Mohon tunggu...
lalu solihin
lalu solihin Mohon Tunggu... -

independent professional consultants

Selanjutnya

Tutup

Nature

Paradoks Pembangunan Berkelanjutan

21 Januari 2014   11:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

PARADOKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh: Lalu Solihin*

Ada yang keliru dalam paradigma pembangunan ekonomi kita selama ini. Kontribusi Sumberdaya Alam terhadap Product Domestic Bruto (PDB) yang terus menerus meningkat selalu dijadikan indicator keberhasilan dalam sebuah pembangunan. Akibatnya, eksploitasi sumberdaya alam terus menerus dilakukan tanpa memperdulikan dampaknya. Padahalpertumbuhan ekonomi tersebut tidak selalu sejalan dengan indikator pembangunan lainnya seperti tingkat kemiskinan, indeks pembagunan manusia, degradasi lingkungan, termasuk meningkatnya emisi Co2 (karbondioksida). Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah eksploitasi sumberdaya alam yang membabi buta telah berdampak pada meningkatnya frekuensi bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kerusakan tanah, perubahan cuaca (climate change), maupun bencana alam lainnya, yang semua itu berdampak pada tingginya biaya penanganan bencana.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan menurut Brundtland dalam laporan dari PBB, 1987adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan untuk generasi yang akan datang. Namun konsep itu begitu sulit untuk diimpelentasikan. Kata pembangunan berkelanjutan memang begitu mudah diucapkan, namun kenyataannya begitu berat untuk dilaksanakan. Mudah untuk ditulis, namun begitu sulit untuk mengukurnya. Pada kenyataannya, antara pembangunan dan kerusakan lingkungan merupakan dua aktivitas yang tidak akan pernah sejalan.

Ekonomi Indonesia

Dalam catatan perkembangan ekonomi kita, sumberdaya alam telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Sejak tahun 1992, kontribusinya terhadap PDB tercatat sebesar 10 triliyun rupiah, dan tahun 2002 meningkat menjadi 15 triliyun rupiah. Akan tetapi pada periode yang sama, terjadi peningkatan persentase jumlah penduduk miskin dari 15,3% (pada tahun 1992), meningkat menjadi 17% (pada tahun 2002), dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) juga terjadi penurunan.

Kemudian, pada dekade tahun 2002 sampai 2010 ketika jumlah PDB mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu dari 15 triliyun rupiah meningkat menjadi 25 triliyun rupiah. Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan persentase pertumbuhan ekonomi dan HDI yang cukup tinggi pula. Akan tetapi, masalah baru muncul seperti semakin meluasnya lahan hutan yang terdegradasi, dan meningkatnya emisi Co2.

Hal ini berdampak pada meningkatnya intensitas bencana dari tahun ketahun terus meningkat. Data BMKG, 2011 dalam Fauzi 2013 mencatat bahwa bencana yang paling sering terjadi antara lain banjir yang disertai tanah longsor, banjir (tanpa tanah longsor), kekeringan, abrasi, dan kebakaran hutan. Secara total jumlah bencana tahun 2002 sebanyak 134 bencana, kemudian berikutnya tahun 2003 sebanyak 389 kasus, tahun 2004 meningkat menjadi 758, hingga tahun 2010 meningkat menjadi 1921 kasus bencana. Belum lagi bencana-bencana alam seperti banjir di Sulawesi Utara yang menyebabkan kerugian mencapai satu trilliyun lebih. Kemudian banjir di Jakarta yang hingga hari ini (20/01/2014) belum juga surut.

Lalu apa artinya PDB yang tinggi tersebut? Uang tersebut kembali lagi digunakan untuk biaya perbaikan lingkungan, seperti air, sanitasi, polusi udara, kerusakan tanah, maupun perubahan cuaca (climate change). Misalnya pada tahun 2007, Indonesia harus mengeluarkan US$ 7,7 milyar untuk memperbaiki kualitas air dan sanitasi. Belum lagi untuk pengeluaran akibat perubahan cuaca yang nilainya sangat sulit diprediksi karena nilainya terus menerus meningkat. Inilah fenomena alam dan fenomena ekonomi yang terjadi pasca Konferensi PBB tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang juga dikenal sebagai KTT Bumi yang menghasilkan prinsip-prinsip Rio dan Agenda 21. Kemudian KTT Pembangunan Berkelanjutan berikutnya juga dilaksanakan lagi di Johannesburg pada tahun 2002 yang menghasilkan

Deklarasi Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan, Rencana Implementasi yang mengacu pada Millenium Development Goals (MDGs), dan Dokumen Kerjasana. Namun itu semua tidak lebih dari sekedar dokumen semata. Yang terjadi bukannya planet bumi menjadi semakin membaik, tetapi hampir setiap Negara seakan berlomba-lomba meningkatkan pendapatannya dari eksploitasi sumberdaya alam.

