Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Anda Benar, Minum Racun

22 April 2010   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_124452" align="alignleft" width="143" caption="www.cookiesound.com"][/caption]

Yunani pada tempo doeloe, masih termasuk dalam abad kegelapan. Kehidupan, tidak ubahnya pembenaran terhadap kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Kebohongan merajalela, tipu menipu merupakan pekerjaan utama. Mulai dari rakyat kecil, menengah sampai kelas bangsawan dan raja. Boleh juga disebut negara kebohongan dan kepalsuan.

Pihak raja berusaha membuat kebohongan atas kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Agar rakyat tidak pernah atau tidak berusaha melawan kehendak raja. Begitu pun rakyat, berusaha saling menindas satu sama lain untuk memeroleh keuntungan materi. Carut marut kehidupan tidak lantas seluruhnya mengabdi pada kepalsuan.

Masih ada Sokrates, dengan segala upayanya mengajarkan tentang berbuat kebajikan. Berbuat rakyat berpikir jernih atas persoalan-persoalan kehidupan yang carut marut. Dia berusaha meluruskan bahwa upeti terhadap bangsawan atau raja atas persoalan yang dihadapi rakyat tidak perlu dilakukan. Begitu pun sebaliknya.

Bangsawan atau raja tidak usah menindas rakyat dengan cara menakuti jika tidak membayar upeti. Namun kehidupan teramat kronis. Budaya suap menyuap terus berlanjut, meski mereka setiap hari datang pada dewa untuk meminta maaf dan diberkahi kehidupannya. Seolah-olah tidak ada lagi celah untuk sebuah kebenaran.

Sokrates pun tidak kehabisan akal. Ia mencari pemikiran orang lain untuk diserap dan dipahami, kenapa sampai berbuat demikian. Cerita pun begitu banyak berkerumun di kepalanya. Salah satu kesimpulan dari cerita itu, bahwa rakyat hanya menggunakan kepala dan pemikirannya. Tidak pernah menggunakan hati atau nurani dalam menyelesaikan persoalan.

Ketika logika menyelesaikan persoalan melalui suap, semuanya sudah beres. Tidak ada lagi perasaan atau merasa bahwa tindakan itu adalah salah, sebuah tindakan merugikan orang lain. Begitu pun ketika, misalnya maling buah pier. Cukup dengan membayar hakim satu sen, lalu bebas lah ia atas tuduhan pencurian.

Begitu pun raja, memiliki kesalahan dalam membuat kebijakan. Dewan hakim, cukup dengan mengatakan, "Bahwa titah raja adalah hukum". Pembenaran-pembenaran terhadap kesalahan dapat ditolelir dengan mudah. Hal itu membuat Sokrates, berpikir keras dan mencari solusi atas kebobrokan negaranya.

Namun, apa daya. Sokrates bukan lah bangsawan yang mampu menjungkirbalikan kehidupan menjadi lebih indah dengan menghargai sesamanya. Ia hanya seorang pengembara yang rajin menuliskan pemikirannya. Namun tulisannya, siapa yang akan membaca pada saat itu. Jika pun ada yang membaca tentu akan dirobek dan dilemparkan ke keranjang sampah.

Hal itu pun terbukti, ketika tulisannya menyebar di kalangan bangsawan dan sampai juga kepada raja. Apa yang diperolehnya, ia dijatuhi hukuman gantung untuk menanggung dosanya. Yakni menyebarkan kebenaran. Selain dihadapkan pada tiang gantungan, ia harus meminum racun. Seorang yang taat hukum akan melakukan titah itu.

Padahal, kesempatan untuk melarikan diri sangat terbuka lebar. Namun bukan itu yang diinginkan Sokrates. Kebenaran harus ada di atas kebenaran. Resiko apa pun harus dihadapi meski nyawa taruhannya. Pilihan Sokrates, dengan meminum racun adalah benar. Dengan demikian, namanya akan tetap hidup sepanjang jaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun