Mohon tunggu...
Nabila Aulia Hasrie
Nabila Aulia Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

Mahasiswi Hubungan Internasional dan Politik. Hobi membaca sejarah dan berwisata kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penambahan Jumlah Komando Daerah Militer dikritik, UU TNI Justru direvisi?

11 Juni 2024   00:13 Diperbarui: 11 Juni 2024   00:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Panglima TNI (Tentara Nasional Indonesia) Jenderal Agus Subiyanto menyampaikan pada bulan Maret 2024 lalu, bahwa pihak Mabes TNI akan berencana menambah jumlah kodam (Komando Daerah Militer) dari 15 menjadi 37 di seluruh Indonesia. Wacana ini tentunya memantik kontroversi dan kritik dari sejumlah kalangan, terutamanya kelompok aktivis demokrasi karena dianggap dapat mengancam kebebasan sipil.

Pihak-pihak yang kontra terhadap keputusan ini memang rasional. Hal ini mengingat banyaknya problematika yang dapat muncul bilamana rencana ini betul-betul diwujudkan. Dengan itu, penulis hendak memaparkan 6 kritik dasar dari agenda ini dan apa yang pemerintah, spesifiknya para petinggi TNI bisa lakukan untuk memastikan bahwa TNI dapat terus menjadi garda terdepan dalam pertahanan kedaulatan negara dan perlindungan warga sipil dari pihak-pihak asing yang mungkin dapat mengancam keamanan publik. Ini penting, mengingat tanggung jawabnya sebagai pihak yang dimaksudkan untuk mengayomi rakyat, dan bukan semerta-merta sebuah institusi yang memprioritaskan kepentingan golongan tertentu. Beberapa kritik tersebut antra lain:

1. Mismanajemen Akademi Militer
Biang dari 1001 masalah dalam tubuh baik TNI maupun POLRI ialah manajemen ihwal penerimaan CASIS Akmil dan Akpol. Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya, jika kedua institusi pendidikan ini yang awalnya elit secara akademik justru telah bermetamorfosis menjadi ladang komersialisasi. Bukannya menerima calon taruna atau taruni terbaik, Akmil justru mematok tarif biaya yang tinggi bagi para pendaftar untuk bisa mendapatkan kursi. Banyaknya orang kaya yang mampu membayar angka tinggi ini membuka pintu akses ke dalam institusi Akademi Militer selebar-lebarnya untuk mereka yang tidak punya kompetensi akademik dan kapasitas fisik yang cukup, namun beruntung dapat terlahir sebagai bagian dari keluarga yang berstatus ekonomi di atas rata-rata. Tingginya jumlah siswa yang diterima menandakan tingginya jumlah perwira yang akan lahir dalam beberapa tahun kedepan. Ini yang kemudian memunculkan fenomena yang saat ini tengah muncul pada institusi militer; surplus PATI (Perwira Tinggi) dan PAMEN (Perwira Menengah), terutamanya mereka yang berpangkat kolonel dan brigadir jenderal. Sementara itu, jumlah PATI dan PAMEN yang kian meningkat tidak sinkron dengan jumlah pos jabatan yang eksis. Ketidaksinkronan ini menyebabkan penciptaan jabatan-jabatan baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dalam hal ini, ide penambahan jumlah kodam mencapai 140% dari jumlah awal dapat diinterpretasi sebagai suatu usaha untuk membuka posisi jabatan baru bagi para PATI dan PAMEN yang belum mengemban posisi jabatan apapun.

2. Kesalahan Tata Kelola Anggaran: Jabatan Panglima Kodam Nir-Esensi
Penambahan kodam menjadi 37 dapat dipastikan tidak efektif. Sejauh ini, Indonesia memiliki 15 komando wilayah militer, dimana hal ini terbukti membebani APBN. Jikalau jumlah ini ditambah, dimana satu kodam dibangun di masing-masing provinsi, jumlah anggaran yang amat besar dibutuhkan untuk melengkapkan satpur, satbanpur, satbanmin, dll. Selain itu, jabatan pangdam adalah posisi 'di belakang meja' yang yang kental akan praktik 'basah'nya. Alokasi para perwira ke posisi-posisi ini hanya akan menjadi pemborosan anggaran dan menciptakan lahan korupsi baru, baik dalam proses pembangunan kodamnya maupun dalam operasi sehari-hari pasca dimanifestasikannya rencana ini.

3. Urgensi Peningkatan Kualitas Militer RI
Anggaran untuk membangun kodam harusnya bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih esensial misalnya pembambahan jumlah batalyon, memperbanyak pelatihan dan meningkatkan kualitas pelatihan untuk para prajurit, pembelian alutsista, serta penguatan perbatasan negara. Secara spesifik, hal ini dapat dicapai melalui peningkatan jumlah brigade infantri marinir dan kostrad, mengingat tingginya tingkat mobilitas dan fleksibilitas mereka yang akan sangat membantu dalam keadaan genting. Ini krusial, karena dapat memastikan perlindungan atas kedaulatan negara dan mencegah pihak-pihak asing yang berniat buruk terhadap keamanan RI. Apalagi dewasa ini, iklim politik global sedang tidak stabil; banyak konflik yang meletus di hampir seluruh bagian bumi mulai dari konflik Rusia-Ukraina hingga konflik di seluruh penjuru Timur Tengah.

4. Pemerintah Salah Target?
Yang paling mengherankan dan ironis dari wacana ini sebetulnya terletak pada pihak-pihak yang mungkin akan terdampak. Jika pada poin sebelumnya penulis menyarankan pemerintah untuk memperkuat pertahanan RI dalam mencegah pihak-pihak asing menyerang kemerdekaan maupun mengintervensi urusan dalam negeri Indonesia, yang akan terdampak dalam pendirian kodam justru bukanlah pihak asing melainkan rakyat Indonesia sendiri. Alih-alih fokus mewaspadai negara asing yang berpotensi mengancam Indonesia seperti Tiongkok, negara justru mewaspadai rakyatnya sendiri. Negara kita yang berbentuk maritim serta mayoritas dari garis perbatasan wilayah kita yang berada di laut artinya anggaran militer lebih baik dialokasikan untuk TNI AU dan TNI AL. Sementara kodam, beserta korem dan koramil lebih baik dihapuskan. Tugas kemanan ketiga institusi tersebut dapat sebagai gantinya diserahkan ke pihak POLRI, terutama di daerah perkotaan.

5. Terancamnya Supremasi Sipil
Dalam diskursus mengenai TNI AD, akan muncul persepsi dari masyarakat mengenai kembalinya praktik dwifungsi TNI. Militerisme adalah nilai yang mengkhianati cita-cita reformasi, sehingga tidak cocok dengan demokrasi yang digembar-gemborkan oleh para petinggi negara. Penunggangan militer untuk kendaraan politik sendiri sebenarnya sudah dapat diendus melalui kalimat Jokowi yang mengatakan bahwa dia berharap TNI dapat 'manunggal' dengan rakyat, dimana ia mengimplikasikan bahwa terdapat dalam dirinya suatu keinginan untuk menegaskan program TMMD (Tentara Manunggal Membangun Desa) sebagai wajah baru AMD (ABRI Masuk Desa) yang sempat suskes di zaman Orde Baru.

6. Revisi UU TNI: Mesin Pembunuh Demokrasi
Selain itu, pada bukan Mei 2023 lalu, pemerintah sendiri sudah membahas mengenai UU ASN dan Revisi UU TNI yang akan memperbolehkan anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil. Kini, DPR RI masih sibuk dalam penyusunan revisi tersebut, dimana sejumlah pasal yang diajukan dianggap dapat melukai wajah demokrasi di panggung perpolitikan Indonesia. Betul bahwasannya, jika Revisi UU TNI dapat mengekang kebebasan sipil. Setidaknya ada sejumlah poin bermasalah dalam revisi UU TNI, di antaranya terkait soal perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut dinilai membahayakan demokrasi lantaran militer bisa digunakan untuk menghadapi masayrakat jika dinilai menjadi ancaman negara. Penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 18 dianggap banyak pihak dapat melemahkan profesionalisme TNI yang seharusnya fokus pada tugas militer. Jabatan baru tersebut termasuk Staf Presiden, Kemenko Maritim dan Investasi, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Penanggulangan Bencana, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan. Selain itu, poin lain yang juga disorot adalah perluasan dan penambahan jenis operasi militer selain perang, yang meningkat menjadi 19 dari sebelumnya 14. Isu lain yang menjadi perhatian adalah perpanjangan usia pensiun prajurit dari 58 tahun menjadi 60 tahun.

Lantas, jikalau publik tidak menunjukan respons positif terhadap penambahan jumlah Komando Daerah Militer, maka apa alasan dibalik diamandemennya UU TNI, yang justru, menimbulkan lebih banyak masalah di tubuh TNI yang bahkan berpotensi berdampak buruk bagi kebebasan sipil? Jikalau pemerintah gagal menerima oposisi dari masyarakat mengenai agenda penambahan jumlah Kodam dan justru memperburuk persepsi masyarakat terhadap lembaga militer Indonesia, bukankah itu berarti negera tak lagi terbuka terhadap kritik dan saran dari publik?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun