Mohon tunggu...
Suhermanto Yasduri
Suhermanto Yasduri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Apakah Bulan Oktober Masih Disebut Bulan Bahasa?

13 Oktober 2014   22:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:11 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Begitu banyak peristiwa politik penting terjadi pada bulan Oktober tahun 2014 sehingga kegiatan (tulisan) yang berkaitan dengan pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi sepi dan tidak menarik untuk dibahas (dibaca). Dilandasi oleh semangat Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tanggal 28 Oktober, saya sengaja memilih untuk mengangkat tema ini dengan konsekuensi sepi pengunjung. Namun saya akan berusaha menghibur diri bahwa meskipun hampir semua tulisan saya selalu minim pengunjung tapi selalu ada perasaan puas setelahnya. Hal inilah yang memotivasi diri untuk terus berupaya.

Sekadar untuk mengingatkan diri sendiri, Sumpah Pemuda yang terucap pada penutupan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 adalah momentum kebangkitan Bangsa Indonesia yang belum merdeka. Hal ini tidak diantisipasi oleh pemerintah kolonial Belanda yang menganggap sepele peristiwa ini. Padahal pada malam penutupan Kongres Pemuda II inilah untuk kali pertama akan diperdengarkan sebuah lagu yang kelak akan menjadi lagu kebangsaan yaitu "Indonesia Raya" oleh biola WR. Supratman.

Selain mengumandangkan (bakal) lagu kebangsaan, peristiwa penting lain yang terjadi pada malam 28 Oktober 1928 adalah ketika Muhammad Yamin menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan beliau kepada pimpinan rapat Soegondo Djojopoespito yang kemudian mengedarkan kepada seluruh peserta rapat. Tulisan inilah yang kemudian setelah direvisi sendiri oleh Muhammad Yamin lalu dibacakan oleh Soegondo Djojopoespito yang kelak dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Salah satu bunyi sumpah itu adalah ikrar untuk menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Hal ini yang menjadikan bulan Oktober dianggap sebagai bulan kelahiran bahasa persatuan. Mungkin pemerintah kolonial Belanda menyesali peristiwa Kongres Pemuda tapi kita justru bersyukur peristiwa itu terjadi. Jadi meskipun Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi sehari setelah negara kita merdeka pada tahun 1945, tetapi Bahasa Indonesia lahir 17 tahun sebelumnya.

Pemerintah telah mengesahkan peraturan rinci tentang penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang tertuang dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan .  Pertanyaannya adalah sebagai penyelenggara negara, apakah Pemerintah sudah menjalankan perintah Undang Undang tersebut?

Pada Bab III  pasal 28 UU No. 24/2009 berbunyi : "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri". Artinya jika kelak Presiden Joko Widodo diundang oleh PBB untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, saya berharap beliau tetap menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya. Dalam konferensi pers pun beliau tidak perlu menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam Bahasa Inggris dengan Bahasa Inggris, seperti (mantan) Presiden Suharto dulu menugaskan seorang penerjemah untuk menjawab pertanyaan dalam Bahasa Inggris.

Selanjutnya, pasal 32 UU No. 24/2009 ayat (1) menyatakan :  "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia". Sudah terlalu sering kita mendengar seminar - seminar resmi di tanah air yang tajuknya menggunakan bahasa asing (Inggris).

Pasal 36 UU No. 24/2009 ayat (1) memerintahkan : "Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia". Ayat (4) di pasal yang sama mengatur pengecualian tentang penamaan gedung dan lain lain seperti tersebut di ayat (1) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan / atau keagamaan. Pembaca tentu tahu San Diego Hills yang mewah adalah kuburan untuk orang kaya berlokasi di Karawang. Apakah ada nilai nilai sejarah keterkaitan antara Karawang dengan San Diego di negara bagian California Amerika Serikat? Yang saya tahu malah puisi heroik karya Chairil Anwar yang berjudul Antara Karawang Bekasi. Lalu bagaimana dengan TV One? Dengar pula bagaimana para selebritas berbicara.

Pengalaman saya dulu sewaktu masih bekerja di kapal pesiar membuktikan bahwa tenaga kerja asal Indonesia sangat rajin dan berdedikasi tinggi, tetapi kemampuan berbahasa Inggris rekan - rekan sangat rendah dan itu menjadi kendala untuk kemajuan karir mereka. Dalam salah satu kesempatan sekitar tahun 1999 saya diminta untuk membantu memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Ingris rekan - rekan. Ironisnya, banyak di antara mereka yang mengalami kesulitan untuk mencari padanan kata dalam Bahasa Indonesia tapi justru menyebutkan obyek pembicaraan dalam bahasa daerah masing masing. Hal ini tentu menyulitkan saya karena mayoritas rekan - rekan saya berasal dari luar Jawa Tengah. Salah satu contoh adalah ketika seorang rekan menganggap kacamata hitam yang dikenakan oleh rekan yang lain terlalu besar. Dia berkata sambil tertawa : "Liat si A! Macem papatong euiy!" Padahal berbicara di tempat tamu menggunakan bahasa selain Bahasa Inggris sangat dilarang. Jadi saya berusaha mengoreksi ucapan dia agar atasan dia atau siapapun yang mendengar tidak salah persepsi. Namun dia kesulitan menjelaskan apa itu papatong kepada saya! Keesokan harinya saya baru tahu arti papatong, itu pun dari orang lain.

Melihat gegap gempita di bulan Oktober, nampaknya isu bahasa persatuan semakin terpinggirkan. Padahal saya sangat bangga sebagai salah satu warga bangsa Indonesia, saya bangga dengan merah putih yang berkibar, saya bangga ketika berbicara dalam bahasa Indonesia tanpa sekalipun menyelipkan istilah asing kecuali terpaksa. Meski di dalam keluarga cara bertutur saya dianggap lambat dan kaku, tapi saya bangga bisa terpilih menjadi ketua RT karena mampu berbicara di depan umum dengan runut. Bahkan saya terpilih menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) periode 2014 - 2019. Itulah mengapa saya jarang menulis di Kompasiana karena sibuk mencari nafkah dan pada saat yang bersamaan disuruh memikirkan desa tercinta. Padahal saya "terdampar" di Kompasiana sejak 2012, tetapi artikel saya baru 22! Dan jarang dibaca orang pula! Jadi apakah bulan Oktober ini masih relevan untuk disebut Bulan Bahasa?

Akhirulkalam, Salam damai untuk negeriku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun