Pada suatu titik tertentu, aku adalah orang yang sangat MEMBENCI PERCERAIAN. Maksudku, ayolah ketika dua orang sudah memutuskan untuk menikah bukankah itu artinya mereka sedang membuat perjanjian dengan TUHAN. Dan semestinya ketika keputusan menikah sudah dibuat, artinya pula seharusnya mereka paham betul dengan tanggung jawab yang harus diemban. Yaaaaa paling tidak itu menurutku untuk beberapa puluh tahun lalu dan sukses dipatahkan dua hari yang lalu. Bukan tanpa alasan sie sebenarnya mengapa aku benci dengan perceraian. #simple karena dalam perceraian ANAK AKAN SELALU MENJADI KORBAN. Aku melihat hal itu dari kasus beberapa teman-temanku yang memutuskan untuk bercerai. Meskipun dalih mereka "akan tetap berbagi tanggung jawab" tohhh pada kenyataannya akan selalu ada ruang kosong yang bernama kesepian dalam diri anak itu. Salah satu kimcil aku yang juga korban perceraian dalam usia balita pernah bertanya kepadaku
"mbak, kok papah aku gak pernah pulang ya?"
atau anak kecil lainnya yang juga korban perceraian
"aku benci papah, karena suka nyiksa mamah!, aku pulang kerumah papah juga dicuekin, dia sudah bukan papah aku ya mbak?"
Â
Â
dan pertanyaan semacamnya, yang kadang g berani diutarakan si anak langsung ke ortunya karena "biasanya malah kena smprot" Well, dan mendapati beberapa drama korea yang menceritakan tentang kegagalan dalam pernikahan pun endingnya sama "ANAK MENJADI KORBAN". Pikirku dulu, kalau mereka "membuat anak" dengan "CINTA" mengapa harus mengasuh anak mereka dengan kebencian? kan gak adil!!! then again, muncul kejadian lain, dari salah satu temanku. Dia bukan produk BROKEN HOME, hanya saja bagian dari keluarga KDRT. Seorang suami dan ayah yang berprofesi sebagai tentara dengan hobi yang melenceng jauh dari filosofi tentara yang setauku melindungi bumi pertiwi (including keluargakannnnnnn?), yuppp hobinya JUDI, maen perempuan, MABUK, dan marah2 gak jelas kalau sampai rumah,.. Hobi yang luar biasa gak biasa itu menelurkan rumah yang tergadai, perhiasan yang hilang entah kemana, dikeluarkan dari kesatuan yang berimbas pada unemployment, dan tentu saja depresi dengan pelampiasan marah-marah gak jelas ke keluarga itu tadi. Ketika aku tanya "apa alasan mamah kamu mempertahankan keluarga yang sakit itu?" jawabnya simple "karena menjadi janda itu tabu, siapa lagi yang mau menikahi janda tua beranak 4?" KONYOL, pikirku. tochhhh, bukankah tanpa kehadiran suami yang jauh dari kata bertanggung jawab itu si perempuan tersebut bisa hidup, lalu mengapa harus memikirkan siapa lagi yang mau menikahi janda beranak4?, apakah dia gak sadar dengan efek psikologis yang ditimbulkan suaminya ke anaknya???? dari situ aku mulai berpikir, achhhh iya, KALAU UDA GAK KUAT YA UDA CERAI SAJA!!!!!!!
Apa yang salah dengan status JAnda or DUDA?
Apa yang salah dengan pernikahan yang gagal???
Â
"bukankah kita tidak pernah diajarkan di sekolah bagaimana cara agar pernikahan kita sukses?"