Mohon tunggu...
Nabila Aulia Hasrie
Nabila Aulia Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

BA (Hons) - Queen's University of Belfast, the UK MA - Columbia University, the US

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengevaluasi Kebijakan Proteksionis di Indonesia: Penyaringan PMA, Kontrol Perdagangan Strategis dan Rantai Pasok

29 Oktober 2024   03:31 Diperbarui: 29 Oktober 2024   03:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi geografis yang strategis dengan akses ke Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Negara ini kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak kelapa sawit; minyak bumi; dan logam seperti bauksit, nikel, tembaga, emas, dan perak. Geografi dan sumber daya Indonesia telah menentukan perkembangannya, yang telah berkembang pesat sejak kontraksinya selama Krisis Keuangan Asia tahun 1997. Saat ini, Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Sebagai salah satu anggota pendiri gerakan non-blok selama Perang Dingin, Indonesia sekali lagi menemukan dirinya di tengah-tengah persaingan kekuatan besar, kali ini antara Amerika Serikat dan Cina. Sama seperti yang dilakukan Indonesia selama era persaingan kekuatan besar terakhir, Indonesia berupaya mempertahankan tingkat otonomi strategis, memanfaatkan kedua kekuatan besar tersebut untuk keuntungannya sendiri. Selain itu, sebagian besar kebijakan luar negeri Indonesia secara historis didorong oleh kekhawatiran yang berpusat di sekitar legitimasi domestik pemerintah. Ciri-ciri kebijakan luar negeri dan pemikiran strategis Indonesia ini terbukti dalam interaksi dan hubungannya dengan Washington dan Beijing. Ketika ketegangan antara Jakarta dan Beijing meningkat akibat sengketa maritim - seperti selama sengketa Laut Natuna - Indonesia berupaya meningkatkan kerja sama militer dengan Amerika Serikat. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Jakarta mengalihkan perhatiannya ke Tiongkok, mitra dagang terbesarnya dan mitra investasi terbesar kedua. Indonesia juga merupakan simpul utama dalam komponen maritim Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) Beijing, yang menerima dana untuk berbagai proyek termasuk pembangunan jalur kereta api berkecepatan tinggi dan pembangkit listrik tenaga air.

Penyaringan Penanaman Modal Asing
Sebagai peserta aktif di forum internasional, Indonesia rentan terhadap proteksionisme dan ketidakpastian aturan hukum. Secara khusus, investor asing telah lama mengeluhkan lemahnya penegakan kontrak di Indonesia, yang telah mempersulit lingkungan bisnis dan melemahkan investasi. Ketika Presiden Joko "Jokowi" Widodo, seorang politikus 'baru', berkuasa pada tahun 2014, ia menjanjikan reformasi yang akan meningkatkan investasi dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Untuk mencapai tujuan ini, Presiden Jokowi telah menjalankan agenda deregulasi. Hal-hal yang ditekankan daripada agenda ini adalah Omnibus Law 2020, yang antara lain menghapuskan daftar negatif investasi Indonesia, mereformasi undang-undang ketenagakerjaan, dan mempermudah pendaftaran bisnis. Menurut indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia yang sekarang sudah tidak berlaku lagi, Indonesia telah naik 42 peringkat dalam peringkat dunia, dari peringkat 114 ke peringkat 72, selama masa jabatan Jokowi. Namun begitu, banyak pengamat kecewa dengan lambatnya reformasi dan kemunduran demokrasi yang juga terjadi di bawah kepresidenan Jokowi. Indonesia tidak memiliki mekanisme formal untuk menyaring investasi asing berdasarkan dampaknya terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, investasi asing dilarang di tujuh sektor dan investasi terkait pertahanan tertentu dibatasi hanya untuk pemerintah Indonesia. Pada tahun 2020, Indonesia berupaya menyederhanakan proses perizinan usaha dengan membuat aplikasi daring dan beralih ke "pendekatan berbasis risiko". Akan tetapi, prosedur perizinan yang disederhanakan tidak menyaring risiko keamanan nasional. Sebaliknya, aktivitas bisnis diurutkan ke dalam kategori risiko tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya. Meskipun demikian, ada tanda-tanda bahwa Indonesia khawatir tentang dampak investasi Tiongkok terhadap keamanan nasionalnya. Misalnya, Undang-Undang Omnibus 2020 membentuk dana kekayaan negara Indonesia, Otoritas Investasi Indonesia (INA). Dengan misi berinvestasi dalam proyek infrastruktur, INA telah menerima komitmen dari beberapa investor asing, termasuk Bank Jepang untuk Kerja Sama Internasional. Akan tetapi, Tiongkok tampak absen, kemungkinan karena takut Tiongkok akan menguasai infrastruktur penting. Meskipun demikian, Tiongkok memandang Indonesia sebagai mitra ekonomi yang penting, dan investasi antara kedua negara Indo-Pasifik terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun ada perselisihan maritim dan kekhawatiran keamanan yang mungkin dialami Indonesia. Investor Tiongkok khususnya tertarik pada pertambangan nikel Indonesia, yang digunakan dalam pembuatan baterai lithium-ion. Sebagai tujuan utama proyek BRI, Indonesia telah berupaya untuk menuliskan ketentuan dalam kontrak yang akan melindungi dari praktik peminjaman yang tidak adil dari Tiongkok. Akan tetapi, efektivitas perlindungan ini masih diragukan. Misalnya, pemerintah Indonesia berjanji bahwa tidak akan ada dana publik yang digunakan untuk mendanai Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sebuah proyek BRI, tetapi kelebihan biaya mendorong pemerintah untuk mengubah posisinya.

Kontrol Perdagangan Strategis
Langkah-langkah kontrol ekspor Indonesia adalah yang paling tidak selaras dengan norma-norma global. Indonesia bukan anggota rezim kontrol ekspor multilateral mana pun, dan juga tidak memiliki daftar pembatasan barang-barang penggunaan ganda. Penolakan terhadap kontrol perdagangan strategis muncul karena kekhawatiran bahwa kontrol penggunaan ganda yang dikembangkan oleh negara-negara maju bersifat diskriminatif terhadap negara-negara berkembang dan dapat menghambat akses Indonesia ke teknologi penggunaan ganda. Selain itu, Jakarta percaya bahwa kepatuhannya terhadap perjanjian nonproliferasi yang mengatur senjata pemusnah massal (WMD), seperti Perjanjian Nonproliferasi Nuklir, cukup menjawab kekhawatiran masyarakat internasional mengenai hal ini.

Pemerintah Indonesia justru memanfaatkan kontrol perdagangan untuk memajukan tujuan ekonomi domestik. Kontrol ekspor pada komoditas, misalnya, telah digunakan untuk memberi insentif bagi pengembangan sektor pemrosesan komoditas hilir. Strategi ini dapat ditelusuri hingga tahun 2009, ketika Indonesia mengadopsi kebijakan ekspor baru yang memberi insentif kepada perusahaan pertambangan untuk membangun peleburan di dalam negeri dengan melarang ekspor bijih logam tertentu yang belum diolah setelah tahun 2014. Larangan ekspor tersebut dilonggarkan pada tahun 2017, karena tekanan domestik dari industri pertambangan, tetapi diberlakukan kembali pada tahun 2020. Presiden Jokowi percaya bahwa kelimpahan sumber daya Indonesia memberi negara kepulauan itu daya ungkit yang diperlukan untuk menarik perusahaan asing agar memindahkan manufaktur ke Indonesia untuk mendapatkan akses ke deposit mineral dan logamnya, yang memungkinkan Indonesia untuk naik ke rantai nilai manufaktur dengan cara yang mengingatkan pada harimau Asia Timur.

Selain menggunakan kontrol ekspor untuk mendorong Indonesia naik ke rantai nilai, Presiden Jokowi, yang memperjuangkan dirinya sebagai nasionalis sumber daya, juga memandang kontrol perdagangan sebagai sarana untuk mencapai swasembada, terutama di sektor pertanian. Untuk tujuan ini, pemerintahnya sebelumnya telah memberlakukan larangan impor beras untuk menaikkan harga domestik dan memacu produksi. Demikian pula, awal tahun ini, karena khawatir akan potensi pemadaman listrik, pemerintah Indonesia bergerak untuk melarang ekspor batu bara untuk menopang pasokan domestik. Di tengah wabah Covid-19, Indonesia, sebagaimana negara-negara berkembang di Asia lainnya, juga memberlakukan larangan ekspor sementara untuk alat pelindung diri tertentu.

Iklim Rantai Pasok
Meskipun menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global masih kurang mengesankan dibandingkan dengan ekonomi di sekitarnya, khususnya Vietnam. Seperti Vietnam dan India, Indonesia telah berupaya memanfaatkan perang dagang AS-Tiongkok dan upaya perusahaan multinasional berikutnya untuk mengurangi risiko rantai pasokan mereka dengan melakukan diversifikasi dari Tiongkok, dan partisipasi Indonesia dalam rantai pasokan terus meningkat. Namun, peraturan investasi dan ketenagakerjaan yang memberatkan di Indonesia pada awalnya menggagalkan upaya pemerintah untuk menarik bisnis yang pindah. Setelah upaya pemerintah pada tahun 2020 untuk menyederhanakan proses persetujuan investasi asing, Indonesia lebih berhasil membujuk perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengalihkan sebagian produksi dari Tiongkok ke negara kepulauan tersebut.

Ke depannya, cadangan nikel Indonesia --- yang terbesar di dunia --- menunjukkan posisi sentral dalam rantai pasokan baterai. Pemerintah Indonesia memang berambisi menjadi produsen baterai kendaraan listrik terkemuka pada tahun 2030. Pemerintah telah mendirikan perusahaan induk milik negara, Indonesia Battery Corporation, untuk mengawasi dan mengelola pengembangan industri, termasuk koordinasi dengan investor asing. Sejauh ini, Indonesia telah mendapatkan investasi dari perusahaan-perusahaan seperti Toyota dari Jepang, Hyundai dan LG Energy Solution dari Korea Selatan, serta CATL dan GEM dari Tiongkok. Meskipun Indonesia juga telah mengisyaratkan kemungkinan investasi dari Tesla di AS, sejauh ini hal itu belum terwujud.

Saran Terhadap Pemerintah
Indonesia menimbulkan tantangan terbesar bagi Amerika Serikat dan sekutunya terkait kebijakan yang dibahas dalam laporan ini. Sikap skeptis Jakarta terhadap kontrol teknologi penggunaan ganda menimbulkan risiko bahwa barang-barang sensitif akan jatuh ke tangan yang salah, terutama karena Indonesia diproyeksikan akan naik ke posisi yang lebih tinggi pada rantai pasok di beberapa sektor ber-penggunaan ganda. Namun, mengingat komitmen negara terhadap kebijakan luar negeri yang tidak berpihak, seruan untuk mencegah kebocoran teknologi penggunaan ganda ke Tiongkok kemungkinan tidak akan mendapat tanggapan. Sebaliknya, sekutu harus menyampaikan kepada Jakarta bahwa kebijakan keamanan ekonomi yang lebih kuat akan mengatasi kekhawatiran tentang aktor non-negara dan keamanan domestik dan regional. Selain itu, kontrol ekspor yang lebih kuat dapat menarik FDI yang saat ini hilang dari Indonesia ke negara-negara seperti Vietnam dan India.

Kurangnya kontrol ekspor Indonesia terhadap teknologi penggunaan ganda juga berpotensi menguntungkan perusahaan Tiongkok dibandingkan perusahaan dari negara-negara sekutu, karena perusahaan Tiongkok tidak akan terlalu khawatir akan potensi kebocoran teknologi penggunaan ganda kepada pihak-pihak yang jahat. Dinamika serupa terjadi dengan penggunaan kontrol ekspor proteksionis Indonesia untuk memajukan sektor manufakturnya. Perusahaan-perusahaan negara sekutu mungkin akan menolak keras masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang ditimbulkan oleh kebijakan yang mengharuskan bijih-bijih nikel dimurnikan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan Tiongkok, sekali lagi, mungkin tidak akan begitu terkekang. Negara-negara sekutu tentunya harus mendorong pemerintah Indonesia untuk melanjutkan agenda deregulasinya, sehingga memudahkan investasi asing untuk memasuki pasar. Sementara keputusan Indonesia untuk mengecualikan investor Tiongkok dari dana kekayaan negara yang baru dibuatnya menunjukkan bahwa para pejabat setidaknya sudah sedikit lebih waspada terhadap Tiongkok untuk mencegah mereka mendapat kendali atas infrastruktur penting. Apalagi mengingat Indonesia terus meminta dana BRI dari Beijing, yang menimbulkan kekhawatiran tentang praktik pinjaman yang 'menjebak' serta fakta akan perusahaan-perusahaan Tiongkok yang kian hari kian mengendalikan pasokan mineral penting. Selain itu, negara-negara maju oleh karena itu harus terus fokus pada penawaran investasi infrastruktur alternatif berstandar tinggi jika memungkinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun