Mohon tunggu...
Nabila Aulia Hasrie
Nabila Aulia Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

BA (Hons) - Queen's University of Belfast, the UK MA - Columbia University, the US

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Konflik Israel-Palestina: dari Tambang Migas Hingga Sektor Pertahanan Swasta

1 Mei 2024   14:21 Diperbarui: 1 Mei 2024   21:53 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak artikel menyoroti konflik Israel-Palestina dengan mengandalkan perspektif poskolonialisme. Aspek humanisme, rasialisme dan agama kerap menjadi fondasi dari diskursus mengenai perang ini. Walau begitu, penulis kali ini ingin mengupas konflik ini melalui kacamata Marxisme---bahwa akar permasalahan dari isu ini bersifat ekonomis, dimana antagonis utamanya ialah kapitalisme global.

Jalur pesisir Gaza dan wilayah Palestina yang telah diduduki Israel misalnya, berlokasi di atas reservoir minyak dan gas alam yang bernilai $524 miliar di antara berbagai pihak di wilayah tersebut. Potensi SDA  yang melimpah ini sebetulnya dapat diolah demi kepentingan kolektif masyarakat---untuk menyejahterakan ekonomi seluruh penduduk disana secara merata. Sayangnya, apa yang bisa menjadi sumber kekayaan orang-orang lokal justru menjelma menjadi suatu bencana jika sumber daya itu sendiri dieksploitasi secara individual dan eksklusif, tanpa memperhatikan hukum dan norma internasional.

Konteks sejarah di sini adalah kunci untuk memahami bagaimana Israel secara ekonomi-politik mendapatkan keuntungan dari penyiksaan dan pembunuhan massal warga sipil Palestina.

Dalam Perjanjian Oslo II, Perjanjian Sementara Israel-Palestina tentang Tepi Barat dan Jalur Gaza tahun 1995, Otoritas Palestina diberikan yurisdiksi maritim. Mereka menandatangani kesepakatan dengan British Gas Group (BGG) dan menemukan ladang gas besar, Gaza Marine. Kontraktor Inggris tersebut menarik diri pada tahun 2007, namun yang menarik, sebelum invasi Israel ke Gaza pada tahun 2008, Pemerintah Israel segera menyetujui kembali kesepakatan tersebut, disaat operasi militer berada pada tahap perencanaan lanjutan.

Sejak invasi 2008, ketika warga Palestina menjadi sasaran dari kelaparan sistematis dan kemiskinan struktural, Pemerintah Israel secara de facto menarik kembali kontrol atas cadangan lepas pantai Gaza dan kontraktor Inggris terus melakukan transaksi dengan Israel, merampas sumber daya alam disana. Melalui proses tersebut, Palestina tidak mendapat bagian pendapatan yang adil. Kerugian akibat pendudukan Israel -- dengan pembatasan mobilitas, akses dan perdagangan yang terus berlanjut -- khususnya di bidang minyak dan gas alam telah mencapai puluhan, bahkan ratusan miliar dolar. Bahkan diperkirakan, warga Palestina yang berada di bawah pendudukan pada periode 2007-2017 itu telah mengalami kerugian ekonomi sebesar $47,7 miliar; dengan Israel sebagai pihak yang mendapatkan keuntungannya.

Israel secara eksklusif mengeksplorasi pengeboran ladang minyak dan gas baru di Mediterania Timur, dari ladang Leviathan, dan menandatangani kesepakatan bernilai miliaran dolar dengan Yordania dan Mesir, sementara warga Arab memprotes penolakan mereka terhadap energi yang "dicuri" dari Bangsa Palestina. Dalam konteks geopolitik saat ini, gas alam dan LNG telah berperan sebagai alat untuk memperdalam hubungan politik dan ketergantungan ekonomi. Hal ini merupakan inti dari normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, dengan terus mengabaikan perjuangan Palestina.

Dalam kebijakan Israel yang tengah berperang saat ini, membunuh dan mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza dan menciptakan zona penyangga (buffer zone) akan memberikan Israel akses terbuka untuk mengebor cadangan gas dan minyak yang dapat diambil. Hal ini juga sesuai dengan perjanjian kerja sama energi jangka panjang AS-Israel, yang menetapkan bahwa pengembangan sumber daya alam oleh Israel merupakan "kepentingan strategis" AS. Munculnya Israel sebagai salah satu pemain energi terbesar di Timur Tengah sejalan dengan kebutuhan AS untuk memperketat cengkeramannya di wilayah tersebut, karena negara tersebut sedang berseteru dengan Tiongkok dan sekutunya yang juga merupakan superpower di daerah tersebut, Iran.

Darah warga sipil Palestina yang tidak bersalah---anak-anak bahkan bayi---berada di tangan sistem kapitalis global yang secara sistematis mengambil keuntungan dari genosida yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Sokongan militer AS terhadap Israel juga tak luput dari lobi-lobi berbagai kelompok pro-Israel yang mengekspos kemunafikan moral rezim Biden. Namun untuk lebih spesifiknya, salah satu problematika mendasar dari isu ini adalah meningkatnya ketergantungan Pentagon pada sektor senjata swasta, yang meningkat pesat selama perang; produk penjualannya adalah senjata dan bom yang membunuh orang. Ketika perang berlarut-larut dan semakin banyak orang yang terbunuh, maka perusahaan-perusahaan di kompleks industri militer inilah yang mendapatkan keuntungan dari pertumpahan darah tersebut.

Sejumlah laporan mengungkapkan bahwa sepertiga dari seluruh kontrak Pentagon dalam beberapa tahun terakhir hanya diberikan kepada lima kontraktor senjata besar: Lockheed Martin, Boeing, General Dynamics, Raytheon, dan Northrop Grumman. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saham perusahaan-perusahaan tersebut juga melonjak sampai 7% sejak serangan Hamas dan invasi Israel ke Gaza beberapa bulan silam. Besarnya pengaruh kontraktor sektor swasta diwujudkan dalam bagian terbesar penerimaan Pentagon pasca perang Amerika Serikat 9/11. Ketika warga sipil di Afghanistan dan Irak terbunuh, perusahaan-perusahaan ini mendapatkan peningkatan laba dan keuntungan dari pekerjaan rekonstruksi di zona perang.

Sementara orang-orang di seluruh dunia menyaksikan Israel melenyapkan ratusan bahkan ribuan keluarga tak berdaya, transkrip konferensi pers di luar kamera yang dilakukan oleh Wakil Sekretaris Pers Pentagon pada tanggal 30 Oktober, menunjukkan bahwa AS tidak membatasi cara Israel menggunakan senjata yang disediakan, sambil menegaskan kembali bahwa Israel harus menjunjung tinggi hukum konflik bersenjata dan hukum kemanusiaan. Kita bertanya-tanya bagaimana operasi militer selama berbulan-bulan yang telah menjatuhkan lebih dari 50.000 ton bahan peledak di wilayah sipil, menjatuhkan fosfor putih yang dilarang, memutus bahan bakar, pasokan dan obat-obatan untuk warga sipil, masih bisa menegakkan hukum yang ada dalam tatanan dunia yang beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun