Sulianti kini menjanda. Suaminya meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Aku protes mengapa tidak dikabari. Perhatiannya pada persoalan seni, budaya, dan sastra memang luar biasa. Rambutnya yang memutih serta wajahnya yang mulai menua tidak menghalanginya untuk tetap mencurahkan pada bidang yang memang dia kuasai. Pada pertemuan terakhir di Jogja, dia meminta saya untuk memaparkan sendiri gejala gejala keengganan berpikir yang terjadi pada masyarakat. Luar biasa! Saya gelagapan menanggapi permintaannya, atau gugatannya. Lantas dia meneruskan betapa keengganan berpikir pada masyarakat membuat "proses" mengalami keterasingan. Semua ingin jalan pintas menuju ujung yang kriterianya konon target. Kehidupan sekarang tidak dipahami sebagai proses yang terus menerus sebagai upaya pemuliaan diri. Sukses hanya dimaknai secara sederhana. Jika anda memakai baju merk mahal, sepatu merk mahal, dan mengendarai mobil mahal maka itulah sukses tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Begitu dia mengakhiri kuliahnya. Aku tiba tiba merasakan amarah ini perlahan lahan berkurang intensitasnya.
Sulianti pernah menerangkan soal sosok pemikir dan ahli matematika asal Perancis, Rene Descartes. Ungkapan Descartes yang terkenal "cogito ergo sum". Aku berpikir maka aku ada. Sulianti berpesan padaku, tugas manusia adalah menjadi manusia maka segala kerakusan yang terjadi di masyarakat sekarang ini menunjukkan kita lebih rendah kastanya daripada binatang. Menurutnya, otak orang Indonesia kehilangan kegunaanya! Aku mengangguk mengiyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H