Mohon tunggu...
Nabila Aulia Hasrie
Nabila Aulia Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

S1 HI dan Politik - Queen's University of Belfast, Britania Raya S2 Studi Regional - Columbia University, Amerika Serikat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemenangan Prabowo-Gibran: Bagaimana Masa Depan Jokonomics?

26 April 2024   07:10 Diperbarui: 26 April 2024   15:32 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dengan resminya penetapan Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU pada 24 April 2024, jokonomics diprediksi akan terus menjadi kompas bagi kebijakan ekonomi RI untuk 5 tahun kedepan.

Pengaruh presiden petahana Joko Widodo mensinyalir kuatnya pengaruh beliau dalam mengarahkan kebijakan ekonomi di era kepemimpian Prabowo Subianto. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui terlebih dahulu sejumlah kebijakan ekonomi yang paslon 02 sudah janjikan; untuk bisa menakar potensi keberhasilan dari masing-masing visi, misi dan program yang telah dikumandangkan selama musim kampanye kemarin.

Jokonomics di Pilpres 2024

Paslon 02 yang kerap diafiliasikan dengan Jokowi mentargetkan pertumbuhan ekonomi dengan angka rata-rata sebesar 8%; angka yang tergolong tinggi. Saya pribadi menganggap ini terlalu bombastis. Pada realitanya, angka yang begitu ambisius akan membuahkan suatu hasil yang mengecewakan. Masyarakat tentunya tertarik akan optimisme Prabowo-Gibran dalam hal ini, namun alangkah buruknya jikalau hal yang sudah terjadi berkali-kali selama  rezim Jokowi di 1 dekade terakhir terulang untuk kesekiankalinya. Jokonomics yang pada awalnya dipersepsikan masyarakat sebagai suatu bentuk harapan besar bersilih menjadi pembohongan publik.

Jika melihat dari data, selama masa jabatan Jokowi, pertumbuhan PDB Indonesia hanya dapat mencapai rata-rata 4.2% (jika era pandemi COVID-19 dikecualikan, maka rata-ratanya ialah 4.9%, jauh di bawah angka 8% yang sudah dijanjikan Jokowi di masa kampanye pilpres 2014 dan 2019 silam). Tak hanya itu, angka tersebut juga jauh tertinggal relatif terhadap pertumbuhan PDB di era SBY dan Megawati. Kedua angka tersebut, jika dibandingkan dengan janji dari dua paslon lainnya, maka yang paling mendekati adalah janji dari kandidat 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yaitu 5.5%-6.5% yang juga terlampau lebih realistis dibandingkan janji dari paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan angka 7%/tahun.

Pengelolaan Keuangan Negara

Terlepas dari segudang kegagalan jokonomics, terdapat pula keberhasilan Jokowi di bidang ekonomi tetap tidak bisa disangkal. Menggunakan metode Solow-Swan Growth Model, kita dapat menganalisa SDM, permodalan dan produktivitas. Dalam bidang permodalan, terutamanya dalam hal anggaran belanja pemerintah, Indonesia diketahui mengalokasikan dana yang besar untuk subsidi energi, sementara pemasukan ke dalam kas negara didominasi PNBP dan tingkat pajak langsung tergolong kecil.  Mengingat hal ini, SBY dan Jokowi mengambil langkah konkrit dengan memangkas subsidi energi sampai 2% dari PDB. Pemotongan subsidi ini pun menyebabkan penyempitan defisit APBN (pelebaran sempat terjadi, namun terbatas pada era pandemi COVID-19 sehingga ihwalnya tidak relevan). Defisit ini disebutkan hanya mencapai angka serendah 1.6% dari PDB Indonesia di tahun 2023, menunjukan suatu pencapaian yang patut diapresiasi.

Terlebih lagi, disahkannya UU No 28 Tentang APBN 2023 adalah suatu kemajuan tersendiri. Ketatnya pembatasan defisit fiskal di bawah 3% mengisyaratkan kekebalan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari naik-turunnya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve). Dengan begitu, IHSG menikmati suatu stabilitas yang dapat menarik lebih banyak investor ke pasar saham RI.

Aspek Ekonomi Hilirisasi Nikel 

Dengan begitu, pintu peluang investasi terbuka lebar, menyematkan gelar investment grade atau IG kepada market Indonesia, terutama dalam sektor pertambangan. Hal ini ikut ditunjang oleh keputusan Jokowi untuk melarang ekspor bijih nikel mentah di tahun 2020 yang sempat memicu kegaduhan dengan Uni Eropa dan WTO. Walau aksi Jokowi bisa dibilang berani, keberanian tersebut tidak sepenuhnya dilakukan demi kepentingan Bangsa Indonesia. Pasalnya, hilirisasi yang kerap didengungkan oleh rezim petahana selama beberapa tahun belakangan (dan terlebih lagi oleh Prabowo-Gibran selama periode kampanye pilpres 2024 kemarin), tidak terbukti bermanfaat secara langsung terhadap Indonesia.

Telepas dari dampak buruknya dalam bidang yang lain (lingkungan dan HAM), melalui kacamata ekonomi, hilirisasi ugal-ugalan ini pun sulit diacungkan jempol. Terdapat dua alasan untuk hal ini yaitu stagnansi rasio investasi asing (FDI) terutama terhadap PDB, serta stagnansi dari nominal PDB itu sendiri. Padahal, dengan maraknya pembangunan pabrik-pabrik smelter di dalam negeri untuk mendorong praktik processing nikel ke bentuk produk jadi, mestinya menyebabkan peningkatan FDI serta pertumbuhan PDB tahunan yang signifikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun