[caption id="" align="alignleft" width="367" caption="Sumber gambar : http://instagram.com/lambangsarib/#"][/caption] Hari minggu kemarin saya ajak jalan jalan anakku ke salah satu mall di ibukota. Saat jam sholat tiba, aku dan istri bergantian menegakkan kewajiban agama yang kami anut. “Pak…, tunggu disini dulu yah, tungguin Kiky, aku sholat dulu,” kata istriku. Aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kududukkan badanku yang terasa berat ini ke dalam kursi yang tersedia. Sementara istriku berjalan menjauh, kuamati anakku sendang bermain dengan anak pengunjung lain. Kulihat anakku mencoba mengajak berdialog dan bermain dengan anak itu. Nampaknya anak tersebut juga suka. Meski sama sama belum fasih berbicara, namun mereka mampu berkomunikasi. Mungkin bahasa isyarat mereka sama, atau mungkin juga ada gelombang lain yang menghubungkan diantaranya. “Hm…, luar biasa yah anak anak. Warna kulit mereka berbeda, namun mereka sama sekali tak menunjukkan sedikitpun perasaan rasialis. Mereka mampu meruntuhkan sekat rasialisme yang dibangun orang tua.” Gumamku dalam hati. Mataku masih terus mengawasi gerak gerik mereka berdua, Tiba tiba…. Seorang perempuan setengah baya datang menghampiri anak itu. Berperilaku agak kasar. Dengan menggunakan bahasa Inggris yang tak kumengerti, ia menarik lengan anak itu dan memaksanya pergi. Dari mimiknya, aku merasakan sedikit aroma “ketidaksukaan” pada ras kami yang berkulit hitam. Anak itu meronta, menangis dan menghiba. Mengharap perempuan tadi melepaskan cengkeraman kuat di tangannya yang rapuh. Namun, sepertinya ia tak perduli. Kelebat tubuhnya menghilang dibalik kerumunan, meninggalkan kami. Bersama tangisan anak tadi, yang sayup sayup mulai tak terdengar. Aku terhenyak, tak tahu harus berkata apa. Aku duduk mematung, menatap kosong, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Ah…, kenapa perempuan tadi ? Apa salah anakku ? Salahkah jika anakku dilahirkan berkulit hitam ? Salahkah anakku jika hanya mampu memahami Bahasa Indonesia dan sedikit Bahasa Jawa ? Salahkah anakku karena meniru ibunya mengenakan kerudung ?” Beribu pertanyaan lain mengisi rongga otakku. Menyesakkan hatiku. Perlahan darahku mulai mendidih, bahkan tanganku tiba tiba mengepal menahan emosi. Untunglah, anakku tiba tiba tersenyum dan berlari menabrakku. Hingga emosi itu hanyut terbawa suara tawa keriangannya. Sobat Anak…. Anak itu bagaikan kertas putih yang suci. Anak tidak mengenal kasta apalagi pangkat dan kedudukan. Anak tidak mengenal bibit, bobot dan bebet. Yang ada dihati mereka hanyalah “persamaan” dan “persaudaraan”. Kawan…, mohon jangan kotori kebeningan jiwa anak anak dengan kebencian yang tidak mendasar. — @lambangsarib— www.lambangsarib.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H