Jakarta, 8 Mei 2023, menjadi saksi awal terjadinya aksi damai oleh 5 organisasi profesi kesehatan di Indonesia seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (IDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia. Aksi damai ini bukan tanpa alasan, aksi damai ini digelar sebagai bentuk protes para tenaga kesehatan di Indonesia atas Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law yang dinilai terlalu terburu-buru dan tanpa urgensi yang berarti. Bahkan, pembahasan RUU Kesehatan ini sama sekali tidak mempertimbangkan bahkan tak menampung masukan-masukan dari organisasi yang terkait, yaitu organisasi profesi kesehatan itu sendiri. Isu ini mulai hangat diperbincangkan sejak April 2023. Bentuk protes oleh para anggota gabungan organisasi kesehatan tak hanya berhenti sampai disitu, aksi menolak RUU Kesehatan juga masih ramai disuarakan oleh para tenaga kesehatan hingga pengamat hukum di berbagai media sosial hampir setiap harinya. Para nakes yang masih terus mengabdi juga memasang pita hitam di lengan sebagai bentuk keprihatinan mereka atas terancamnya hak-hak tenaga kesehatan di mata hukum Indonesia. Tak cukup sampai disitu, berita pemberhentian seorang ahli bedah syaraf, yang mana spesialis tersebut masih sangat langka di Indonesia, Prof. Zainal Muttaqin setelah melayangkan kritik terhadap isu ini juga menunjukkan arogansi para elit pemerintahan. Bagaimana tidak, seorang tenaga kesehatan yang menyerukan keprihatinannya terhadap masa depan profesi dan bibit-bibit emas bangsa, malah dipecat seolah telah mencederai bangsa. Dari sinilah yang membuat para tenaga kesehatan semakin geram dengan bentuk anti kritik pemerintah dan egoisme elit pemerintahan.
RUU Kesehatan ini awalnya dibahas sejak tahun 2019. Namun, karena adanya pandemi akhirnya pembahasan ini berhenti dan pada mulai tahun 2022 dibahas kembali. RUU ini akan menggabungkan 13 Undang-Undang yang berkaitan dengan kesehatan. Pun pembahasan RUU ini tak jelas pasti siapa penggagasnya. Apakah dimulai oleh Kementerian Kesehatan atau DPR atau stakeholder lain dengan kepentingan tersendiri. Pastinya begitu banyak tanda tanya muncul di benak para anggota organisasi profesi. Para calon tenaga kesehatan yang masih duduk di bangku pendidikan juga turut mengkritisi, tak lain tak bukan sebab rasa khawatir dan prihatin atas nasib mereka berikutnya. Banyaknya regulasi-regulasi janggal terkesan menjegal para tenaga kesehatan yang dulunya dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa di masa pandemi kini justru terancam kesejahteraannya, dipolitisasi, dan dirugikan. Pada pihak tenaga medis, RUU Kesehatan Omnibus Law ini akan melemahkan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan tanpa terkecuali.
Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk membenahi terlebih dahulu permasalahan-permasalahan di bidang kesehatan yang masih mengakar. Contohnya meningkatkan standar kualitas pelayanan kesehatan, mempermudah akses bagi para tenaga kesehatan dan pasien dalam pengobatan, juga meningkatkan dan melakukan pemerataan teknologi kesehatan di berbagai lokasi pelayanan kesehatan umum yang masih belum merata. Organisasi profesi menilai masih banyak isu yang sifatnya lebih mendesak dibandingkan dengan memperlekas pengesahan RUU Kesehatan yang masih pincang dan timpang ini. Bagaimana tidak, pembahasan RUU ini hampir tak pernah mendengarkan suara dari anggota organisasi profesi itu sendiri.
Sebagai contoh, pada RUU Kesehatan Omnibus Law ditiadakannya kewajiban bisa berbahasa Indonesia untuk para dokter asing dapat bekerja di Indonesia. Perlu disoroti, artinya para dokter asing dapat dengan mudah praktik di Indonesia meskipun dengan tingginya dinding bahasa antara pasien dan dokter nantinya. Dengan diberikannya kemudahan bagi dokter asing untuk bekerja di Indonesia, mengingat masih terbatasnya jumlah dokter spesialis yang masih timpang dengan jumlah penduduk Indonesia itu sendiri, pasal ini dapat menjadi angin segar dalam pemberian layanan kesehatan yang mumpuni. Di samping itu masih banyak yang merasa khawatir akan terjadi miskomunikasi dan misinterpretasi antara dokter dengan pasien atau bahkan dengan sesama tenaga kesehatan.. Selain itu, sumber daya calon dokter yang cukup tinggi jumlahnya di Indonesia akan terancam tidak dapat membuka praktik sebab kalah oleh dokter asing nantinya. Disini bukan mempermasalahkan perihal kemampuan dan keahlian para dokter muda di Indonesia, namun ini sebagai bentuk keresahan atas kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Tak hanya itu, kemungkinan dokter asing untuk mengabdi di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) sangatlah kecil. Di samping sulitnya akses dan fasilitas yang tersedia, lagi-lagi bahasa menjadi jurang pembatas terdalamnya.
Berikutnya, pada Pasal 314 ayat 2 disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi atau penghapusan organisasi kesehatan yang ada seperti IDI, IAI, IDGI, dan lain sebagainya kemudian akan dileburkan menjadi satu organisasi tunggal. Pasal ini sangat rancu, sebab apakah nantinya akan hanya ada satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk setiap jenis tenaga kesehatan. Disuarakan kontra sebab para organisasi profesi menilai, tiap profesi nakes yang ada di Indonesia memiliki standar kompetensi yang berbeda-beda dan lebih rinci di tiap organisasi awalnya. Apabila dilebur, maka standar yang telah ada sebelumnya akan campur aduk atau bahkan kehilangan poin-poin kompetensi krusial lainnya.
Pada pasal 462 ayat (1) yang mana disebutkan bahwa setiap tenaga medis atau kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun. Yang dipermasalahkan adalah, kurang spesifik dan rincinya dari kata "kelalaian" pada pasal tersebut. Artinya, tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat dengan mudah dipidanakan dan pasal ini bisa menjadi pedang bermata dua bak kontroversi UU ITE akhir-akhir ini. Di satu sisi bisa memberikan jaminan keamanan bagi pasien sehingga para tenaga medis dan tenaga kesehatan terus bekerja sesuai kode etik profesi, tetapi di satu sisi tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat dipidanakan dengan mudahnya dan tanpa perlindungan hukum. Pasal ini tentunya kontra dengan apa yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr Mohammad Syahril, yang mana disampaikan bahwa, "Pasal-pasal perlindungan hukum ditujukan agar jika ada sengketa hukum, para tenaga kesehatan tak langsung berurusan dengan aparat penegak hukum sebelum adanya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk melalui sidang etik dan disiplin."
Masih banyak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan Omnibus Law yang janggal dan terburu-buru untuk ketok palu. Para organisasi kesehatan masih terus mengupayakan untuk terus mengawal perkembangan hingga menyerukan penolakan hingga pendapat mereka didengar. Masih banyak isu yang lebih urgen, masih banyak problematika mengakar kuat di tiap lokasi fasilitas kesehatan yang kini nampak dinormalisasi tapi pemerintah memiliki tutup mata dan tutup telinga rapat-rapat. Pastinya, apabila para tenaga kesehatan ini berjuang sendiri untuk hak-hak mereka padahal mereka masih memberikan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin, artinya perjuangan mereka seakan tanpa dukungan dari masyarakat Indonesia. Besar harapan mereka untuk dapat mempertahankan hak mereka di tengah menjalankan kewajiban mereka yaitu tetap mengabdi untuk bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H