Politik Internal Golkar
Dalam perkembangan terkait, diskursus dalam konteks Partai Golkar belakangan ini telah mensinyalir peningkatan probabilitas Jokowi dalam pencalonan diriny sebagai kepala pos pelindung partai. Dave Laksono, anggota terkemuka kepemimpinan Golkar, mengatakan tidak ada larangan terhadap siapa pun, termasuk Jokowi, untuk mencari posisi tersebut.
Spekulasi ini menambah lapisan lain pada kekhawatiran tentang semakin kuatnya keluarga Jokowi dalam politik Indonesia, menandakan potensi pergeseran dinamika kekuasaan di salah satu partai politik paling berpengaruh di negara itu. Dave mempertanyakan masalah apa yang akan terjadi jika Jokowi menjadi 'patron' utama Golkar, yang selanjutnya menunjukkan normalisasi gerakan semacam itu dalam lanskap politik Indonesia.
Kritikus berpendapat bahwa tindakan ini mengikis prinsip demokrasi yang pernah diperjuangkan Jokowi. Aliansi strategis dengan Prabowo, mantan menantu Soeharto, dan orkestrasi pendakian politik Gibran dipandang sebagai langkah untuk memperkokoh kedudukan keluarga Jokowi di dalam lingkar elit politik Indonesia. Pergeseran ini mencerminkan tren yang lebih luas dalam politik Indonesia di mana pengaruh pribadi dan ikatan keluarga sering kali lebih besar daripada kesetiaan partai atau konsistensi ideologis dan tentu saja tidak mendukung prinsip-prinsip dasar demokrasi dan pemerintahan yang bersih.
Politik klientelisme sendiri merusak pengembangan dan efektivitas lembaga demokrasi; ketika para pemimpin politik memprioritaskan kesetiaan daripada prestasi, maka penunjukan individu yang tidak memenuhi syarat ke posisi kunci dalam lembaga pemerintah, peradilan, dan perusahaan milik negara dapat menurunkan kualitas dari masing-masing institusi. Ini melemahkan kapasitas lembaga-lembaga ini untuk berfungsi secara efektif, karena keputusan dibuat berdasarkan perhitungan politik daripada kepentingan publik dan menurunnya nilai-nilai meritokratis yang adil.
Legislasi Klientelis
Selain itu, patronase-klientelisme mendistorsi proses legislatif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, mungkin lebih cenderung mendukung kebijakan dan undang-undang yang menguntungkan pelanggan (klien) mereka daripada konstituen mereka. Ini menciptakan lingkungan legislatif di mana undang-undang dibuat untuk melayani kepentingan segelintir orang daripada populasi yang lebih luas --- merusak prinsip demokrasi representatif.
Dalam demokrasi yang sehat, pemilihan umum adalah mekanisme utama di mana warga negara dapat meminta pertanggungjawaban pemimpin mereka. Namun, dalam sistem yang didominasi oleh tokoh-tokoh yang saling terikat dalam suatu hubungan patronase-klientelisme, pemilu dapat menjadi formalitas belaka, karena distribusi sumber daya dan bursa pencalonan. Kandidat dengan akses ke jaringan patronase seringkali dapat mengamankan kemenangan pemilu tidak berdasarkan platform atau kompetensi mereka, tetapi pada kemampuan mereka untuk memberikan manfaat material kepada pemilih.
Dinamika ini mencabut hak pilih pemilih, terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, karena mereka mungkin merasa terdorong untuk memilih kandidat yang menawarkan manfaat jangka pendek daripada mereka yang benar-benar mewakili kepentingan mereka. Seiring waktu, ini mengikis proses demokrasi, karena pemilihan menjadi kurang tentang ide-ide yang bersaing dan lebih banyak tentang distribusi rampasan.
Politik patronase-klientelisme yang dinormalisasi juga memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Sumber daya yang harusnya dialokasikan berdasarkan kebutuhan dan efisiensi malah didistribusikan berdasarkan loyalitas politik semata. Hal ini menyebabkan konsentrasi kekayaan dan peluang di tangan beberapa orang, sementara sebagian besar populasi tetap terpinggirkan. Kesenjangan antara elit politik dan warga biasa melebar, yang mengarah pada kebencian publik terhadap pemerintah dan merusak kohesi sosial antar golongan ekonomi. Di daerah di mana politik patronase-klientelisme sangat mengakar, pembangunan seringkali condong untuk menguntungkan mereka yang terhubung dengan elit politik, sementara daerah pedesaan dan komunitas yang terpinggirkan akan tetap termarjinalkan.
Mengatasi bahaya politik klientelis dalam demokrasi Indonesia membutuhkan pendekatan multi-dimensi. Memperkuat supremasi hukum dan kemandirian lembaga seperti KPK sangat penting selain dari upaya untuk mereformasi pembiayaan partai politik dan memastikan transparansi yang lebih besar dalam kontrak pemerintah serta proyek pengadaan.