Mohon tunggu...
Adhira Lambagoessi
Adhira Lambagoessi Mohon Tunggu... -

Call Me "Hai..." :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

25 Januari 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327509733607175279

Indonesia merupakan Negara kepulauan. Lebih dari 17.000 pulau yang tersebar berikrar untuk berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Laut yang tampak memisahkan antar pulau justru dianggap sebagai pemersatu bangsa yang harus dijaga sebagai wilayah kekuasaan. Laut mendominasi hingga hampir dua pertiga wilayah kedaulatan NKRI. Itu artinya selama ini kita berpijak di atas seonggok tanah yang kita sebut pulau di tengah lautan yang luas. Maka sudah sepantasnya Indonesia menjadi bangsa pelaut, bangsa yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya dengan cara menyingsingkan lengan baju mencari kemuliaan di tengah lautan. Indonesia menyandang predikat Negara maritim dalam waktu yang cukup lama. Pelaut nusantara telah menorehkan prestasinya dalam mengarungi samudera pasifik dan samudera hindia. Pada abad ke-13 para pelaut bugis sebagaimana tercatat dalam kisah Sawerigading dalam naskah La Galigo terus melakukan ekspedisi lautnya hingga ke Madagaskar. Maka tidak mengherankan bila Ferdinand Magellan merekrut beberapa anak buah kapalnya dari para pelaut nusantara dalam perjalanan ekspedisi keliling dunia pada 1519 – 1522. Kesuksesan dalam perdagangan international pun tercatat dalam banyak jurnal sejarah. Misalkan Sungai Berantas, Sungai Solo, Sungai Musi, dan Sungai Kampar yang pernah menjadi tempat singgahnya kapal-kapal untuk bongkar muat. Posisi geografis Indonesia yang strategis memberikan keuntungan tersendiri untuk pelayaran dan perdagangan mulai masa Kerajaan Jepara, Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan juga kerajaan-kerajaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dalam bukunya ‘Al – Quran dan Lautan’, Agus S. Djamil menuliskan bahwa seorang pelaut bugis bernama Amanna Gappa pada 1676 menyusun sebuah hukum laut berupa kumpulan peraturan pelayaran dan perdagangan. Sebuah prestasi terukir dari pelaut nusantara dalam pasal-pasal dengan tujuan agar para pelaut memiliki kode etik pelayaran, tata krama, dan peraturan kelautan yang sehat. Tidak hanya itu, gemilang peradaban laut pada masa nenek moyang kita diabadikan oleh kapal pinisi yang terkenal dan kapal samudraraksa yang telah dibuat replikanya dan mampu membawa anak-anak nusantara menyusuri tapak tilas jalur ekspedisi petualangan nenek moyang menaklukan lautan. Budaya pelaut yang sarat akan wawasan bahari terus tergerus zaman dan terlupakan. Warisan watak pemberani dan haus akan tantangan dari nenek moyang terhapus oleh modernisasi global. Sikap kepemimpinan dan kerjasama tidak lagi dimiliki oleh pemuda-pemuda kita. Cerminan masyarakat kita yang terbelakang dan terpuruk dalam keputusasaan sangat jauh berbeda dengan pelaut-pelaut nusantara yang ulet, cekatan, dan pantang menyerah. Produktifitas bangsa ini menurun tajam hilang menjadi sikap konsumtif karena teknologi yang membuat kita terlena. Kini bangsa pelaut tidak lagi menguasai lautannya sendiri. Kita berhenti pada tingkatan pemilik lautan tetapi membiarkan bangsa-bangsa lain mengeruk mutiara keuntungan dari dalamnya. Negara kepulauan Filipina yang jauh lebih kecil dari Indonesia mendapatkan pendapatan devisa negara sebesar US$ 700 dari hasil pengolahan rumput laut yang 65% bahan baku rumput lautnya didapatkan dari Sulawesi. Riau yang memiliki jutaan barel minyak bumi, masyarakatnya tidak bisa merasakan keuntungan yang terus digali oleh perusahaan-perusahaan asing yang secara de facto menguasai ladang-ladang minyak di sana untuk dipasok ke San Fransisko. Paradigma kita selama ini tentang laut sangat memprihatinkan. Bahwa laut adalah jahat, tempat menakutkan, akhir perjalanan, dan tidak ada yang bisa dilakukan di laut. Orientasi kita sebagai generasi bangsa terus berkiblat pada teknologi dan industri negara-negara Eropa yang terbatas pada daratan. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika Indonesia banyak kehilangan pulaunya (pulau Sipidan dan Ligitan, red), kasus sengketa ambalat, dan jutaan ton ikan dicuri oleh nelayan-nelayan dari Thailand, Cina dan Jepang. Tidak ada yang disalahkan kecuali diri kita sendiri yang telah melupakan hakikat kita sebagai bangsa pelaut dan Negara kepulauan terluas di dunia. Paranoid terhadap lautan membuat kita tidak bisa memajukan dunia maritime Indonesia. Daniel Mohamad Rosyid (guru besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS) mengatakan bahwa potensi ekspor ikan tuna Indonesia mencapai 25% dari total produksi dunia atau 160.000 ton per tahunnya, sedangkan kita selama ini hanya mengirimkan sekitar 5000 ton saja tiap tahunnya. Hal ini tentunya belum termasuk total sumber daya perikanan Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton per tahunnya yang sampai saat ini masih dimanfaatkan sebesar 62% saja (Pulitbang Oseanologi LIPI). Begitu luas laut kita dan begitu banyak karunia yang bisa kita ambil untuk merubah nasib bangsa kita. Mulai dari bahan tambang dan mineral, minyak dan gas bumi, sarana trasnportasi, budidaya perikanan, ladang rumput laut, pertahanan nasional, dan konservasi laut serta wisata bahari yang notabene sampai sekarang belum termanfaatkan secara optimal. Kita juga bisa mendapatkan energi alternatif dari laut kita yang ramah lingkungan dan memiliki efisiensi serta efektivitas yang tinggi untuk mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil dan untuk mengatasi kesenjangan distribusi keperluan energy di negeri kita. Sayangnya di Indonesia sendiri belum ada penelitian siginifikan tentang konversi energy laut baik itu angin, pasang surut, ombak, atau panas laut. Proyek PLTO dengan Oscillating Water Column di Parangracuk milik BPPT pun belum memuaskan karena kapasitas listrik yang dihasilkan tidak ekonomis dibandingkan dengan biaya instalasi. Bahkan penelitian besarnya energi atau daya ombak untuk sebagaian besar pantai belum pernah dilakukan. Berbeda dengan California, Kanada, Portugal, Norwegia, Amerika Serikat, Cina, Jepang, Australia, dan Inggris yang sudah bisa merasakan keuntungan dari PLTO. Untuk Indonesia sendiri PTLO begitu menjanjikan karena ombak dengan tinggi 1,5 meter dan periode 10 detik yang menghasilkan gelombang pecah setinggi 1,5 meter bisa memberikan tenaga sebesar 35.000 HP sedangkan Indonesia diliputi lautan penuh ombak. Listrik yang dihasilkan dapat disalurkan ke desa-desa pesisir terpencil atau untuk penerangan lokal prasarana laut seperti pelabuhan atau mercusuar. Tentunya hal ini sangat sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang listrik masuk desa. Tidak diragukan lagi laut adalah masa depan yang cerah untuk bangsa kita dan tidak boleh kita sia-siakan apalagi kita biarkan bangsa asing menguasainya. Titik cerah sudah kita dapatkan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Eksplorasi Kelautan (sekarang Kementrian Kelautan dan Perikanan) oleh mantan Presiden Bapak Abdurrahman Wahid pada tahun 1999 yang pada hari yang sama pada tahun 1980 dilakukan pewacanaan Indonesia sebagai Negara maritim. Ini merupakan langkah strategis sekaligus harapan untuk memulihkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak ada keraguan lagi untuk para pengambil keputusan melakukan pergeseran paradigma pembangunan nasional yang selama ini berbasis daratan pada pembangunan nasional berbasis kelautan. Sesuai dengan ajakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Dr. Ir. Rokhmin Dahuri untuk mengelola laut kita dengan baik dan bermanfaat secara ekologi, sains, ekonomi, dan sosial politik. Konsistensi pemerintah dalam mengelola laut sebagai wilayah kedaulatan dirasa oleh penulis selama ini masih kurang. Meskipun Kementrian Kelautan dan Perikanan telah dibentuk, namun ini memang kebutuhan mendasar untuk melakukan proses perubahan dalam kebijakan pembangunan nasional. Satu pertanyaan besar adalah apakah sebuah departemen mampu memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang begitu besar tanpa keterkaitan dan koordinasi dengan institusi Negara lainnya? Oleh karena itu diperlukan sebuah keputusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk melakukan kebijakan kelautan (ocean policy) sebagai arus utama dalam sektor ekonomi untuk pembangunan nasional tanpa harus meninggalkan potensi ekonomi lainnya. Dimana kebijakan ini akan dituangkan dalam visi bersama semua level institusi Negara. Beberapa alasan mengapa ocean policy perlu dilakukan karena sektor kelautan merupakan sektor yang tertinggal dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya dan teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan kelompok nelayan jauh labih rendah dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya, peluang kerja yang rendah, minat investasi yang kurang karena membutuhkan jumlah pendanaan yang besar dan memiliki resiko yang tinggi walaupun juga menjanjikan keuantungan yang menarik. Dan 60% penduduk Indonesia adalah masyarakat pesisir yang berdesakan mencari rejeki di sepertiga wilayah Indonesia yang tidak lain adalah daratan tempat kita tinggal. Kita jangan hanya bangga menjadi negara swasembada pangan dan kebutuhan pertanian dengan pola pikir pertanian – domestik dalam potensi Indonesia sebagai Negara agraris yang mengandalkan daratan seluas 20% wilayah territorial NKRI. Hasil pertanian yang melimpah tidak akan menyejahterakan masyarakat tanpa adanya kemampuan untuk memperdagangkan hasil panen dan olahannya seperti yang dialami para petani kita yang produknya kalah saing dengan produk asing. Apalagi wilayah daratan itu terus terancam dengan berbagai proyek pembangunan properti, pusat pembelanjaan, dan perkantoran. Kemampuan pola pikir antarpulau dan lintas lautan harus kita asah untuk mengoptimalkan wilayah sebesar 80% berupa lautan yang berada pada urat nadi pelayaran serta perekonomiaan dunia. Tidak berlebihan jika Indonesia dikatakan sebagai Negara terunik di dunia. Geografisnya yang khas berada di antara dua samudera dan dua benua, kawasan laut yang jauh leblih luas dibanding daratan, dan heterogenitas etnis yang tinggi terangkum dalam bhineka tunggal ika. Sehingga kita tidak bisa mengambil acuan dari bangsa manapun dalam pembangunan dunia maritim kita. Semangat kreatifitas, inovasi, dan kepeloporan mutlak dibutuhkan dari para penerus peradaban bangsa ini. Kerja sama para cendekiawan dari segala disiplin ilmu harus mulai dilakukan dalam tim sukses pembangunan nasional Indonesia untuk keunggulan kemaritiman kita. Sehingga mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan mandiri bukan lagi sekedar khayalan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun