Mohon tunggu...
Lala Hasrie
Lala Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

BA (Hons) International Relations and Politics | MA (Cand) Economics | DPhil (Cand) International Development

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bangkitkan Industri Manufaktur, Selamatkan Kelas Menengah

15 Januari 2025   10:28 Diperbarui: 16 Januari 2025   05:22 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagai negara berkembang dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar. Namun dalam beberapa dekade terakhir, banyak tantangan yang dihadapi oleh ekonomi RI, terutama terkait dengan keberlanjutan dan kesejahteraan kelas menengah. Kelas menengah Indonesia, yang sering dianggap sebagai pilar ekonomi negara, kini menghadapi tekanan akibat ketimpangan pendapatan, ketergantungan pada sektor konsumsi, dan terbatasnya kesempatan pekerjaan berkualitas. Salah satu solusi yang dapat mengatasi masalah ini adalah dengan menghidupkan kembali industri manufaktur.

Pentingnya Kelas Menengah untuk Perekonomian Indonesia

Kelas menengah memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah di Indonesia diperkirakan mencapai 52% dari total populasi pada tahun 2020. Artinya, sekitar 140 juta orang Indonesia masuk dalam kategori kelas menengah, yang menjadi konsumen utama yang mendukung permintaan domestik, sekaligus menjadi sumber utama tenaga kerja yang terampil di sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan teknologi. Namun, meskipun kelas menengah mengalami pertumbuhan, ketimpangan pendapatan tetap menjadi masalah utama yang harus diatasi.

Menurut data Bank Dunia, sekitar 10% dari populasi Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan meskipun ada ekspansi kelas menengah, ketimpangan pendapatan (dapat diukur melalui indeks Gini) tetap cukup tinggi, yakni sekitar 0,38 pada 2020, dengan angka 0 berarti kesenjangan pendapatan yang sempurna (semua orang memiliki pendapatan yang sama) dan 1 berarti ketimpangan yang ekstrem (satu orang menguasai seluruh pendapatan). Menghidupkan kembali industri manufaktur dapat menjadi jalan keluar untuk memastikan keberlanjutan kelas menengah ini. Sebab, sektor manufaktur adalah sektor yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, mengurangi ketergantungan pada sektor konsumsi, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Mengapa Industri Manufaktur?

Industri manufaktur memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih stabil dan berkualitas. Pada 2019, sektor manufaktur di Indonesia menyumbang sekitar 19,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang setara dengan Rp 2.636 triliun (BPS). Angka ini menurun dari kontribusi sekitar 25% pada dekade sebelumnya, yang menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam sektor ini. Meskipun kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia masih cukup besar, penurunan tersebut mencerminkan kurangnya inovasi dan investasi dalam sektor ini, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan kelas menengah.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa industri manufaktur pernah menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi. Pada era 1980-an dan 1990-an, sektor manufaktur Indonesia tumbuh pesat, menyumbang sekitar 25% dari PDB negara. Namun, seiring dengan berkembangnya sektor jasa dan konsumsi, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia menurun menjadi sekitar 20% pada 2020 (BPS). Penyebab utama penurunan ini adalah globalisasi dan pergeseran teknologi, yang mendorong perusahaan-perusahaan manufaktur lebih memilih outsourcing ke negara-negara dengan biaya produksi yang lebih rendah. Indonesia, dengan upah tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara seperti Vietnam, China, dan Bangladesh, sering kali kehilangan peluang investasi manufaktur. Namun, dengan perencanaan yang tepat dan kebijakan yang mendukung, Indonesia memiliki potensi untuk kembali menjadi pusat manufaktur di kawasan Asia Tenggara.

Peningkatan Lapangan Kerja dan Daya Saing Ekonomi

Salah satu alasan utama menghidupkan kembali sektor manufaktur adalah penciptaan lapangan kerja. Sektor manufaktur di Indonesia saat ini menyerap sekitar 17,5 juta pekerja, atau sekitar 15,5% dari total angkatan kerja, menurut data BPS. Sektor ini masih dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja jika diberikan insentif yang tepat dan peningkatan kualitas pendidikan vokasi.

Sektor manufaktur juga dapat berperan dalam memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia. Menurut World Economic Forum (WEF), negara dengan sektor manufaktur yang kuat cenderung memiliki daya saing yang lebih tinggi dalam pasar global. Misalnya, China dan Vietnam telah berhasil membangun basis manufaktur yang kuat, menjadikannya pusat produksi global. Vietnam, dengan populasi yang jauh lebih kecil daripada Indonesia, telah meningkatkan kontribusi manufakturnya ke hampir 16% dari PDB negara pada 2020, dan berhasil menarik investasi asing dalam jumlah besar, dengan arus masuk USD 16,1 miliar pada 2019, jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya menerima USD 9,9 miliar pada tahun yang sama.

Dengan mendirikan lebih banyak pabrik, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) yang akan meningkatkan teknologi, keterampilan tenaga kerja, dan kapasitas produksi dalam negeri. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia dapat tumbuh lebih dari 6% per tahun jika mendapatkan dukungan kebijakan yang tepat, dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia yang diperkirakan hanya sekitar 5% dalam beberapa tahun mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun