[caption id="attachment_309640" align="alignleft" width="300" caption="KUTA, 14/10 - PENYUCIAN ALAM. Beberapa Umat Hindu membawa benda-benda sakral ke tepi pantai untuk disucikan dalam rangkaian upacara "Ngusaba Desa" dan "Ngusaba Nini" yaitu ritual penyucian alam, di Pantai Kuta, Bali, Kamis (14/10). Kegiatan keagamaan berskala besar yang digelar setiap 25 - 30 tahun sekali itu berlangsung hingga satu bulan lamanya dengan berbagai prosesi untuk mengembalikan kesucian/keharmonisan alam terutama bagi lingkungan desa adat setempat. FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana/Koz/nz/10."][/caption]
Apakah alam sudah keterlaluan atau manusianya yang sangat keterlaluan. Sehingga terjadi bencana bersamaan di negeri ini. Betapa banyak energi tersedot ke sana, baik sekedar bela sungkawa, menuliskan pengamatannya. Atau ikut menjadi bagian dari reportase itu sendiri.
Toh, saya pun tidak mampu berbuat banyak. Hanya mengucapkan bela sungkawa, setelah itu menjadi pembicaraan warung kopi sambil "terbahak-bahak" mencicipi kopi dan sebatang rokok. Bisa juga sambil ngedumel karena terjebak rutinitas.
Jika saja, boleh menyalahkan dan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap bencana itu? Saya tidak sungkan-sungkan untuk menunjuk langsung pemimpin bangsa ini yaitu presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lho kok kenapa dia yang disalahkan? Lha wong, bencana itu kan terjadi secara alamiah. Siapa pun dan dimana pun akan mengalami kemusibatan baik dalam skala kecil maupun besar. Tergantung dimana mereka tinggal.
Lho kok menyalahkan lagi masyarakat tinggal dimana? Siapa pun di negeri ini memilik hak sama hendak tinggal dimana tidak ada larangan. Mau di hutan, dekat sungai, perkotaan, pedesaan atau membuat rumah gua sekalipun tidak ada yang melarang. Lha kalau begitu kan dampaknya mudah terkena bencana alam. Jadi sekarang kan manusia harus sadar tubuh.
Waduh, kok harus sadar tubuh. Lha bagaimana dengan pemimpin bangsanya? Kan konon kata agama, orang yang kelak dimintai pertanggungjawaban adalah pemimpinnya. Sedangkan rakyatnya akan bebas lenggang kakung tanpa pemeriksaan. Yah, siapa pun yang mengaku pemimpin akan diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban. Jadi jangan mau jadi pemimpin, kalau tidak mau bertanggung jawab.
Hoalah, jauh amat sih bicaranya. Ngelantur ....ngelantur .... ngelantur. Gak mutu. Lha otak kiri sampean yang gak wajar. Lha otak kanan sudah bicara ilmiah, bahkan dapat dipertanggung jawabkan secara buku-wan. Hoeak .... hoek .... sok tahu. Sok ngegurui. Sok ilmiah. Sok ...sok ....sok, siapa seh elo? hoek ... hoek ..... hoek ....
Ala mak, dialog macam mana pula ini? Siapa dan mendialogkan apa, kok sama-sama tidak jelas. Akhirnya debat kusir? Esensinya mana?
O ... iya, fokus lagi. Sudah dimana tadi? o ... ya....ya ...ya, sudah sampai saya menyalahkan presiden ya? Maksud elo, apa? Kenapa menyalahkan presiden? Gua gak setuju. Inga ... inga .... inga .... jangan suka melecehkan bangsa sendiri. Emang elo bukan orang Indonesia, apa? Lho, siapa yang melecehkan? Aku kan hanya menuduh alias menuding. Tudingan itu pun tidak berdasar sama sekali. Wah stop ... stop ... stop .... kalau tidak ada dasar namanya fitnah.
Fitnah itu lebih kejam dari gunung merapi meletus. Mau diteruskan gak, saya bicara? Kalau tidak ya udah the end aja. Lha kopinya saja sudah abis. Rokok tinggal dua batang lagi. Kalau pembicaraannya tidak selesai, apakah sampean mau membelikan aku rokok dan kopi?
Begini, kata penasihat dukun sakti, sakti sekali. Nah tahu kan penasihat dukun sakti tentunya lebih sakti dari para dukun sakti itu. Tentunya omongannya lebih sakti dari para normal sakti, you know? Begini ceritanya, pemimpi di Indonesia itu harus memiliki trah raja. Lha koek .... koek ... koek .... omong apa sampean.