementara itu banyak kelompok-kelompok jihad mulai bergerak ke arah Suriah untuk membantu pemberontak. Al-Assad kemudian melepaskan tahanan yang dituduh bergabung dengan kelompok jihad, dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan pemberontak. Anggota kelompok-kelompok jihad ini kemudian memutuskan untuk berdiri sendiri dan merencanakan membentuk organisasi Jabhat Al-Nusra di Januari 2012 disamping mengikuti tujuan utamanya membantu pemberontak melawan Al-Assad. Tanpa disangka, pemberontak dan Jabhat Al-Nusra bergabung untuk ikut menumbangkan kekuasaan presiden Al-Assad. Mereka semakin kuat dan tentunya makin besar.
Melihat kondisi yang semakin tidak enak ini, etnis Kurdi mulai senewen dengan mengangkat senjata demi mempertahankan wilayahnya baik dari pemerintah Al-Assad maupun pemberontak. Mereka memang sejak lama menginginkan kemerdekaan. Dengan demikian, etnis Kurdi jadi salah satu yang tidak berpihak kemana-mana.
Iran yang memang diketahui berada di sisi Al-Assad, mulai mengintervensi "jalannya" peperangan. Iran mulai mengirim logistik, dana dan personel untuk mendukung Al-Assad. Dalam waktu yang bersamaan, taipan kaya Arab Saudi mulai mengirimkan uang untuk mendukung pemberontak, yang kebanyakan dikirim melalui Turki. Tentu Arab Saudi punya agenda sendiri, untuk melawan masuknya pengaruh Iran.
Tambah ruwet lagi ketika Al-Assad menambah kekuatan dengan bergabungnya Hizbullah, yang merupakan organisasi Syi'ah bentukan Iran. Sama juga dengan Arab Saudi, mereka makin banyak mengirimkan uang membantu pemberontak, kali ini melalui Yordania. Kali ini makin jelas tergambar bahwa yang berperang
Perang makin lama semakin tajam dengan "bergabungnya" Amerika Serikat (AS) di arena pertarungan sebagai pengamat. Karena melihat kondisi perang tersebut, AS berniat memberikan pelatihan militer ke pemberontak melawan Al-Assad, namun rencana itu gagal. Di titik ini AS hanyalah jadi pengamat, sama seperti Rusia yang umumnya berpihak ke Al-Assad.
Makin Ruwet