Mohon tunggu...
Lalan Takhrudin
Lalan Takhrudin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lalan Tarlan Takhrudin, lahir di Bandung tanggal 21 Juni 1961, pertama kali menulis buku pada usia 20 tahun dengan judul "Inginkah Anda Bisa Berpidato?" Terbitan PT. Al Ma'arif Bandung, Buku lainnya yang pernah populer adalah "Pribadi-Pribadi yang Berpengaruh" karena sebagian isinya diprotes oleh beberapa orang mahasiswa di Jakarta dan dikritik pedas oleh beberapa pembaca di Bandung. Selama perkuliahan yang relatif sebentar di IKIP Bandung, penulis banyak berorganisasi di Himpunan Mahasiswa dan organisasi-organisasi pemuda masjid kampus dan masjid-masjid besar di kota Bandung. Selama itu pula penulis "melahap" buku-buku agama (Islam) dan buku-buku psikologi. Tulisannya tentang psikologi populer banyak mengisi kolom-kolom pada majalah psikologi populer "Anda" antara tahun 1982-1985, di salah satu artikelnya yang diberi judul "Inginkah Anda Banyak Sahabat dan Selalu Disenangi Orang" sempat difavoritkan pembaca berdasarkan angket yang disebarkan redaksi pada tahun 1983. Mendapat diploma dari IKIP Bandung (1982), penulis mulai bertugas sebagai guru fisika dan PPKn di SMP Negeri Malingping, kabupaten Lebak, Banten Selatan (1983). Di kota kecil tersebut juga penulis mengajar sejarah dunia di Madrasah Aliyah "Mathla'ul Anwar." Dan banyak bergaul dengan para kiayi. Pada tahun 1986-1987 sempat menjadi sekretaris dan bendahara KNPI kecamatan, dan juga banyak memperbincangkan strategi politik orde baru bersama bapak mertua yang ketua komisaris Golkar. Pada tahun 1989 dialihtugaskan oleh pemerintah menjadi guru SMP Negeri Cipanas Lebak ( Dekat Jasinga-Bogor) . Kemudian pada tahun 1990-1995 diperbantukan ke SMP Muhammaddiyah I Bandung, Jawa Barat,sejak itulah resmi menjadi anggota ormas Islam Muhammadiyah dan banyak bergaul dengan para anggota majelis tablig Muhammadiyah wilayah Jawa Barat.Sejak tahun 1995 ditarik oleh Kepala SLTP Negeri 5 Bandung sebagai guru Fisika dan Matematika. Selama melaksanakan tugas sebagai pendidik penulis berusaha melengkapi diri dengan menambah ilmu pengetahuan, misalnya belajar di Universitas Terbuka jurusan Administrasi Negara tahun 1986 s.d 1989 dan Universitas Islam Nusantara (UNINUS) jurusan MIPA 1991 s.d 1996. Di antara buku yang sempat ditulis lainnya adalah " Jejak Nabi Muhammad saw.dalam Mempengaruhi Orang" ( Bintang Pelajar, 1987), "Jejak Rasulullah s.a.w. dalam Bergaul dan Mendakwahi Orang" ( Menara Kudus, 1990)", "Yang Benar tentang Yesus(terjemahan 1996)", "Aqiedah Ahlus Sunah Wal Jama'ah (terjemahan, 1996), "Ibu kota Ibu kota Islam (terjemahan, 1998). Kini masih aktif sebagai penceramah di beberapa Masjid dan aktif menjadi Ketua LSM Pendidikan "ALMA" (bhs arab: artinya air) sejak tahun 2002 sampai sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Landasan Pendidikan Akhlak Manusia Berkarakter Dalam al-Qur'an

20 Juli 2014   02:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:51 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Apabila kamu bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambah nikmat-Ku padamu. Tetapi apabila kamu kufur akan nikmat-Ku, maka ketahuilah bahwa azab-Ku amatlah pedih" (Q.S.14:7)

Ayat ini seringkali dikemukakan oleh para ustadz, da'i, kiayi dan ulama, ketika mereka memaknai arti syukur akan nikmat Allah. Tetapi sebagai seorang praktisi pendidikan, saya memaknai ayat itu agak berbeda. Sebagai guru sepertinya saya "diajari" oleh Allah tentang bagaimana caranya menghadapi para peserta didik. Bukankah harus ada keseimbangan antara reward (penghargaan) dengan punishment (hukuman) dalam mendidik?

Ayat diatas bukan saja berlaku bagi orang dewasa pada umumnya, melainkan harus diterapkan dalam pendidikan anak usia dini, artinya biarkan anak mendapat rasa senang , mendapat reward apabila melakukan perbuatan yang baik, bagus dan mulia. Dan sebaliknya biarkan anak merasa"kapok, kecewa dan menderita" ketika melakukan sesuatu yang buruk, salah dan "kurang ajar". Jadi alangkah kurang bijaksananya apabila guru mendidik para peserta didik dengan tidak menjaga keseimbangan antara reward dan punishment. Karena takut dikatakan guru yang "galak" tidak pernah menegur para peserta didik yang berbuat nakal dan menyakiti temannya. Tetapi jika anak melakukan hal-hal yang baik, dia tidak lupa memujinya, karena merasa dilihat oleh orang tuanya yang menonton diluar kelas. Ini kesalahan fatal dalam mendidik karakter siswa, sebab di masyarakat pun nanti setelah mereka dewasa, akan merasakan jika melakukan suatu perbuatan yang tidak senonoh akan mendapat sanksi dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tidak selamanya lingkungan masyarakat memuji, menyanjung dan memujanya, malahan acapkali menyakiti hati, menghina dan melecehkannya. Ini harus disadari oleh para siswa, para peserta didik ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah. Biarkan tertanam didalam dirinya sikap harus selalu berbuat baik dan benar dimanapun, supaya reward selalu mereka terima dan rasakan dalam hidup. Dan menghindarkan diri dari perbuatan kurang baik dan bahkan tercela di masyarakat agar dirinya terhindar dari punishment yang datang dari lingkungan masyarakatnya.

Jadi sekali lagi perlu dipikirkan oleh para pendidik, janganlah terpengaruh oleh para psikolog yang hanya mau memanjakan anak, yang mengganggap "buruk" pemberian punishment kepada para peserta didik. Ingat, tidak semua punishment itu "buruk". Memang tidak sama jiwa satu anak dengan anak lainnya, mungkin bagi anak yang terlalu dimanjakan, sedikit punishment saja bisa bikin dia merajuk dan ketakutan luar biasa, tetapi bagi anak lainnya yang tidak pernah dimanjakan oleh orang tuanya, dianggap angin lalu saja. Maka guru pun harus bisa bersikap beda dalam menghadapi jiwa para peserta didik.

Kalau mengutif pendapat akhli psikologi pendidikan Amerika Serikat, Benjamin Spock, yang menggambarkan adanya ketimpangan antara orang tua yang berpendidikan rendah tetapi berhasil membentuk karakter baik pada anak-anaknya yang banyak, dibandingkan dengan para orang tua yang berlatar belakang pendidikan tinggi, tetapi ternyata kurang berhasil dalam menanamkan karakter baik pada anak-anaknya yang cuma dua. Perbedaannya, kata Spock (1996), karena berbeda sikap. Para orang tua kita zaman dahulu mendidik anak dengan naluri sementara para orang tua di zaman modern mendidik anak secara theory. Artinya para orang tua zaman dulu ketika melihat putera-puterinya berbuat tidak baik, langsung dicegah dan bahkan diberi hukuman, minimal teguran. Dan ketika aputera-puterinya berbuat baik, dipujinya. dan bahkan jika tamat puasa di bulan ramadhan diberikannya baju baru lebih dari satu. Ini dilakukannya secara spontan, secara naluriyah. Sementara para orang tua zaman modern, mengikuti theori ini teori itu, anak gak boleh dimarahilah, gak boleh dilarang ini atau itulah, harus selalu dipujilah, sehingga jiwanyatidak terbiasa mengikjuti aturan norma-norma. Sehingga ketika mereka memasuki usia remaja dan/atau dewasa merasa belum siap menghadapi kenyataan hidup. Apa yang terjadi, mudah sekali frustrasi.

Penulis, sebagai praktisi pendidikan, merasakan dalam menanamkan karakter baik dan buruk sama sekali tidak ada hubungan dengan angka-angka di raport, melainkan besar sekali hubungannya dengan ungkapan rasa senang dan kurang senang yang disampaikan kepada para peserta didik, dimana mereka bisa menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya dengan sikap sang guru. Anak yang semangat, akan bertambah semangatnya jika diberi pujian. Apalagi jika ditambah dengan pemberian hadiah berupa benda berharga. Dan anak yang malas dan nakal akan berkurang kemalasan dan kenakalannya dengan diberikan teguran. Apalagi jika ditambah dengan pengurangan "uang jajan"nya, misalkan. Jadi jika Tuhan berfirman "Jika kamu bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambahkan nikmat-Ku padamu", maka guru pun bisa bilang:"Jika Engkau  belajar keras, maka aku akan tambah nilaimu." Dan jika Tuhan berfirman:"Jika kamu kufur akan nikmat-Ku, sesungguhnya azabku amatlah pedih." maka Guru pun bisa berkata:"Jika kamu malas dan tak mau belajar, maka nilaimu akan buruk."

Lihatlah dalam kehidupan msyarakat kita, banyak anak yang dimanjakan, malah sampai usia kakek-kakekpun sikap hidupnya tidak dewasa-dewasa, selalu kekanak-kanakan dan egois.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun