Mohon tunggu...
Lalu MohamadZainudin
Lalu MohamadZainudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya main bola

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pemberian Remisi terhadap Narapidana Korupsi Bertentangan dengan UUD 1945

10 September 2022   16:30 Diperbarui: 10 September 2022   16:32 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini kita dihebohkan dengan pembebasan 23 narapidana korupsi (kuroptor), sehingga hal ini menibulkan stigma negatif dari masyarakat yang dimana mereka mengatakan bahwa keadilan hanya untuk orang yang memiliki kekuasaan dan salah satu yang penting ialah memiliki uang. Kita semua mengetahui dampak dari korupsi saat merusak tatanan sosial, budaya dan bermasyarakat, karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), sehingga perlu cara yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Akan tetapi fakta yang terjadi malah berbalik yang dimana narapidana kasus korupsi yang seharusnya dihukum lebih berat daripada tindak pidana lain justru mendapatkan perlakuan istimewa dari negara. Hal ini tentu menciderai rasa keadilan untuk masyarkat yang menerima dampak dari korupsi itu sendiri. Jika kita mengacu pada hirarki peraturan perundang-undangan, ada asas peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogate legi inferiori). Tentu dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, diganti dengan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pembinaan Warga Binaan, dan baru-baru ini peraturan terssebut tidak berlaku karena adanya UU No. 22 Tahun 2012 tentang Pemasyarakatan. Dalam hal ini pemberian remisi terhadap para narapidana korupsi bertentangan dengan UUD 1945, yang dimana dalam UUD 1945 ini pemerintah (eksekutif) hanya diberikan kewenangan dalam pasal 14 yang menyatakan : 

1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan dewan perwakilan rakyat.

Berdasarkan pasal 14 tersebut presiden hanya memiliki kewenangan untuk itu saja, dalam hal ikut campur tentang kekuasaan kehakiman. Adapun penjelasan dari wewenang yang diberikan oleh presiden ialah :

Grasi ialah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada orang yang sudah dijatuhi hukuman berdasarkan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang berupa perubahan, peringanan/pengurangan, atau penghapusan hukuman. 

Rehabilitasi ialah suatu keputusan presiden untuk mengembalikan hak-hak orang yang telah hilang karena putusan pengadilan, kemudian putusan pengadilan itu terbukti salah berdasarkan alat bukti baru (novum).

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada orang banyak yang melakukan tindak pidana yang bersifat public. Seperti pemberontakan yang membawa akibat luas bagi kedulatan negara. Amnesti diberikan kepada orang yang sudah atau belum dijatuhi hukuman, atau yang sudah atau belum dilaksanakan penyelidikan/penyidikan oleh polisi atau jaksa. 

Abolisi ialah keputusan presiden untuk menghentikan penyelidikan, penyidikan atau pemeriksaan perkara pidana disidang pengadilan sebelum pengadilan menjatuhkan putusan. 

Sedangkan Remisi diatur dalam Pasal 1 Nomor 6, Pasal 34 dan 35 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan diganti dengan UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. dalam ketentuan UU itu sendiri pemberian remisi terhadap narapidan korupsi semakin sederhana dan mudah daripada ketentuan sebelumnya. 

Berdasarkan penjelasan tersebut seharusnya pemerintah mengacu pada UUD 1945 yang menjadi konstitusi. Akan tetapi dalam praktik, dalam hal ini pemerintah (eksekutif) masih terjadi pelanggaran terhadap asas "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka" yaitu berupa pemberian remisi kepada terpidana korupsi (koruptor). Remisi itu sendiri merupakan salah satu campur tangan pemerintah dibidang kekuasaan kehakiman yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan UUD 1945. Pemerintah dalam hal ini tidak konsisten menjalakan amanat UUD 1945 atau inkonstitusional. 

Jika pemerintah saja masih melanggar ketentuan Undang-undang Dasar lalu kepada siapa lagi masyarakat akan mengadu untuk mendapatkan keadilaan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun