Pada artikel ini kita akan membahas tema yang menarik yaitu tentang Maskulinitas. Banyak orang yang beranggapan dengan kaku jika pria itu harus kuat, berani dan dominan. Padahal maskulinitas itu tidak di ukur hanya tentang hal hal fisik saja.
Apa Itu Maskulinitas?
Maskulinitas banyak diartikan sebagai sekumpulan sifat dan perilaku yang dianggap "maskulin" yang cocok untuk laki laki. Kita sering mendengar istilah ini dalam berbagai konteks. Namun, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan maskulinitas itu? Berbicara tentang maskulinitas, berarti berbicara juga mengenai gender. Gender yaitu pembedaan perilaku dalam budaya yang membedakan  beberapa  aspek  dan persepsi  hidup  di  masyarakat. Studi mengenai maskulinitas berpuncak pada era 1980-1990an.
Menurut Tripalupi (2024) dalam bukunya Komunikasi dan Gender menjelaskan bahwa jika dikaji secara sosiologis, maskulinitas adalah penggambaran dari laki-laki idealnya yang kuat,tangguh, berdada bidang, dan berbadan atletis. Namun karena maskulinitas merupakan konstruksi social yang dibentuk oleh masyarakat maka, definisinya tidak ajeg dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan sosial. Seiring berjalannya waktu apalagi di era modern saat ini, kita juga mulai melihat bahwa kepekaan emosional dan kemampuan menjalin hubungan juga merupakan bagian dari maskulinitasyang sehat. Jadi, maskulinitas itu bukan hanya tentang menjadi "keras: dan dominan.juga tentang menjadi manusia yang utuh.
Revolusi Maskulinitas
Siapa bilang cowok harus menjadi sosok yang kaku dan dingin? Jika kita lihat kebelakang revolusi maskulinitas memiliki sejarah yang bermulai sekitar abad ke-19, yang mana konsep "Gentleman" yang kaku dan patriarkial mendominasi dan menjadi standar maskulinitas. Di masa kini, laki-laki diharapkan bisa menjadi sosok yang perfect, dominan, dan tidak boleh terlihat lemah sama sekali. Akan tetapi pada masa setelah perang dunia I dan II mulai terlihat perubahan ketika gerakan feminism gelombang pertama dan kedua mulai menantang norma-norma gender tradisional. Dalam periode 1960-1970 menjadi titik kritis ketika gerakan hak hak sipil dan liberasi perempuan untuk mendorong masyarakat untuk mempertanyakan peran gender yang kaku.
Memasuki tahun 1990-2000-an, terjadi transformasi yang radikal seiring berkembangnya globalisasi dan revolusi digital terhadap konsep maskulinitas. Media massa dan internet membuka semua wawasan tentang keberagaman ekspresi gender tanpa harus takut untuk dihakimi. Sementara gerakan social progresif mendorong dekontruksi toxic masculinity. Setelah tahun 2010 tentunya telah memasuki era modern dan lahir gelombang "masculinitas baru" yang menekankan kesetaraan gender, keterbukaan emosional dan penolakan terhadap stereotip tradisioanal. Pada generasi milenial dan generasi Z malah dengan bangga mendobrak pandangan yang kolot tentang maskulinitas. Mereka mengajari jika jadi cowom bukan berarti harus macho atau jago berantem. Akan tetapi di masa sekarang, aktivitas merawat anak, memakai skincare, suka memasak sudah menjadi hal yang normal dikalangan kaum laki-laki. Hal ini menciptakan lanskap maskulinitas yang lebih inklusif dan beragam dibanding era-era sebelumnya.
Tren Maskulinitas Modern
Coba lihat disekeliling kita saat ini, banyak cowo-cowo yang makin berani untuk tampil beda, dari yang dulunya berkesan cuek, sekarang makin banyak yang peduli dengan perawatan diri, mulai dari skincare hingga fashion. Nggak Cuma itu saja, mereka juga mulai terbuka soal kesehatan mental dan aktif mengikuti komunitas untuk berbagi pengalaman. Yang bikin makin keren, banyak pria modern yang bangga memposting kegiatan bareng anak disosmed atau showing off skill memasak mereka. Tren ini tidak hanya sebatas penampilan, akan tetapi juga cara mereka menyikapi work-life balance. Jadi makin terlihat di masa sekarang maskulin tidak harus macho!
Dampak Positif Perubahan
And guess what? Perubahan ini membawa dampak yang positif. Dilansir dari (News-Medical.Net) mendukung kesetaraan gender dan melepaska diri dari stereotip maskulin adalah langkah yang harus dipromosikan untuk meningkatkan kesejahteraan pria secara keseluruhan. Perubahan maskulinitas yang positif ditunjukkan oleh perilaku, seperti sikap empati, kecerdasan emosional, dan rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku ini berkontribusi pada kesejahteraan indivdu dan masyarakat serta dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan positif. Dengan adanya perubahan yang positif pada maskulinitas kaum laki-laki mendapatkan hasil positif juga dalam hidupnya seperti hubungan yang kesehatan mental yang lebih baik, hingga kesuksesa yang lebih besar dalam karir mereka.Â
(*)dibuat oleh : Laksono Hafid Firmansyah, seorang mahasiswa Untag Surabaya yang saat ini sedang menempuh mata kuliah Komunikasi dan Gender, dibawah bimbingan Dr. Merry Fridha Tri Palupi, M.Si.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H