Bencana-bencana yang kini terjadi tidak terlepas dari prilaku manusia yang serakah terhadap alam yang menyebabkan alam kehilangan keseimbangan. Penebangan hutan yang berlebihan tanpa diimbangi dengan program penanaman kembali yang sungguh-sungguh, sehingga kerusakan ekosistem menjadi suatu keniscayaan. Penambangan sumberdaya alam yang tiada henti, ditambah lagi dengan konversi lahan terus menerus tanpa memperhatikan daya dukung lahan tersebut.

Bank Dunia memperkirakan biaya lingkungan dari penambangan saja mencapai US$100 juta. Sedangkan biaya lingkungan dari tambang rakyat sekitar US$ 3 juta setiap tahunnya. Dengan demikian, jika dihitung rasio cost-benefitnya, maka akan lebih besar biaya dari manfaat yang diperoleh.

Ekonomi China

China tidak hanya dikenal sebagai Negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Namun juga dikenal sebagai Negara dengan tingkat polusi tertinggi di dunia, bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan Wen Zongguo dan Chen Jining (2008) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru mengalami pertumbuhan yang negative jika memperhitungkan nilai kerusakan lingkungan kedalamnya.

Menurunnya kualitas lingkungan dan polusi udara yang semakin meningkat, diiringi dengan berkurangnya stok sumberdaya alam. Eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang dalam skala massif ini sudah pasti memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Pada tahun 2003, pertumbuhan ekonomi China mencapai 4% dari total GDP dunia. Namun dibalik itu, Emisi NO2 China perunit GDP adalah 27,7 kali dari Jepang, dan 2,8 kali dari India, dan emisi SO2 perunit GDP adalah 68,7 kali dari Jepang dan 26,4 kali dari Jerman (Fan, 2004 dalam Zongguo dan Chen Jining, 2008 ), dan nilai output sampah padat China perunit industri adalah 10 kali lebih tinggi dari negara-negara maju.

Lebih dari dua dekade terakhir, China memandang pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas nasional untuk memperbaiki kesejahteraan manusia dan mengurangi kemiskinan. Indikator pertumbuhan ekonomi seperti GNP digunakan secara ekslusif untuk menilai keberhasilan kebijakan pembangunan nasional. Hal ini memberikan harapan bahwa ekonomi China akan tetap berlanjut tumbuh pada kecepatan yang sama dalam satu atau dua dekade serta nyata bahwa China secara bertahap menjadi pusat manufaktur dunia (Lu dan Huang, 2003).

Pertumbuhan industri di China seperti di Kota Beijing yang kian berkembang pesat, bukanlah suatu hal yang patut kita banggakan. Karena dibalik pertumbuhan yang tinggi itu juga berpotensi muncul masalah baru seperti polusi udara, sampah, maupun eksternalitas negative lainnya. Belum lagi bahan baku yang digunakan diperoleh melalui proses penambangan sumberdaya alam, maka lagi-lagi berpotensi terhadap kerusakan lingkungan menjadi semakin tinggi.

Masalah-masalah lingkungan tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan masyarakat yang ada disekitarnya. Potensi munculnya penyakit dari pencemaran udara sangat besar. Begitu juga dengan potensi penyakit dari penumpukan sampah-sampah yang dihasilkan dari setiap industri. Untuk memulihkan kondisi udara menjadi normal kembali tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar.

Seperti yang terjadi saat ini, masyarakat Kota Beijing harus membeli udara segar dalam kaleng semenjak China bagian utara tererang asap beracun. Saat ini, udara dalam kaleng dijual dengan harga 5 yuan (Rp.7.700) per kaleng, dimasa mendatang harga tersebut bisa turun atau bahkan bisa naik, tertangung pada kualitas udara di tempat tersebut. Udara yang notabene anugrah Tuhan yang selama ini diperoleh dengan gratis, kini kita harus bersiap-siap membeli jika kita tidak mampu mensyukuri dengan menjaga kualitas udara saat ini. Dengan demikian, dapat dibayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan udara yang sehat. Meskipun pendapatan masyarakat tinggi, tidak akan menjamin tingkat kesejahteraan mereka akan meningkat. Sebagian besar pendapatan akan teralokasi untuk belanja pengobatan atau pencegahan polusi.

Masalah lingkungan dalam pembangunan ekonomi di Negara-negara berkembang memang belum menjadi perhatian yang utama. Selalu yang dikedepankan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seringnya terjadi bencana alam seolah-olah tidak ada kaitannya dengan keserakahan manusia terhadap alam. Begitu juga dengan hilangnya nilai-nilai dasar yang menjadi karakter sebuah bangsa dianggap sebagai hal biasa dalam pembangunan menuju Negara modern.

Negara memang wajib menjamin kelangsungan hidup rakyatnya melalui pembangunan ekonomi. Namun yang lebih penting adalah kewajiban Negara dalam menjaga kelesatarian lingkungan karena menyangkut kelangsungnan hidup ekosistem alam dan lingkungannya untuk kehidupan umat manusia pada saat kini dan masa yang akan datang.

*penulis adalah mahasiswa doctoral Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun