Mohon tunggu...
Laksmi Kinasih
Laksmi Kinasih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang ibu yang membaca dan menulis untuk mendidik anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Ulurkan Tanganmu Ibu, Bagi Ibu Baru

7 Maret 2012   08:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1331114716448469062

[caption id="attachment_175312" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Di tengah malam buta, saya dikejutkan oleh sebuah tepukan ringan di pundak saya, "Ayo, minum susu dulu, Parumaen (menantu perempuan)!" kata Inang (ibu mertua) saya. Dengan malas-malasan saya pun meminum susu hangat itu. Ia memandang mata saya dan berkata dengan serius, "Kesehatan itu harta seorang Ibu. Jika Ibu tidak sehat, seluruh keluarga merasakan akibatnya, apalagi bayimu." Kata-kata itu terus saya ingat sampai sekarang. Seorang Ibu yang baru melahirkan membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya dari suami saja, seorang Ibu yang belum berpengalaman seperti saya memerlukan bantuan, nasehat dan dukungan dari perempuan yang lebih berpengalaman. Perempuan itu bisa ibu, ibu mertua, kakak atau bahkan sahabat dan tetangga.  Seorang Ibu yang baru melahirkan seringkali harus mengesampingkan kelelahan fisik dan mental yang dialaminya paska melahirkan dan langsung membenamkan diri dalam kesibukan sebagai ibu baru. Sehingga, pada suatu saat, tanpa disadari kelelahan itu memuncak, mengakibatkan depresi dan penyakit. Sebuah tawaran tulus untuk menggantikan popok bayi, pijatan lembut selama 15 menit atau segelas susu coklat di tengah malam buta adalah oasis bagi ibu yang kelelahan. Kelelahan dan perasaan tertekan seringkali menyebabkan seorang ibu baru menyerah. Karena air susu yang hanya sedikit keluar, seorang ibu yang belum berpengalaman memutuskan berhenti menyusui anaknya. Sungguh sayang, air susu ibu yang gratis, kaya manfaat, berharga serupa investasi logam mulia karena mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak kelak, dihentikan hanya karena kurangnya pengetahuan dan dukungan. Sungguh, pilihan seorang Ibu menentukan masa depan anaknya.   Dukungan sekecil apapun dari seorang perempuan yang peduli sangat berharga. Baiklah, akan saya ceritakan pengalaman saya menyusui anak saya, Melody. Setelah melahirkan Melody, saya merasa sedih karena air susu saya hanya menetes. Melody sepertinya tidak pernah puas meminum air susu saya. Kadang kala saya merasa, ia tidak bisa tidur nyenyak karena kurang kenyang. Saya semakin kecil hati mendengar teman-teman saya dikaruniai ASI yang berlimpah, sampai-sampai mereka harus menggunakan breast pad atau harus mengeluarkan kelebihan ASI-nya karena payudara terlalu penuh. Namun, ibu saya memberikan dukungannya sepenuh hati. Ia seringkali menggantikan tugas saya mengganti popok dan memandikan Melody sembari mengajari saya.  Setiap hari, ia memasak kacang-kacangan dan sayur daun katuk untuk saya. Bahkan tengah malam, ia ikut bangun jika Melody terbangun. Ia mendorong saya untuk tetap menyusui Melody meskipun payudara saya terasa sakit dan air susu yang keluar hanya sedikit. Ia selalu menekankan satu hal, "Kamu pasti bisa menyusui, air susu akan melimpah jika terus dihisap. Jika kamu menyerah sekarang, kamu akan menyesal." Setelah Ibu, gantian Inang yang menemani saya. Inang adalah seorang bidan yang sangat disiplin. Berkat kedisiplinannya, saya jadi terpacu untuk terus menyusui Melody. Ia selalu membuatkan kaldu untuk saya minum setiap hari. Ia mendorong saya untuk minum susu ibu menyusui. Menurutnya, seorang Ibu menyusui haruslah memiliki selera makan yang baik agar kebutuhan nutrisi bayi tercukupi. Ia memasak masakan yang lezat setiap hari. Karena dorongan darinya, saat Melody berusia 2,5 bulan, air susu saya melimpah. Saya bersyukur, saya tidak menyerah. Akhirnya saya dapat menyusui Melody sampai ia puas. Ketika kembali bekerja, seorang sahabat meminjamkan pompa ASI-nya kepada saya, agar saya dapat terus memberikan ASI. Setelah kembali bekerja, kebutuhan kalori saya meningkat. Hal itu bisa saya rasakan dari perasaan lapar yang muncul setelah memompa ASI di sekolah (saya bekerja sebagai seorang guru).   Karena kelelahan dan kekurangan kalori, tubuh saya kurus dan mudah sakit. Suatu kali pernah saya mengalami demam paratifus. Dokter umum yang saya kunjungi mengatakan saya harus berhenti menyusui. Saya merasa hal itu bukan hal yang baik bagi anak saya. Saya menghubungi seorang dokter anak dan ia mengatakan saya harus tetap menyusui anak. Saya tetap menyusui Melody. Setelah itu, ibu mengusulkan saya untuk menambah porsi makan dan mengkonsumsi vitamin C dan kalsium tambahan.  Ternyata benar, saya tidak mudah sakit dan dapat terus menyusui Melody. Ada satu pelajaran yang berkesan buat saya. Ibu menyusui memerlukan kata-kata positif yang membangun untuk tetap menyusui. Seringkali, komentar-komentar negatif membuat ibu menyusuii menyerah. Saya dan beberapa sahabat berbagi cerita tentang menyusui. Ketika ASI belum melimpah seringkali terdengar komentar-komentar negatif seperti, "Air susumu sedikit sekali seperti air susu kucing." Atau "Ah, mungkin kamu keturunan perempuan yang air susunya sedikit." Atau bahkan, "Kasihan sekali bayimu, air susumu sedikit, sih." Komentar-komentar seperti itu sungguh tidak terpuji dan mengecilkan hati! Lebih baik kalimat-kalimat di atas diganti menjadi ucapan yang membangun seperti, "Ayo, meskipun sedikit kamu harus terus menyusui. Hisapan bayi-lah yang akan meningkatkan produksi ASI-mu!" Sungguh mulia tugas seorang ibu. Lebih mulia lagi, jika seorang ibu membantu ibu baru dengan penuh kasih sayang, membagi pengetahuan dan memberikan dukungan dengan kata-kata yang membangun. Ibu baru itu bisa saja adik kita, anak kita atau tetangga kita. Bagi ibu baru, hendaknya membekali diri dengan pengetahuan, mau menerima nasehat yang baik, rela menerima pertolongan dan tetap berani menanggung ketidaknyamanan atau rasa sakit demi memberikan yang terbaik bagi anak kita. Kerjasama ibu baru dan yang lebih berpengalaman itu tak ternilai harganya karena hasilnya adalah anak-anak yang sehat dan cerdas demi kelangsungan hidup bangsa dan umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun