Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Sadar Kita Otoriter?

23 April 2010   13:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Aku bukan seorang negarawan. Aku seorang penyair yang sedikit gila. Dan aku tidak pernah melakukan kesalahan ketika hanya menuruti naluri. Hanya, ketika menuruti akal, aku habis. Barangkali aku hanya memberi arahan saja, cuma meletakan dasar yang aman dan kuat. Tetapi kapan, ada diktator yang selalu tepat perhitungannya." ucap Mussolini menjelang runtuhnya kekuasaan.

Entah kalimat itu sebagai penyesalan atau hanya untuk menghibur diri. Bahwa selama Mussolini berkuasa, apa yang dilakukannya adalah benar. Membangun Italia sebagai negara kampiun, mampu menyelesaikan seluruh rencana pembangunannya sebagai salah satu negara adikduasa di eropa dengan fasisnya.

Dia, membangun sebuah emperium rakyatnya dengan segala kehormatan terhadap negara. Rakyat harus memberikan kebanggaan kepada negara dengan karya-karya besar. Misalnya dalam sepakbola, Italia harus juara pada perhelatan Piala Dunia 1938 di Francis. Jika tidak juara, Mussolini mengancam akan menghukum mati para pemainnya.

Meski ancaman tidak manusiawi itu dilontarkan, namun sikap pemain Italia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi kampiun dan berhasil. Begitu pun sikap otoriternya terhadap lawan politik atau rakyat yang membangkang akan berhadapan dengan tiang gantungan. Mungkin, arogansi kekuasaan sudah melupakan segalanya.

Namun ketika, imperiumnya menghadapi kehancuran dan sempat ia menjadi boneka Hitler. Jiwa kemanusiaannya timbul. Ia tidak saja sebagai manusia biasa yang mampu meneteskan air mata, ketika menantunya dihadapkan pada tiang gantungan. Begitu sedihnya ketika anaknya berkirim surat dengan pengungkapan, "suamiku adalah penghianat dan pencuri. Namun aku bangga, aku persembahkan suamiku pada kehormatan," tulis Edda.

Tidak ada kehancuran jiwa bagi seorang ayah, melihat anaknya begitu tegar menghadapi tiang gantungan dan guilotin. Ayah siapa yang rela, anaknya harus mati secara mengenaskan. Begitu pun anak dan istrinya diperlakukan bagaikan binatang. Apalagi dirinya mantan boss nomer wahid harus hidup di pengasingan dan penjara.

Setiap penguasa yang berdiri atas kekuasaannya, siapa pun dia akan tolak pinggang di atas pundak. Setiap kesalahannya adalah kenikmatan rakyat untuk mengonsumsi dan menghancurkan moralnya bagai seekor tikus. Perlu dicincang dan dihabisi tanpa harus meneteskan setitik pun belas kasihan, sebab ia penguasa.

Apalagi kekuasaan yang diraih dan dijalankan dengan kelaliman. Andaikan saja, kita adalah penguasa baik di tingkat paling rendah atau jabatan tertinggi sekalipun. Kekuasaan itu dapat melupakan akal sehat dan nurani. Setiap kata yang ke luar dari lidah tak bertulang itu, harus menjadi fatwa hukum dan harus dilaksanakan.

Kita itu tak ubahnya pemimpin dunia yang otoriter. Namun skalanya kecil. Setiap presiden, misalnya memiliki keotoriteran tersendiri. Jangankan presiden, wakil rakyat saja atau raja-raja kecil di daerah merupakan simbil otoriter dalam kalang kekuasaan. Apakah kita pun sudah sadar kalau selama ini otoriter?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun