Mohon tunggu...
lalu solihin
lalu solihin Mohon Tunggu... -

independent professional consultants

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan

23 Januari 2014   05:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 1980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Alam semesta beserta isinya ini merupakan anugerah Tuhan yang wajib kita jaga kelestariannya. Karena Tuhan menciptakan manusia antara lain sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini. Segala kebutuhan manusia ada didalamnya hingga kiamat nanti, asalkan dikelola dengan bijak dan tidak berlebihan. Istilah sustainable development (pembangunan berkalanjutan) yang selama ini kita dengar hanyalah jargon Negara-negara maju untuk mengelabui negara-negara berkembang. Justru mereka menjadi bagian yang merusak alam dan lingkungannya ini.

Setiap daerah memiliki beragam sumberdaya alam, dan mereka memiliki tata cara dan norma-norma adat dalam memperlakukan alam dan lingkungannya. Namun akibat pengaruh globalisasi yang begitu besar dan seiring dengan penemuan beragam teknologi baru, sifat buruk manusia mulai muncul. Rasa tidak puas dan ingin mendapatkan yang sebanyak-banyaknya mulai menggoda. Tak terkecuali pemerintah yang membutuhkan modal besar untuk pembangunan, dihadapkan pada pilihan yang dilematis yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau kualitas lingkungan yang lebih baik. Akibatnya, sumberdaya alam dieksploitasi sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampaknya.

Tapi kita masih bersyukur, beberapa kelompok masyarakat di beberapa daerah di negeri ini masih teguh mempertahankan norma-norma adat mereka dalam mengelola sumberdaya alamnya. Diantaranya adalah Bali dan Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat.

Subak Bali

Dalam memperlakukan alam mungkin ada baiknya kita belajar dari masyarakat Bali, yang hingga kini masih teguh mempertahankan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya. Ada hal yang menarik dengan pola yang disebut dengan system Subak, yaitu suatu lembaga adat masyarakat Bali dalam mengatur tata kelola lahan pertaniannya. Subak yang dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat dengan tugas tidak hanya memimpin setiap upacara penanaman padi di sawah, tetapi juga bertugas membagi penggunaan sumberdaya air secara merata dan bergiliran kepada seluruh petani yang membutuhkan air. Pola ini berlaku bagi setiap subak yang berada di setiap banjar (wilayah setingkat desa). Dengan demikian, tidak ada petani yang berebut air, semua pasti kebagian air sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan.

Setiap petani harus tunduk pada aturan institusi subak yang dibuat bersama. Pola kerja secara gotong royong merupakan modal dasar yang sangat kuat dalam mengelola lahan pertanian. Bagi yang melanggar tentunya akan tersingkir dari lembaga adat sebagai sanki sosialnya.

Namun, tahun 1978-1984, ADB pernah menggelontorkan dana sebesar 24 juta dolar untuk memodernisasi system pertanian di Bali. Program ini diharapkan produksi pertanian di Bali dapat meningkat lebih tinggi lagi. Dengan dana tersebut mulai dibangun irigasi, kemudian penggunaan pupuk kimia untuk memacu pertumbuhan tanaman padi. Akan tetapi, tidak memberikan hasil yang signifikan. Yang terjadi justru sebaliknya, produksi padi masyarakat menurun drastis setiap tahunnya, terutama akibat munculnya hama akibat penggunaan pupuk tersebut.

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa, tata kelola alam yang bijak sebetulnya telah diwariskan sejak lama oleh nenek moyang kita. Pupuk tidak diperlukan jika alam tidak diganggu. Pola hidup yang akrab dengan alam telah dilakukan bertahun-tahun oleh nenek moyang kita. Dalam teori ekonomi juga mengenal istilah entropy theory, yaitu teori ekonomi yang mengatur pola hidup mengikuti pola alam. Jadi manusia yang harus beradaptasi dengan alam, bukannya alam yang harus mengikuti pola hidup manusia.

Berangkat dari kegagalan tersebut, kini masyarakat Bali kembali menggunakan system Subak dalam mengelola lahan pertaniannya. Teknologi baru yang ditawarkan ADB ternyata tidak mampu mengalahkan system yang sudah ada. Artinya penerapan teknologi baru tidak bisa serta merta tanpa mengetahui karakteristik suatu wilayah. Pengelolaan sumberdaya alam yang didukung dengan modal sosial yang kuat, merupakan modal dasar yang potensial dalam menjaga kelestarian lingkungan.Dan kekuatan modal sosial masyarakat Bali melalui system Subak kini diakui dunia setelah system Subak ditetapkan menjadi world heritage atau warisan dunia yang harus dilestarikan.

Jika dunia saja sekarang sudah mulai mengakui keunggulan system lokal dengan kekuatan modal sosialnya, mengapa kita harus memaksakan diri untuk mengikuti pola yang dibuat oleh orang asing yang notabene tidak mengetahui nilai-nilai luhur bangsa kita. Pola ini telah mengalami proses evolusi yang sangat panjang, sehingga antara masyarakat dengan alam telah menyatu dan berjalan seirama. Lembaga lokal seperti Subak tidak membutuhkan yang namanya pestisida untuk meningkatkan produksinya. Mereka hanya yakin dengan ajaran Trihita Karana, maka Tuhan melalui alam akan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Inilah konsep hidup yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan tuhannya, dan manusia dengan lingkungannya. Inilah yang disebut dengan co-evolution dalam pembangunan berwawasan lingkungan.

Ke Kampung Naga

Selain Bali, ada juga masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya Jawa Barat. Adalah sekelompok masyarakat yang mendiami satu kawasan di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Mereka tidak mau terpengaruh oleh pola kehidupan dan budaya luar, dan merasa cukup dengan apa yang mereka jalani saat ini. Tidak ada terdengar suara radio, televise, di kampung ini, apalagi menggunakan handphone. Hutan, sawah, dan kebun yang ada disekelilingnya dianggap telah mampu mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka begitu dekat dengan alam dan sebisa mungkin menjauhi pola hidup modern. Sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari mereka peroleh dari alam disekitarnya, mulai dari beras hingga lauk paunya mereka produksi sendiri.

Mereka masih eksis hingga hari ini dan masih patuh pada norma-norma adat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Salah satu pantangan yang paling ditakuki adalah menebang kayu di hutan. Hutan dan ekosistemnya dibiarkan apa adanya. Bahkan untuk masuk ke dalamnya pun harus seijin sang pemangku adat. Kebijakan ini mereka warisi dari leluhur mereka, dan kemudian mereka warisi lagi kepada anak-anak cucu mereka saat ini. Sampai saat ini tidak ada satupun yang pernah melanggar aturan ini, karena hukuman berupa pengucilan dari kampung dan keluarga dianggap sangat berat bagi mereka.

Populasi mereka memang tidak banyak, hanya sekitar 130an orang yang tergabung dalam satu perkampungan yang disebut Kampung Naga. Meskipun sudah banyak anak keturunan dari masyarakat Kampung Naga ini yang merantau ke luar kota, namun mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dikampungnya. Mereka memiliki komitmen yang sangat kuat dalam menjaga lingkungan tempat tinggalnya, terlebih mereka yang tinggal di kampung ini. Ada istilah “pamali” yang paling mereka takuti, yaitu pantangan bagi mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Ada aturan-aturan tidak tertulis yang ditaati secara turun temurun oleh masyarakat yang tinggal di kampung ini, baik dalam hubungannya antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan tuhannya, dan manusia dengan lingkungannya. Hutan ini dianggap milik bersama (common property right) yang harus dijaga bersama untuk kepentingan bersama.Mereka menyadari sepenuhnya bahwa jika hutan ini rusak maka hidup mereka akan terancam. Tentu saja mereka terancam, karena mereka tinggal di lembah bukit yang tumbuhi beraneka pohon-pohon dan beragam biota yang hidup didalamnya.

Dan dari hutan inilah juga mengalir air yang jernih dan menyegarkan. Mereka memanfaatkan untuk untuk mandi, mencuci maupun memasak, bahkan ada juga yang memanfaatkan air tersebut untuk memelihara ikan. Sepanjang musim mereka tidak pernah kekurangan air, dan konon sangat jarang terserang penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi air ini.

Inilah nilai-nilai yang tidak bisa diukur dengan uang. Sebuah kekayaan budaya lokal yang harus kita hormati dan pelihara bersama. Ketika lembaga-lembaga internasional termasuk PBB begitu gencar meneriakkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, justru masyarakat kita telah melakukannya sejak lama. mereka melakukan atas dasar kesadaran sendiri sebatas kemampuan yang mereka miliki.

Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari kedua kearifan lokal (local wishdom) ini adalah bahwa, untuk bisa hidup bahagia dan berkecukupan ternyata tidak harus dengan mengeksploitasi sumberdaya alam dengan berlebihan. Disinilah teori entropy diapliksikan oleh masyarakat yang notabene kurang mengenal ilmu pengetahuan moderen. Dan masih banyak lagi kampung-kampung lain di belahan nusantara ini yang masih memegang teguh norma-norma adat mereka. mereka menganggap sawah dan hutan mereka adalah warisan nenek moyang mereka sebagai sumber penghidupan hingga anak cucu mereka.

Dengan demikian, pemerintah hanya berperan sebagai regulator agar segala sumberdaya alam dan lingkungannya tetap lestari. Keberadaan mereka harus diakui sepanjang mereka masih tetap menjaga dan melindungi lingkungan dan ekosistemnya. Jika lahan tersebut adalah diwariskan oleh nenek moyangnya. Maka Negara yang notabene lahir belakangan harus menghormati hak-hak beserta norma-norma masyarakat. Dengan demikian, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana selayaknya mampu melindungi eksistensi mereka.

Lalu Solihin: mahasiswa doctoral Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun