Mohon tunggu...
Suhermanto Yasduri
Suhermanto Yasduri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Kecil Itu Mengajariku tentang Cinta dan Ketulusan

29 Oktober 2014   21:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:15 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terisnpirasi oleh peristiwa nyata di desaku.

Hari itu saya ada janji bertemu dengan rekan kerja. Sebuah pertemuan penting bagi saya pribadi. Saya sengaja berangkat agak pagi supaya saya bisa menyerap banyak hal dari pertemuan tersebut mengingat saya orang baru di biro konsultasi psikologi tempat saya "nunut" mencari makan. Biro konsultasi psikologi ini milik teman saya pasangan suami istri. Mereka adalah pasangan suami istri yang saya kenal sejak tahun 2011. Hari itu ada pertemuan penting untuk menyiapkan materi pelatihan bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Teman saya menjalankan semua aktifitas bironya di rumah mereka.

Ada pemandangan yang cukup menyentuh ketika saya tiba di lokasi. Di depan rumah yang berdiri tepat berseberangan dengan kantor biro kami, terlihat seorang gadis kecil sedang bersandar manja di pangkuan ayahnya. Si gadis berseragam TK milik yayasan Islam tempat adik ipar saya mengajar. Sementara jika dicermati tatapan mata bapaknya kosong menatap lurus ke depan. Saya sedikit mengabaikan mereka berdua meskipun si gadis melempar senyum serta sedikit mengangguk kepadaku sesaat setelah saya memarkir kendaraan. Posisi kami hanya dipisahkan jalan selebar kurang lebih 4 meter. Saya berpikir mereka sedang menunggu kendaraan yang akan membawa si gadis ke tempatnya belajar yang berjarak kira kira 1 kilometer.

Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Pertemuan bisa dengan cepat diakhiri sebelum masuk waktu shalat dhuhur. Setelah semua selesai dikemas ternyata otak saya tidak berhenti memikirkan si gadis dengan senyum malu malu tadi. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mencari tahu siapa gerangan penghuni rumah yang sudah cukup lama kosong tidak terawat. Bayangan senyum gadis berkerudung putih terus menari di benak ini. Menurut saya, dia gadis pemberani dan cerdas. Usianya mungkin sekitar 4 tahun tapi dia sopan. Meskipun dilakukan dengan malu malu, tadi pagi dia telah memberi saya sebuah sedekah senyum yang manis yang membuat saya merasa sangat berdosa! Saya tidak mengacuhkan senyum dan anggukan kepalanya justru bergegas memasuki rumah teman.

Setelah istirahat sholat dan makan siang, saya memberanikan diri mengorek informasi tentang penghuni rumah seberang. Dengan sangat lancar teman saya bercerita memuaskan dahaga atas informasi tentang penghuni rumah seberang. Saya beristighfar berkali kali demi mendengar cerita pilu teman tentang nasib ayah dan anak perempuan pemberani yang tadi melempar senyum padaku. Masya Allah, sungguh saya telah berbuat dosa! Mengapa saya tidak membalas senyum manis sang gadis? Mengapa saya tidak membalas anggukannya? Sungguh saya menyesal!

Gadis itu sebut saja Lia. Bapaknya menderita diabetes yang mengakibatkan menurunnya indera penglihatan. Itulah mengapa tatapan matanya tampak kosong karena dia hampir buta. Dalam kondisi sakit dan tanpa kerja, istrinya menuntut peceraian. Setelah bercerai dia kembali menempati rumah yang ternyata memang adalah miliknya tapi tidak ditempati selama lebih dari 6 tahun. Lia memilih mengikuti bapaknya menempati rumah yang kondisinya sangat tidak laik huni.

Teman saya melanjutkan ceritanya: setelah melapor kepada Ketua RT setempat mereka diterima dengan tangan terbuka. Tetapi rumah itu sudah terlantar selama lebih dari 5 tahun, tertutupi rumput setinggi pinggang orang dewasa tanpa penerangan listrik dan sambungan pipa air dari PDAM. Bagian bangunan yang terbuat dari kayu seperti daun pintu, daun jendela dan atap sudah banyak yang hilang atau lapuk. Dulu di kala duduk di teras rumah teman, saya sering berpikir sambil menatap rumah kosong itu pasti banyak binatang melata bersarang di sana. Ternyata warga sekitar yang paham akan kondisi bapak dan putri tunggalnya sudah mengantisipasi semuanya! Atas inisiatif warga sekitar rumah itu dibersihkan dari rumput liar, dipasanglah daun pintu, diberi penerangan dan dibuatkan kamar mandi serta kakus! Semuanya swadaya murni masyarakat! Meski masih tampak kumuh, rumah itu sekarang sudah tampak bersih dan laik huni.

Sesampai di rumah berbekal informasi dari teman saya tadi, saya menginterogasi adik ipar saya yang mengajar di TK tempat Lia belajar.  Kekagumanku kepada Lia semakin bertambah. Ternyata Lia adalah murid cerdas di kelasnya. Dia sangat mandiri. Adik ipar saya bercerita dengan lancar seperti teman saya yang secara detil menggambarkan betapa Lia di usianya yang belia memiliki akhlak yang mulia. Sadar atas keterbatasan sang ayah, setiap pagi dia menyiapkan sarapan pagi untuk berdua. Setiap akan menemani bapaknya berobat jalan di Rumah Sakit Umum Banyumas, Lia pasti menghadap gurunya meminta ijin tidak masuk sekolah. Masih menurut adik ipar saya, cara Lia bertutur sangat teratur.

Yang membuat saya lega adalah respon dari pihak yayasan pemilik TK tempat Lia belajar yang ternyata sudah tepat dalam mengambil tindakan yaitu membebaskan seluruh biaya pendidikan untuknya. Pihak yayasan bahkan memfasilitasi jika ada pihak ketiga yang bersedia menjadi orang tua asuh untuk Lia dan memang Lia sudah mendapatkannya meski tidak rutin. Soal transportasipun Lia sangat menggantungkan kepada kemurahan hati wali murid temannya yang rumahnya berdekatan. Jarak 1 kilometer terasa jauh bagi kaki kecil Lia sehingga pihak sekolah menghubungi wali murid temannya untuk secara rutin menjemput dan mengantarnya. Tanpa terasa air hangat meluap dari mataku yang sudah menjadi danau air mata. Agak sulit untuk segera percaya bahwa cerita tentang Lia adalah nyata! Tapi senyumnya sungguh nyata kawan!

Pada kesempatan lain teman saya bercerita bahwa bapaknya Lia berprofesi sampingan sebagai juru pijat. Namun sekarang semakin sedikit orang yang memanfaatkan jasanya karena kendala penyakit diabetesnya yang bertambah parah sehingga praktis tanpa kerja dia sekarang. Apakah si bapak mempunyai sumber penghasilan tetap? Pensiun misalnya? Jika tidak, adakah saudara dekatnya yang memberikan bantuan keuangan secara rutin bagi si bapak dan putrinya yang cantik? Teman saya tidak bisa menjawab pertanyaan - pertanyaan  saya. Tiba tiba saya merasa khawatir. Apakah Lia bisa tetap memberikan senyumnya kelak jika dia beranjak remaja? Bagaimana jika sang ayah kelak (maaf) tiada, Lia akan tinggal dengan siapa? Ya Allah ampuni hamba yang cemas tanpa alasan.

Libur tahun baru Hijriah kemarin saya kembali bertandang ke rumah teman pemilik biro untuk menyiapkan materi pelatihan hari Senin, 27 Oktober 2014. Terlihat bapaknya Lia sedang berjalan tertatih menapaki anak tangga memasuki halaman rumahnya. Dengan sigapnya salah seorang warga yang baru pulang dari masjid menuntun si bapak yang agak buta memasuki rumah. Setelah duduk di teras, dia memanggil nama anaknya yang dijawab oleh teman saya bahwa Lia sedang bermain dengan anaknya di wilayah RW sebelah. Teman saya lantas menyampaikan bahwa dia akan segera menjemput keduanya. Setelah percakapan singkat tadi, saya segera masuk untuk memulai diskusi dengan istri teman sambil menunggu suaminya yang pergi menjemput anaknya yang sedang bermain dengan Lia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun