"Apabila kamu bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambah nikmat-Ku padamu. Tetapi apabila kamu kufur akan nikmat-Ku, maka ketahuilah bahwa azab-Ku amatlah pedih" (Q.S.14:7)
Ayat ini seringkali dikemukakan oleh para ustadz, da'i, kiayi dan ulama, ketika mereka memaknai arti syukur akan nikmat Allah. Tetapi sebagai seorang praktisi pendidikan, saya memaknai ayat itu agak berbeda. Sebagai guru sepertinya saya "diajari" oleh Allah tentang bagaimana caranya menghadapi para peserta didik. Bukankah harus ada keseimbangan antara reward (penghargaan) dengan punishment (hukuman) dalam mendidik?
Ayat diatas bukan saja berlaku bagi orang dewasa pada umumnya, melainkan harus diterapkan dalam pendidikan anak usia dini, artinya biarkan anak mendapat rasa senang , mendapat reward apabila melakukan perbuatan yang baik, bagus dan mulia. Dan sebaliknya biarkan anak merasa"kapok, kecewa dan menderita" ketika melakukan sesuatu yang buruk, salah dan "kurang ajar". Jadi alangkah kurang bijaksananya apabila guru mendidik para peserta didik dengan tidak menjaga keseimbangan antara reward dan punishment. Karena takut dikatakan guru yang "galak" tidak pernah menegur para peserta didik yang berbuat nakal dan menyakiti temannya. Tetapi jika anak melakukan hal-hal yang baik, dia tidak lupa memujinya, karena merasa dilihat oleh orang tuanya yang menonton diluar kelas. Ini kesalahan fatal dalam mendidik karakter siswa, sebab di masyarakat pun nanti setelah mereka dewasa, akan merasakan jika melakukan suatu perbuatan yang tidak senonoh akan mendapat sanksi dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tidak selamanya lingkungan masyarakat memuji, menyanjung dan memujanya, malahan acapkali menyakiti hati, menghina dan melecehkannya. Ini harus disadari oleh para siswa, para peserta didik ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah. Biarkan tertanam didalam dirinya sikap harus selalu berbuat baik dan benar dimanapun, supaya reward selalu mereka terima dan rasakan dalam hidup. Dan menghindarkan diri dari perbuatan kurang baik dan bahkan tercela di masyarakat agar dirinya terhindar dari punishment yang datang dari lingkungan masyarakatnya.
Jadi sekali lagi perlu dipikirkan oleh para pendidik, janganlah terpengaruh oleh para psikolog yang hanya mau memanjakan anak, yang mengganggap "buruk" pemberian punishment kepada para peserta didik. Ingat, tidak semua punishment itu "buruk". Memang tidak sama jiwa satu anak dengan anak lainnya, mungkin bagi anak yang terlalu dimanjakan, sedikit punishment saja bisa bikin dia merajuk dan ketakutan luar biasa, tetapi bagi anak lainnya yang tidak pernah dimanjakan oleh orang tuanya, dianggap angin lalu saja. Maka guru pun harus bisa bersikap beda dalam menghadapi jiwa para peserta didik.
Kalau mengutif pendapat akhli psikologi pendidikan Amerika Serikat, Benjamin Spock, yang menggambarkan adanya ketimpangan antara orang tua yang berpendidikan rendah tetapi berhasil membentuk karakter baik pada anak-anaknya yang banyak, dibandingkan dengan para orang tua yang berlatar belakang pendidikan tinggi, tetapi ternyata kurang berhasil dalam menanamkan karakter baik pada anak-anaknya yang cuma dua. Perbedaannya, kata Spock (1996), karena berbeda sikap. Para orang tua kita zaman dahulu mendidik anak dengan naluri sementara para orang tua di zaman modern mendidik anak secara theory. Artinya para orang tua zaman dulu ketika melihat putera-puterinya berbuat tidak baik, langsung dicegah dan bahkan diberi hukuman, minimal teguran. Dan ketika aputera-puterinya berbuat baik, dipujinya. dan bahkan jika tamat puasa di bulan ramadhan diberikannya baju baru lebih dari satu. Ini dilakukannya secara spontan, secara naluriyah. Sementara para orang tua zaman modern, mengikuti theori ini teori itu, anak gak boleh dimarahilah, gak boleh dilarang ini atau itulah, harus selalu dipujilah, sehingga jiwanyatidak terbiasa mengikjuti aturan norma-norma. Sehingga ketika mereka memasuki usia remaja dan/atau dewasa merasa belum siap menghadapi kenyataan hidup. Apa yang terjadi, mudah sekali frustrasi.
Penulis, sebagai praktisi pendidikan, merasakan dalam menanamkan karakter baik dan buruk sama sekali tidak ada hubungan dengan angka-angka di raport, melainkan besar sekali hubungannya dengan ungkapan rasa senang dan kurang senang yang disampaikan kepada para peserta didik, dimana mereka bisa menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya dengan sikap sang guru. Anak yang semangat, akan bertambah semangatnya jika diberi pujian. Apalagi jika ditambah dengan pemberian hadiah berupa benda berharga. Dan anak yang malas dan nakal akan berkurang kemalasan dan kenakalannya dengan diberikan teguran. Apalagi jika ditambah dengan pengurangan "uang jajan"nya, misalkan. Jadi jika Tuhan berfirman "Jika kamu bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambahkan nikmat-Ku padamu", maka guru pun bisa bilang:"Jika Engkau belajar keras, maka aku akan tambah nilaimu." Dan jika Tuhan berfirman:"Jika kamu kufur akan nikmat-Ku, sesungguhnya azabku amatlah pedih." maka Guru pun bisa berkata:"Jika kamu malas dan tak mau belajar, maka nilaimu akan buruk."
Lihatlah dalam kehidupan msyarakat kita, banyak anak yang dimanjakan, malah sampai usia kakek-kakekpun sikap hidupnya tidak dewasa-dewasa, selalu kekanak-kanakan dan egois.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H