Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kontroversi "Kita"

1 Mei 2010   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita menjadi lautan tak terbataskan. Di sana ada aku, kamu, dia, nya, mereka dan seterusnya. Lautan yang dapat menjadi ombak besar, menenggelamkan seluruhnya. Bisa juga hanya menjadi riak tak berguna diantara lelehan lilin. Namun ketidakbergunaan itu masih menggelorakan hasrat dan jumawa tak tertasbihkan.

Ketika kita meniduri seranjang tentang korupsi. Ketika kita meniduri ketidakberdayaan. Ketika kita terjebak pada kejahatan berjamaah. Kita masih jumawa, menyatakan kebersihan dan kemoralan yang agung. Ketika kita berteriak-teriak, di pinggir atau tengah jalan menjadi abdi maha kerakusan. Ketika kita berteriak diantara denyut internet dengan etika.

Aha, mari mampir pada rumah korupsi yang sempat ditinggalkan sejenak. Kita telah meninggalkan aroma bau bangkai yang darahnya sudah dihisap sampai ke sum-sum. Namun sekali lagi kita lupa telah menghisapnya. Sebab lapar selalu datang tiba-tiba. Di saat seperti itu, semua etika, estetika, moral dan hukum selelau terdedahkan.

Kenapa kita harus berbicara hukum, berbicara etika, berbicara moral, berbicara estetika. Kita sudah lama berkubang dalam lumpur, mencari rahmat yang tidak pernah mampir di telaga sunyi. Bukan kah selama ini kita sulit membedakan mana haram dan mana halal? Jangankan yang halal, haram pun sulit di temuai di sepanjang wangi kesturi.

Kalau sudah begini, siapa yang tidak menjadi bagian persengkongkolan dari rahasia besar kejahatan kemanusiaan? Ketika bendera "peterpen" dikibarkan dalam film kartun popeye. Terjadilah perlawanan maha dahsyat. Siapapun meminta pembuktian fakta dan data tentang sebuah kejahatan. Ini lah sari dari kolaborasi "kita".

Benar dan benar adalah sebuah suku kata yang dijadikan aroma gincu. Sebab hukum selalu meminta pembuktian. Tapi bagaimana membuktikan bermoral, tidak bermoral, tidak beretika, tidak berestetika dan mendedahkan kearifan lokal? Untungnya di sini belum ada polisi moral, etika dan seterusnya yang mungkin akan nyinyir.

Atau jangan-jangan, semua sudah menjadi polisi moral? Jika, kita adalah sebuah kesalahan. Maka siapa yang benar? Bukan kah kolektifitas ini sangat sulit di urai karena kesalahan berjaman telah membentuk kebenaran fungsional dari hari ke hari. Sehingga membuat opini pembenaran pula. Andaikan "kita" adalah benar.

Siapa yang patut disalahkan? Bukan kah yang salah tidak seluruhnya. Tentu ada yang benarnya juga? Sebuah apologi dan terus akan menjadi apologi untuk mencari kesalahan demi kesalahan. "Kita" tidak perlu digeneralisir. Sebab masih ada yang benar. Aha ..... di negeri yang salah adalah kelahiran yang salah pula.

Sebab teramat sulit mencari kebenaran di negeri tahayul seperti ini. Jika ada yang benar, tunjukan kebenaran itu! Dimana letak dan rupanya seperti apa? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun