Mohon tunggu...
Lambangsarib cargo
Lambangsarib cargo Mohon Tunggu... -

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagi Anak, "Tiada Kasta di antara Mereka"

13 Juni 2013   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:04 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://instagram.com/lambangsarib/#

[caption id="" align="alignleft" width="367" caption="Sumber gambar : http://instagram.com/lambangsarib/#"][/caption] Hari minggu kemarin saya ajak jalan jalan anakku ke salah satu mall di ibukota. Saat jam sholat tiba, aku dan istri bergantian menegakkan kewajiban agama yang kami anut. “Pak…, tunggu disini dulu yah, tungguin Kiky, aku sholat dulu,” kata istriku. Aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kududukkan  badanku yang terasa berat ini ke dalam kursi yang tersedia. Sementara istriku berjalan menjauh, kuamati anakku sendang bermain dengan  anak pengunjung lain. Kulihat  anakku mencoba mengajak berdialog dan bermain dengan anak itu. Nampaknya anak tersebut juga suka. Meski sama sama belum fasih berbicara, namun mereka mampu berkomunikasi. Mungkin bahasa isyarat mereka sama, atau mungkin juga ada gelombang lain yang menghubungkan diantaranya. “Hm…, luar biasa yah anak anak. Warna kulit  mereka berbeda, namun mereka sama sekali tak menunjukkan sedikitpun perasaan rasialis. Mereka mampu meruntuhkan sekat rasialisme yang dibangun orang tua.” Gumamku dalam hati. Mataku masih terus mengawasi gerak gerik mereka berdua, Tiba tiba…. Seorang perempuan setengah baya  datang menghampiri anak itu. Berperilaku agak kasar. Dengan menggunakan bahasa Inggris yang tak kumengerti, ia menarik lengan anak itu dan memaksanya  pergi.  Dari mimiknya, aku merasakan  sedikit aroma “ketidaksukaan” pada ras kami yang berkulit hitam. Anak itu meronta, menangis dan menghiba. Mengharap perempuan tadi melepaskan cengkeraman kuat  di tangannya yang rapuh. Namun,  sepertinya ia tak perduli. Kelebat tubuhnya   menghilang dibalik kerumunan, meninggalkan kami. Bersama tangisan anak tadi, yang sayup sayup mulai tak terdengar. Aku terhenyak, tak tahu harus berkata apa. Aku duduk mematung, menatap kosong, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Ah…, kenapa perempuan tadi ? Apa salah anakku ? Salahkah jika anakku dilahirkan berkulit hitam ? Salahkah anakku jika hanya  mampu memahami Bahasa Indonesia dan sedikit Bahasa Jawa ? Salahkah anakku  karena  meniru ibunya mengenakan  kerudung ?” Beribu pertanyaan lain mengisi rongga otakku. Menyesakkan hatiku.  Perlahan  darahku mulai mendidih, bahkan tanganku  tiba tiba mengepal menahan emosi. Untunglah, anakku tiba tiba tersenyum dan berlari menabrakku. Hingga emosi itu hanyut terbawa suara tawa keriangannya. Sobat Anak…. Anak itu bagaikan kertas putih yang  suci. Anak tidak mengenal kasta apalagi pangkat dan kedudukan. Anak tidak mengenal bibit, bobot dan bebet. Yang ada dihati mereka hanyalah “persamaan” dan “persaudaraan”. Kawan…, mohon jangan kotori kebeningan jiwa anak anak dengan kebencian yang tidak mendasar. — @lambangsarib— www.lambangsarib.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun