Mohon tunggu...
Ni Made Dwita
Ni Made Dwita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psikologi 19

tkut tp ttp prcya diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prasangka Masyarakat terhadap Korban Pemerkosaan

13 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 13 Juli 2021   19:21 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anggapan yang paling sering kita dengar ketika adanya kasus pelecehan seksual adalah korban yang menggunakan pakaian seksi atau terbuka yang mengundang pelaku melakukan pelecehan seksual. Komentar-komentar yang menyalahkan korban karena menggunakan pakaian seksi atau terbuka sering kali kita lihat di media sosial. Komentar yang dilontarkan biasanya tidak memperhatikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Mereka memberikan komentar hanya sebatas dari anggapannya saja. Adanya anggapan atau stigma yang ada di masyarakat tentang “penyebab pelecehan seksual adalah penggunaan pakaian perempuan yang terlalu minim sehingga akan mengundang hasrat laki-laki untuk melakukan perilaku tersebut,” seakan-akan menjadi hal yang benar dan mutlak adanya. Padahal, pada kenyataannya pakaian tertutup juga tidak menjamin perempuan terlepas dari pelecehan seksual. Menurut Ayatika (dalam Al Rahman, 2019), tidak peduli pakaian apa yang dikenakan oleh perempuan, laki-laki akan terus melakukan tindakan tersebut untuk menunjukkan kepada publik bahwa ruang publik itu milik laki-laki dan pada akhirnya, kekuatan patriarki menjadi semakin nyata.

Jika kasus-kasus pelecehan seksual ditelusuri lebih dalam lagi mayoritas korban dari pelecehan seksual maupun kekerasan seksual tidak menggunakan pakaian terbuka. Dilansir dari detikNews, hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyatakan bahwa pakaian yang digunakan korban saat pelecehan seksual adalah sebanyak 17,47% menggunakan rok atau celana panjang, 15,82% menggunakan baju lengan panjang, 14,23% menggunakan seragam sekolah, 13,80% menggunakan baju longgar, dan sebanyak 17% menggunakan hijab pendek atau panjang (Damarjati, 2019). Ketertarikan pelaku pelecehan seksual bukan dilihat dari pakaian yang digunakan namun tubuh perempuan itu sendiri. Fairchild dan Rudman menyatakan bahwa dalam budaya Amerika, tubuh perempuan dianggap sebagai objek seksual melalui pornografi, dan media massa sehingga hal tersebut membuat tubuh perempuan mendapatkan perhatian sebagai objek seksual dari masyarakat (Rahman). 

Contoh kasus yang dapat memperkuat argumen bahwa pelecehan seksual yang dilakukan pelaku tidak memandang pakaian yang dikenakan oleh korban adalah kasus yang terjadi di Bekasi. Korban dari kasus tersebut adalah perempuan berusia 38 tahun yang saat itu tengah berjalan di dalam sebuah gang. Korban menggunakan pakaian tertutup dan mengenakan jilbab. Kemudian, terdapat seorang pengendara motor yang mendahului korban dan tiba-tiba berputar arah, lalu menjamah payudara korban. 

Pada fokus bahasan artikel TheJakartaPost membahas tentang pemerkosaan yang marak terjadi di Indonesia yang setiap harinya lebih dari 35 perempuan menjadi korban. Pemerkosaan sendiri adalah peristiwa traumatis, peristiwa yang secara psikologis diartikan sebagai pengalaman mental yang mengancam kehidupan dan melampaui kemampuan rata-rata orang untuk menanggungnya. Pengalaman traumatis dapat menyebabkan perubahan drastis dalam kehidupan seseorang, termasuk perubahan persepsi hidup, perilaku dan kesejahteraan emosional. Pemerkosaan mengganggu kesejahteraan korbannya; oleh karena itu, mereka membutuhkan serangkaian layanan yang terdiri dari layanan hukum, medis (termasuk kesehatan mental) dan sosial. Interaksi antara korban pemerkosaan dan sistem yang berbeda berdampak pada proses pemulihan (Anindyajati, 2018).

PEMBAHASAN

Dikarenakan semakin banyak kasus pelecehan seksual, terutama kasus pemerkosaan yang terjadi di masyarakat, membuat kalangan perempuan menjadi semakin resah. Kita semua tahu bahwa mulai dari ibu rumah tangga hingga tentara militer pun bisa menjadi korban pemerkosaan. Kasus-kasus yang muncul di berita atau artikel tentang pemerkosaan sering kali dikaitkan dengan cara berpakaian korban, terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Cara berpakaian perempuan kerap kali disebut sebagai hasutan untuk melakukan pemerkosaan. Pakaian dengan kain yang tipis dan ketat, bawahan pendek, atasan pendek, perut telanjang, dan make-up sangat umum dikaitkan dengan konteks pemerkosaan (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021).

Perempuan sering dinilai berdasarkan cara mereka menampilkan diri, seolah-olah menggunakan bra atau warna lipstik yang tajam mengundang para pelaku untuk melakukan pemerkosaan kepada perempuan yang berpenampilan seperti itu (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021). Asumsi tersebut cukup mengganggu dan merugikan pihak perempuan. Perempuan seakan-akan dibatasi oleh stigma masyarakat dalam hal berkreasi dengan penampilan mereka. 

Masyarakat yang dulunya merasa baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun dengan penampilan yang tajam dan berani itu kini berubah. Pada awalnya perempuan berpenampilan tajam dan berani itu untuk dirinya sendiri, karena perempuan menyukai fashion yang seperti itu. Dewasa ini, ketika kita melihat perempuan yang berpakaian tajam dan berani seperti itu, masyarakat akan menganggap bahwa perempuan tersebut ingin mengundang orang-orang melakukan pemerkosaan. Meneliti cara berpakaian seorang perempuan pada saat pelecehan seksual, terutama pemerkosaan adalah salah satu dari banyak cara dimana mitos dan prasangka umum untuk merusak reputasi dan kredibilitasnya demi kepentingan pembelaan. Berbagai macam cara berpakaian perempuan yang memakai pakaian terbuka seperti menggunakan tank-top, pakaian pendek, dan pakaian ketat itu menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan adalah mitos (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021). 

“What You Were Wearing?” merupakan pameran yang berada di Amerika. Pameran ini dapat menjadi bukti bahwa cara berpakaian perempuan menjadi faktor pemicu terjadinya pelecehan seksual adalah mitos belaka. What You Were Wearing? merupakan sebuah pameran seni berdasarkan para korban yang selamat dari pakaian yang mereka kenakan selama serangan seksual yang mereka alami. Kisah-kisah ini dikumpulkan dari para penyintas oleh Jen Brockman dan Dr. Mary Wyandt-Hiebert di University of Arkansas pada tahun 2013  (Stories | What Were You Wearing?, n.d.). Ada banyak sekali pakaian-pakaian korban yang terpajang di dalam pameran tersebut. Pakaian tersebut ada yang berupa celana training, kaos universitas, dengan topi baseball. Kemudian ada juga yang memakai gaun sari, yakni pakaian yang biasa dipakai oleh perempuan India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, dan Nepal. Tidak hanya itu kaos dan sari, ada juga pakaian tentara angkatan darat ACU dengan pistol pun juga menjadi korban pemerkosaan di Amerika, serta masih banyak jenis-jenis pakaian yang dipakai korban saat terjadi pemerkosaan. Ini membuktikan bahwa tidak peduli pakaian yang digunakan seperti apa, jika pelaku memang sudah berniat untuk memperkosa, maka ia tidak memandang pakaian yang digunakan oleh target korbannya tersebut.

Akibat dari stigma-stigma masyarakat tentang cara berpakaian perempuan yang ‘katanya’ mengundang para pelaku untuk melakukan pelecehan seksual itu membuat perempuan semakin resah akan hal ini. Bahkan di tahun 2016, seorang penyanyi dan penulis lagu bernama Kartika Jahja atau yang biasa dikenal dengan nama Tika ini bersama dengan rekan satu bandnya mengeluarkan lagu tentang stigma akan perempuan di Indonesia. Kartika bersama dengan bandnya, yakni Tika and The Dissidents mengeluarkan lagu yang berjudul “Tubuhku Otoritasku” (Dhani, 2017). Lagu ini menjelaskan tentang bagaimana perempuan yang seharusnya memiliki kehendak atas dirinya sendiri, mulai dari cara berpenampilan, pendapat, dan lain sebagainya. Selain itu juga menjelaskan laki-laki yang seharusnya menghormati perempuan, terutama tubuh perempuan dan juga tentang cara memperlakukan perempuan oleh masyarakat. Lagu “Tubuhku Otoritasku” menjadi salah satu hal penting dan bahkan ini bisa menjadi lagu kampanye sosial untuk menyuarakan pendapat perempuan akan banyaknya korban pemerkosaan yang terjadi dan stigma masyarakat akan pakaian perempuan. 

Tidak hanya lirik lagu yang memiliki makna dalam, video musiknya pun juga. Hal pertama yang dilihat dari video musik “Tubuhku Otoritasku” ini adalah berbagai macam pengakuan dari setiap orang yang ada di dalam video tersebut. Mulai dari seorang perempuan yang menjawab pertanyaan mengapa dirinya harus berolahraga padahal badan dari perempuan itu sendiri sudah kurus hingga seorang perempuan yang diejek sebagai hewan monyet atau kera. Ini menunjukkan bahwa bagaimana perempuan berjuang untuk melawan stigma-stigma yang ada pada masyarakat akan perempuan. Terlepas dari pendapat masing-masing orang dan stigma masyarakat, lagu “Tubuhku Otoritasku” menjadi salah satu usaha perempuan untuk mempengaruhi dan membuka mata para masyarakat akan stigma ini (Dhani, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun