(Sumber gambar: https://hot.detik.com/art/d-2593799/tujuh-arca-singhasari-masih-berada-di-belanda)
Dalam mitologi Hindu, terdapat banyak dewi atau shakti sebagai pendamping para dewa, yang juga menjadi kekuatan feminis dari dewa tersebut. Salah satu aliran agama Hindu yang popular pada masa Hindu-Buddha dahulu adalah aliran Siwa Siddhata, dimana para pemeluk aliran ini lebih banyak memuja Pantheon dari family Siwa seperti, Dewa Siwa, shakti Siwa ( Parwati, Uma, Durga, Kali), Ganesha, Skanda atau Kumara, dan Rsi Agastya.
Dari sekian Shakti Dewa Siwa, Dewi Durga yang dalam aspeknya sebagai Mahisasuramardini paling sering ditemukan dipuja bersama Dewa Siwa di Candi-candi Hindu di Indonesia, bahkan sampai saat ini masyarat Hindu di Bali masih menyembah Dewi Durga atau Bhatari Durga. Hal ini bisa dibuktikkan dengan banyaknya temuan arkeologis seperti arca, relief, dan juga karya sastra Jawa kuno yang menggambarkan Dewi Durga.
Arca Dewi Durga yang paling terkenal bahkan sampai ke mancanegara adalah arca Dewi Durga dari Candi Siwa di Kompleks Candi Prambanan. Arca dewi ini dalam mitologi masyarakat setempat disebut juga sebagai arca Loro Jonggrang. Kisah Loro Jonggrang yang dikutuk sebagai batu dan menjadi penggenap candi ke seribu yang dibuat oleh pangeran Bandung Bondowoso sungguh sangat menarik.
Dalam ilmu Arkeologi, terdapat suatu kajian khusus mengenai patung atau arca, kajian ini disebut Ikonografi. Â Kajian ini membahas makna,arti, cara penggarapan, bahan, dan juga fungsi dari suatu patung atau arca. Kajian Ikonografi yang yang banyak diminati arkeolog di Indonesia, khususnya Arkeolog Klasik adalah Ikonografi Hindu-budha.
Dalam sejarah seni arca di Indonesia khususnya di Jawa, dikenal 3 gaya atau langgam suatu arca. Langgam Jawa Tengahan pada periode Mataram Kuno, langgam yang paling terkenal pada masa ini adalah langgam Sailendra, langgam Jawa Tengahan-Jawa Timuran atau peralihan pada periode Dinasti Isyana dan awal masa Singosari, dan langgam Jawa Timuran pada periode Singosari dan Majapahit. Setiap gaya atau langgam tersebut memiliki ciri-ciri dan keunikannya tersendiri, entah itu dari segi bahan, cara penggarapan, ketepatan sesuai dengan aturan kitab Sastra  dari India atau mencampurnya dengan anasir lokal Indonesia.
Dewi Durga sebagai shakti Dewa Siwa memiliki berbagai bentuk dikenal sebagai Nawa Durga atau Sembilan bentuk Dewi Durga, dari semua bentuk tersebut bentuk Durga Mahisasuramdini yang paling dikenal di Indonesia. Dewi Durga dalam aspeknya yang ini datang untuk membunuh Asura  atau iblis yang berbentuk Mahisa atau kerbau. Menurut kitab-kitab  Purana, seperti Markandaya Purana  dan Vamana Purana, dan Devi Mahamtya Purana, Dewi Durga digambarkan sebagai dewi yang cantik, berkulit kuning, dan mengendarai Singa, memiliki tangan bervariasi dan membawa laksana atau senjata yang diberikan oleh para dewa. Dalam pengarcaannya di Indonesia Dewi durga digambarkan sama persis sesuai dengan kitab-kitab Purana, berwajah cantik dan meiliki warna kulit yang indah.
Penggambaran Dewi Durga sebagai Dewi yang cantik mulai bergeser pada masa Kerajaan Kediri, tetapi mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit. Dewi Durga tidak digambarkan lagi sebagai Dewi yang cantik, melainkan sebagai raksasi atau raksasa perempun yang menyeramkan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya arca Dewi Durga bertaring dari Candi Rimbi, dan juga relief-relief pada candi yang mengisahkan tentang ruwatan yang dilakukan Sadewa kepada Dewi Durga dalam kitab Sudamala.
Ratnaesih Maulana dalam Laporan penelitiannya yang berjudul "Variasi cirri-ciri Arca Durga Mahisuramardini" yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia pada tahun 1993, menjelaskan penggambaran Dewi Durga dalam Sastra Jawa Kuno seperti Kakawin Gatotkacasraya, Kitab Sudamala dan Sri Tanjung, dan Kakawin Parthayajna, memiliki bentuk ugra atau menakutkan seperti matanya yang melotot, memiliki hidung yang besar dengan lubang hidung yang dalam, bertaring, bermulut lebar, dan berambut gimbal.
Hal ini dimungkingkan karena pada masa-masa itu anasir Indonesia lebih mendominasi daripada anasir asli India, tidak seperti zaman Jawa Tengahan yang konsisten memgikuti aturan India, pada masa Majapahit sudah mulai mencampurnya dengan local genius Indonesia dan kemauan dari si pembuat patung. Untuk penggambaran Dewi Durga sebagai raksasi, kemungkinan besar hal ini terjadi karena Dewi Durga sudah digambungakan dengan shakti Dewa Siwa yang lain seperti Dewi Kali dan Candika, dimana kedua dewi tersebut digambarkan dalam bentuk yang menyeramkan. Karena masyarakat Indonesia pada masa itu sudah familiar dengan Dewi Durga dan mereka kurang mengenal kedua dewi tersebut maka di gabungkanlah para dewi tadi menjadi satu bentuk yang menghasilkan Dewi Durga sebagai Raksasi.