Mohon tunggu...
Lala Hasrie
Lala Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

BA (Hons) International Relations and Politics | MA (Cand) Economics | DPhil (Cand) International Development

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gencatan Senjata di Gaza: Bukan Akhir namun Awal dari Penyelesaian Konflik

21 Januari 2025   06:34 Diperbarui: 21 Januari 2025   06:37 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lima hari yang lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akhirnya menyetujui kesepakatan gencatan senjata. Kesepakatan tersebut menandai berakhirnya serangan Israel terhadap Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023, dan meninggalkan secuil daerah Palestina yang menjadi rumah bagi lebih dari dua juta orang dalam reruntuhan. Dengan jumlah korban tewas resmi mendekati 47.000 dan lebih dari 110.000 orang terluka, warga Palestina di Gaza dan mereka yang peduli dengan kehidupan mereka di seluruh dunia tentu bersukacita mendengar berita tersebut.

Namun sayangnya, ini bukanlah akhir dari penderitaan Palestina. Hari-hari pasca genosida di Gaza ini tidak akan kalah dahsyatnya.

Selama 15 bulan terakhir, Israel telah mengubah daerah Palestinian enclaves yang telah lama dikepung menjadi 'gurun'; akibat dari pengeboman, penghancuran dan pembakaran sistematis dari setiap bangunan. Faktanya, pada pertengahan Desember, penilaian citra satelit UNOSAT mengungkapkan bahwa 170.812 bangunan telah hancur di Gaza sejak dimulainya serangan Israel pada Oktober 2023.

Angka ini mewakili 69% dari semua bangunan di daerah tersebut dan sekitar 245.123 unit rumah. Angka ini mencakup lebih dari 90% dari semua gedung sekolah dan setiap universitas di Gaza. Angka ini mencakup  Museum Rafah, Perpustakaan Jawaharlal Nehru di Universitas Al-Azhar, Perpustakaan Kota Gaza serta Masjid Agung Gaza dan Gereja Saint Porphyrius. Angka ini mencakup sebagian besar rumah sakit di Gaza dan hampir 70% pusat kesehatannya.

Citra satelit juga menunjukkan bahwa 70% infrastruktur pertanian Gaza telah hancur secara sistematis dalam perang, baik karena penembakan atau karena beban kendaraan militer yang berat. Akibatnya, produksi pangan di Gaza telah mencapai titik teendah sepanjang tahun 2024. Seluruh penduduk daerah itu kini mengalami kerawanan pangan dan sebagian besar menghadapi "tingkat kelaparan yang sangat kritis.

Pada bulan April 2024, penilaian bersama Bank Dunia dan PBB menunjukkan bahwa 92% jalan utama Gaza rusak atau hancur. Setidaknya 75 % infrastruktur telekomunikasi rusak atau hancur. Perusahaan Distribusi Listrik Gaza dilaporkan telah kehilangan 90% mesin dan peralatannya hingga mengalami kerugian sebesar $450 juta.

Pada bulan-bulan terakhir kampanye militer Israel, hanya satu dari tiga pabrik desalinasi yang beroperasi; menjadikannya penyedia 7%  dari kebutuhan pasokan air di Gaza. Selain itu menurut Oxfam, semua pabrik pengolahan air limbah dan sebagian besar stasiun pemompaan limbah di Gaza terpaksa tutup karena 'blokade bahan bakar dan listrik' yang diberlakukan Israel.

Namun begitu, tragedi sesungguhnya di sini bukanlah infrastruktur, jalan, dan bangunan yang hancur. Apa yang kita saksikan di Gaza adalah kehancuran dari seluruh aspek masyarakatnya. Israel tidak hanya menghancurkan lingkungan namun juga mencabik-cabik tatanan kehidupan sosial, budaya, intelektual, dan ekonomi Gaza hingga berkeping-keping.

Jumlah korban tewas resmi dari operasi militer Israel di Gaza telah mendekati 50.000 orang -- ini merupakan angka yang sangat menyedihkan. Namun, kemungkinan besar jumlah tersebut jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Para pejabat di Gaza sudah lama kehilangan kemampuan untuk menghitung jumlah korban tewas secara akurat. Kita tahu bahwa ribuan orang kemungkinan masih tertimbun reruntuhan. Pada bulan Juni 2024, sebuah studi yang diterbitkan oleh Lancet memperkirakan bahwa jumlah korban tewas sebenarnya dari serangan Israel di Gaza bisa mencapai lebih dari 186.000 orang. Lebih dari enam bulan kemudian, jumlah korban tewas kini tidak diragukan lagi jauh melampaui perkiraan tersebut.

Di antara mereka yang tewas dalam pembantaian itu adalah seniman dan penulis, seperti Walaa al-Faranji, yang tewas dalam serangan udara pada Desember 2024. Ada penyair seperti Refaat Alareer -- suara generasi dan simbol perlawanan dan ketahanan yang dihormati, yang tewas dalam apa yang tampak seperti serangan udara yang ditargetkan pada Desember 2023.

Di antara yang tewas, ada juga ribuan guru sekolah, profesor universitas, dan mahasiswa -- anak-anak dan kaum muda yang seharusnya membangun masa depan Gaza.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun