Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, sudah sepatutnya Indonesia meningkatkan kekuatan pertahanan dan keamanannya demi menjaga kedaulatan negara. Apalagi, belakangan ini sering terjadi konflik di wilayah perbatasan akibat penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh kapal asing berbendera Vietnam, Malaysia, China, dan beberapa negara lainnya yang dengan sengaja merampas SDA Indonesia.Â
Selain itu, konfrontasi yang dilakukan Negara Tiongkok atas sengketa Laut Cina Selatan dengan mengirimkan beberapa kapal perang di wilayah perbatasan laut Indonesia berpotensi menyebablan perlawanan militer terbuka bagi negara-negara yang berkepentingan di dalamnya. Hal ini semakin menegaskan pentingnya kekuatan senjata militer bagi pertahanan dan keamanan bangsa; utamanya untuk mengantisipasi konflik di kawasan Asia Tenggara dengan memperkuat persenjataan militer Tentara Nasional Indonesia (TNI). Indonesia hingga kini terus memperkuat pertahanan militernya di bawah komando Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pada tahun 2022 lalu, Indonesia menandatangani kontrak pembelian salah satu jenis pesawat tempur tercanggih di dunia untuk meningkatkan pertahanan dan menjaga kedaulatan udara Indonesia. Wilayah udara merupakan salah satu pertahanan terpenting dalam pertahanan militer. Dari pemberitaan kunjungan kerja Menteri Pertahanan Prabowo, Dassault Rafale multirole generasi 4.5 asal Perancis serta pesawat F-15EX asal Amerika Serikat merupakan kandidat-kandidat dalam proses pengambilan keputusan di tubuh Kementerian Pertahanan pada saat itu. Indonesia pada akhirnya membeli 42 pesawat Rafale sekaligus pemilik 8 F-15EX.Â
Walau begitu, pembelian 42 pesawat tempur Rafale oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada awal tahun 2022 menuai pro dan kontra. Memang, membeli pesawat tempur baru merupakan pilihan strategis politik-militer yang kompleks. Keputusan ini tentu saja bukan sekadar pembelian keberanian, melainkan demi pertahanan dan keamanan negara. Jika tidak digunakan untuk aktif berperang, maka keberadaannya harus tetap efektif memberikan dampak positif terhadap pertahanan dan keamanan negara.Â
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dalam rencana tersebut untuk pengadaan pesawat tempur Dassault Rafale untuk Indonesia, dimana penulis memakai kacamata positif terhadap hal ini. Bahwa, terlepas dari penilaian negatif penulis terhadap kinerja keseluruhan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju, keputusan Prabowo untuk membeli pesawat tempur Rafale ini tetap patut untuk diacungkan jempol.
Performa Dassault Rafale
Sekjen Kemenhan Marsdya Donny Ermawan Taufano dalam webinar 'Menyambut Pesawat Rafale' mengatakan, Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 yang berusia lebih dari 30 tahun. Sedangkan 16 pesawat tempur Sukhoi Su 27 dan Su 30 berusia hampir 20 tahun. Dengan kondisi seperti ini, maka menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur yang akan bertugas pada tahun 2030-an dan 2040-an.
Keputusan pemerintah memilih pesawat tempur Rafale pun didasari oleh pertimbangan teknis serta non-teknis. Memilih produk buatan Perancis jelas lebih aman dari sanksi AS terhadap Rusia atau lebih dikenal dengan CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanction Act); hal ini tidak lepas dari persaingan militer antara AS dan Rusia. Selain itu, kepastian transfer teknologi pesawat tempur Rafale juga lebih terjamin dibandingkan dua jenis pesawat tempur sebelumnya. Rafale dikenal sebagai pesawat serbaguna karena dapat digunakan untuk berbagai misi, misalnya saja interdiksi (larangan), pengintaian udara (air reconnaissance), ground support, serangan anti-kapal (anti-ship Attack), dan misi pencegahan nuklir (nuclear Prevention Mission).
Spesifikasi pesawat tempur Dassault Rafale yang dibeli oleh Kemenhan:
1. Pesawat generasi 4.5.
2. Kecepatan maksimum 1,8 Mach atau 750 knot.
3. Ketinggian maksimum 50.000 kaki.